Kemuning 5

1265 Kata
Rindang masuk ke dalam rumah dengan wajah muram. Hari ini dia merasa sangat lelah setelah seharian bekerja. Sepulang dari rumah sakit, dia langsung pergi ke klinik miliknya dan kembali mengurus pasien. Maka tak heran kalau langkahnya seperti seorang zombie. Melihat itu, Hadi dan Maghfirah yang sedang duduk di ruang tamu saling berpandangan dan kemudian tersenyum. “Kamu kenapa, Dam?” Tanya Hadi. “Capek, yah.” “Kalau capek duduk dulu sini. Mengobrol dulu sama ibu dan ayah.” “Ayah, aku ini capek. Masak malah diajak ngobrol.” “Meskipun soal Kemuning?” Mendengar kata Kemuning, mata Rindang langsung melebar. “Apa yah? Kemuning?” Hadi mencibir. “Mendengar kata Kemuning saja, langsung semangat dia.” Ucapnya pada sang istri. “Ya…begitulah cinta, yah.” Rindang langsung mengambil duduk di hadapan Hadi. “Memangnya ada berita apa tentang Kemuning, yah? Dia menerima perjodohan ini bukan?” “Wah, sudah ketebak nih. Ya sudah, tidak jadi ayah jawab.” Wajah Rindang langsung berseri. “Jadi benar yah kalau Kemuning menerima perjodohan ini?” Hadi mengangguk. “Ya, begitulah.” Senyum lebar mengembang di bibir Rindang. “Alhamdulillah, akhirnya…” ~ ~ ~ "Terima kasih ya, dok..." Itu adalah ucapan dari pasien terakhir Rindang yang berobat. Setelah pasien itu keluar ruangan, Rindang langsung merebahkan punggung di sandaran kursi, berharap dapat menguarkan sedikit kelelahan yang melanda setelah seharian melayani orang-orang yang pesakitan. Tapi rasa lelah tersebut, tidak mengurangi semangatnya untuk menelepon seseorang yang sangat dia rindukan di pulau Jawa sana. Yaitu, seorang pria baik dengan wajah teramat manis, yang disayanginya seperti menyayangi adik sendiri. Ya, disebut adik karena usia pria yang hendak ditelponnya usiannya lebih muda tiga tahun darinya. "Assalamu'alaikum, Dek Hamid. Apa kabarmu?" Sapa Rindang setelah sambungan telepon tersambung. "Wa'alaikumsalam, alhamdulillah baik, bang." Jawab Hamid di seberang. Suaranya terdengar berat di telinga Rindang. ‘Ah, apakah dia sedang bersedih?’ Gumam Rindang dalam hati. Ya, satu yang Rindang tahu, bahwa selama dia bersahabat dengan Hamid, pria itu kerap menampakkan wajah sedih. Dan, setiap kali ditanya penyebabnya, jawaban Hamid selalu sama yaitu merindukan sahabat perempuannya yang tinggal di Kota Serasan Sekentenan (semboyan Kota Lubuklinggau) ini. Mereka sudah bersahabat sejak balita karena mereka dulu bersahabat. Entahlah apa yang dirasakan Hamid pada gadis itu? Rindang sering mempertanyakan itu dalam hati. Tapi yang pasti menurutnya, perasaan Hamid pada sahabatnya lebih dari seorang sahabat. Atau lebih tepatnya, suatu perasaan yang disebut cinta. Lalu, karena perasaan itu pula, Rindang tahu kalau dalam dua hari ke depan Hamid akan kembali ke kota ini. Bukan saja karena sahabat perempuannya itu, tapi juga karena Hamid sudah cinta dengan kota ini setelah berhasil menggapai apa yang telah dicita-citakan di tanah kelahiran. Lewat kenalan lamanya, Hamid diterima mengajar di salah satu universitas di kota ini. "Kabar abang bagaimana?" Tanya Hamid kemudian. "Aku juga baik, Hamid, alhamdulillah..." "Alhamdulillah, aku lega mendengarnya." Jawab Hamid. Terdengar begitu tulus. Tapi Rindang yakin Hamid memang tulus. Dia juga yakin kalau disana Hamid sedang merindukannya, seperti juga dirinya yang merindukan Hamid. Dulu zaman kuliah, Hamid sering datang ke kos-an Rindang dan mereka tidur bersama. Perbedaan usia di antara mereka tidak menjadi penghalang untuk sebuah kekompakkan dan kecocokkan. "Oya, aku punya kabar baik untukmu." Rindang tak sabar untuk menyampaikan berita ini kepada Hamid. Dia yakin Hamid akan senang mendengar berita ini karena setiap saling telpon seperti ini, Hamid selalu menanyakan hal yang akan disampaikan olehnya ini. "Apa itu?" Nada terdengar penasaran. "Apa mungkin abang akan mengabarkan bahwa abang akan segera menikah?" lanjutnya "Tepat!" Sahut Rindang langsung. "Wah, selamat ya, bang. Ceritakan dikit tentang calon kakak iparku itu..." Rindang tersenyum. Dia meresa tebakannya benar kalau Hamid akan senang mendengar berita ini. Meskipun dia tidak melihat wajah Hamid secara langsung, tapi nada bicara Hamid sudah menggambarkan bagaimana ekspresi wajahnya sekarang. Rindang menatap lurus ke depan, pada tembok putih yang kini sudah tergambar wajah Kemuning, calon istrinya "Dia cantik dan manis..." Jawab Rindang kemudian, meluncur saja dari mulutnya. "Sayangnya... Dia susah sekali untuk tersenyum, seolah ada yang membebani fikirannya. Tapi, jika sudah menikah nanti, aku pasti bisa membuatnya tersenyum.” Hening. Obrolan kami tiba-tiba terjeda karena kini aku mengkhayalkan Kemuning. Wajahnya yang oval, kulitnya yang kuning langsat, bibirnya yang mungil, dan matanya yang bulat seperti barbie. Ah, dia itu asli sangat menggemaskan. "Bang, abang..." Suara Hamid membuyarkan lamunanku. "Ah, maaf Hamid, aku melamun." Terdengar tawa di seberang. "Abang ini, sebegitu ngebetnya sampai melamunkannya seperti itu..." "Aduh...bukan begitu... Aku hanya merasa beruntung bisa menikah dengan gadis seperti dia." “Ah, aku jadi iri.” Keduanya tertawa renyah. Tawa itu juