Helen menoleh saat seorang pelayan wanita dengan pakaian khas hitam putihnya masuk ke dalam kamarnya dengan sopan. Senyum wanita itu terlihat samar. Tidak sampai matanya. Tatapan mata cokelatnya tampak bingung ketika menatap Helen.
"Silakan turun ke bawah untuk sarapan, Nyonya," ucapnya halus.
Nyonya?
Helen mengangkat alisnya. "Aku tidak mau makan."
Wanita itu tampak bingung. Wajah ketakutan jelas tergambar di wajahnya yang pucat. Helen menghela napas panjang, bergerak turun dari sofa putih panjang yang terletak di dekat jendela besarnya dan melangkah menuju ranjang besarnya.
"Aku ingin tidur," Helen menarik selimut hingga menutupi kepalanya dan tidak bergerak sampai beberapa lama. Dia mendengar bunyi pintu tertutup dengan pelan dan membuatnya membuka selimutnya. Melihat apa pintu itu benar-benar tertutup dan dugaannya benar.
Helen menghela napas panjang. Mengusap wajahnya yang lelah dan kembali berbaring menatap langit-langit kamar dengan pandangan kosong. Hatinya masih tidak bisa menerima kalau pria b******k bernama Levante Zou itu membunuhnya. Helen yakin, masih teramat yakin kalau Zou hanya menyekap ayahnya di suatu tempat dan tidak membunuhnya.
Instingnya sangat kuat sebagai seorang anak yang mencintai ayahnya dengan sepenuh hati. Helen merasakan matanya mulai memanas. Dadanya tiba-tiba sesak karena memikirkan kondisi sang ayah. Samar-samar bayangan sang ayah yang terluka membuatnya kembali sakit. Ayahnya sudah tidak lagi muda dan dia seharusnya beristirahat menikmati masa tuanya untuk bersantai dan tidak lagi memikirkan pekerjaan. Helen memejamkan matanya, merasakan rasa sakit yang memenuhi rongga dadanya karena merindukan ayahnya. Dia kembali memejamkan matanya dan berharap tidur bisa mengurangi rasa sakitnya.
Zou membuka pintu kamarnya dan mendapati Helen berbaring miring ke kiri. Memunggunginya dan gerakan tubuhnya terlihat teratur. Dia menoleh pada pelayan wanita yang membawakan nampan berisikan roti bakar dengan aneka selai dan telur gulung. Tidak lupa dengan s**u putih hangat.
"Bangunkan dia," titahnya.
Pelayan itu segera masuk dan menunduk saat tatapan Zou mengikutinya dari belakang. Dia bergerak menaruh nampan itu di samping nakas samping ranjang Helen. Tangannya yang kurus berusaha membangunkan Helen dengan hati-hati karena Helen benar-benar tertidur dan melewatkan jam sarapan.
Mata cokelatnya takut-takut melirik Zou yang berdiri kaku di ambang pintu menunggunya dan mengawasi keduanya dalam diam. Wajahnya tampak kaku dan tatapan tajamnya tidak lepas dari mereka berdua. Dengan gerakan sedikit kasar, pelayan itu berusaha membangunkan Helen sekali lagi dan membuat Helen bangun dari tidurnya dengan terkejut hingga tangannya yang bebas membuat nampan berisikan sarapannya jatuh membentur karpet dengan keras.
Helen melebarkan matanya terlebih melihat wajah wanita itu yang pucat pasi membuatnya semakin bersalah. Helen mengerutkan dahinya saat dia melihat wajah wanita itu tertunduk dan menatap takut-takut pada arah pintu.
Helen menoleh, mendapati Zou berdiri di sana dengan kedua tangan terlipat di depan d**a. Wajah Zou tampak mengeras tapi pria itu tidak berkata apa-apa selain diam menatapnya. Helen menoleh, memandang wajah wanita itu yang ketakutan dan menggeram.
"Aku tidak mau makan, kau dengar," ucapnya pada wanita itu dengan suara sinis yang dibuat-buat. Helen memejamkan matanya saat mendengar pria itu mendengus dan sosoknya tiba-tiba menghilang begitu saja. Menghela napas, Helen segera merapikan gelas dan piring sarapannya ke atas nampan.
"Maaf karena aku tidak sengaja," kata Helen membantu pelayan itu membersihkan kekacauannya. Pelayan wanita itu tampak tertegun sejenak, menatap Helen yang memasang wajah bersalahnya dengan pandangan menilai. "Anda tidak apa?"
Helen menghentikan kegiatannya dan memandang wajah wanita itu dengan sebuah senyum samar. "Tidak, aku baik-baik saja. Tolong, berikan aku jus jeruk saja setelah Zou pergi. Aku tidak ingin makan apa pun pagi ini," katanya setelah dia selesai membersihkan kekacauan itu. Pelayan itu segera mengangguk dan pergi dari kamarnya secepat mungkin.
Helen duduk bersandar pada kepala ranjang dan memegang kepalanya yang terasa nyeri. Dia benar-benar gadis ceroboh. Jika saja Helen tidak menjatuhkan makanannya, jika saja ...
Kepalanya terasa semakin sakit sekarang! Dan satu-satunya cara untuk menyembuhkan rasa sakit di kepalanya adalah dengan meminum jus jeruk.
***
"Yukhei?"
Karin bangun dari kursinya dan menatap Yukhei dengan pandangan bingung. Terlebih saat pria itu mengangguk dengan wajah penuh tanya padanya.
"Dimana Helen?"
Karin mengerutkan dahinya. "Aku tidak tahu. Kemarin saat dia mengabariku, dia bilang dia akan tidur di rumah ayahnya," jawab Karin pelan. Yukhei bergerak ke jendela besar dan mengintipnya dari sana. Hari ini dia menyempatkan waktunya untuk pergi ke yayasan yang dikelola oleh Helen bersama Karin. Sudah hampir enam bulan dirinya tidak kembali untuk menemui Helen dan dia merindukan wanita itu.
Karin melangkah mengikuti Yukhei dan melihat situasi diluar jendela. Dia menemukan ada empat atau lima anak yang berlari dengan layangan dan bola-bola mereka di taman. Karin tiba-tiba tersenyum, membuat Yukhei menoleh.
"Aku merindukannya," Yukhei menghela napas. "Aku tidak menghubunginya hampir satu bulan penuh dan sekarang aku merindukannya."
Karin terkekeh dengan wajah memerah. "Helen tidak pernah melewatkan hari dimana dia selalu mengeluh tentang dirimu yang membiarkannya mengkhawatirkanmu," Karin memperbaiki letak kacamatanya. "Coba saja kau pergi ke rumahnya dan temui dia. Kurasa itu akan bagus untuknya."
Yukhei mengangguk dengan senyumnya. Karin mengantarnya sampai ke pintu luar dan melambai saat mobil hitam itu bergerak menjauhi pagar yayasan.
***
Zou menurunkan senapannya dan menaruhnya di atas meja. Tatapan matanya menggelap saat melihat sosok pria berambut merah yang masuk ke dalam yayasan dengan langkah santai seolah-olah tidak membawa beban apa pun di tubuhnya. Zou mendengus, terlebih saat pria itu terlihat akrab dengan sosok wanita berambut merah dan mereka saling berbicara hangat satu sama lain.
"Tuan."
Zou menghela napas panjang. Dia melirik seorang pria berbadan besar dengan rambut agak oranye dengan sinis. "Kau tahu apa yang dilakukan Rei Yukhei disana?"
Pria itu mengangguk dengan wajah kaku. Zou memutar tubuhnya, memasukkan kedua tangannya di dalam saku celananya.
"Dia mencari Nyonya Centella dan berniat memberikan kejutan untuknya," alis Zou terangkat. "Yukhei sedang pergi menuju rumah Saka untuk bertemu Helen."
Senyum Zou tiba-tiba timbul. Dia duduk di kursinya dan berputar-putar sebentar. "Oh, aku tidak mungkin melewatkan momen ini," katanya dalam. Dia menaruh senapannya ke dalam laci yang berkode khusus dan kembali menatap pria itu.
"Aku benar-benar ingin memberikannya kejutan. Tapi kurasa ini bukan waktu yang tepat, bukan?"
***
Helen membuka gagang pintunya dengan hati-hati. Sembari memegang gelas berkaki bekas jus jeruknya dengan erat-erat seolah hanya itu alat perlindungan diri yang dia punya.
Bunyi pintu terbuka membuat Helen memejamkan matanya takut. Dia takut jika akan ada pria berbadan besar berjaga di depan pintunya dan menahannya untuk keluar. Helen sudah punya beberapa alasan untuk mencoba keluar dari kamarnya dan mencari celah yang ada untuk membantunya kabur dari tempat ini secepatnya.
"Nyonya?"
Helen melompat dan hampir saja melempar gelasnya pada seorang pria berwajah kaku dengan rambut kuning nyentriknya berdiri tidak jauh dari tempatnya saat ini. Helen menatap wajah datar pria itu dengan pandangan marah. "Apa yang kaulakukan?" katanya kesal.
"Mengawasimu," jawabnya kaku.
Helen menggelengkan kepalanya. Dia mengusap dadanya dan perlahan-lahan menarik napas panjang. "Aku ingin mengembalikan gelas ini ke dapur. Bisakah?"
Mata biru itu menatapnya selidik. Helen mencoba untuk tetap tenang dan tidak merasa takut dibawah tatapan mata biru cerah yang sayangnya mematikan itu. Helen tersenyum kecil saat mendapati wajah pria itu seolah kalah, tidak menemukan apa pun yang mencurigakan darinya.
"Biar pelayan yang mengambilnya," ucapnya datar.
Helen menggeleng. "Tidak!" balasnya. "Ini hanya satu gelas saja. Kasihan mereka harus pergi dengan melewati tangga untuk mengambil gelasku," jawab Helen dingin. Pria itu menghela napas panjang dan sedikit bergeser, memberi Helen kode untuk pergi lebih dulu.
Helen tidak bisa menahan senyum puasnya. Dia berjalan menuruni tangga dengan hati-hati dan menatap sekitarnya. Tidak melupakan fakta kalau pria dibelakangnya juga diam-diam mengawasi gerakannya takut-takut Helen bersikap ceroboh dan melukai dirinya sendiri serta orang banyak. Memikirkan ancaman Zou malam tadi membuatnya gelisah. Helen harus berpikir keras agar nyawa orang-orang yang tidak bersalah terselamatkan karena dirinya.
Helen berhenti di ujung tangga terakhir dan menunggu pria itu untuk turun. Mengantarnya sampai ke sebuah ruangan dimana dapur yang besar dan bersih menyambutnya. Helen maju ke sebuah meja panjang dimana letak toples dan gelas-gelas cantik ada di sana. Dia duduk di sebuah kursi tinggi dan menaruh gelasnya. Tersenyum kecil pada sosok wanita bermata cokelat yang dia tahu bernama Ayame itu.
"Terima kasih untuk jus jeruknya," kata Helen pelan. Ayame hanya mengangguk dengan senyum tertahan. Helen kembali duduk, tidak mempedulikan bagaimana tatapan pria bermata biru itu padanya.
"Tolong, kembali ke kamarmu, Nyonya," kata pria itu dengan pandangan datar. Helen menoleh dengan alis terangkat. Memainkan kursinya yang bisa berputar dengan wajah berpura-pura bingung. "Kenapa harus? Aku ingin disini," jawabnya keras.
Dahi pria itu berkerut. Helen mengulum senyum kemenangannya dan kembali fokus ke depan. Menatap toples-toples berisi makanan ringan dengan pandangan kagum.
Tiba-tiba walkie-talkie milik pria itu berbunyi. Helen mengangkat alisnya dan memasang indera pendengarannya agar bisa mendengar apa yang pria itu bicarakan dengan seseorang. Helen mendengus keras. Usahanya sia-sia mendengarkan karena pria itu sama sekali tidak bicara dan hanya menganggukkan kepalanya singkat.
"Nyonya,"
Helen tetap diam.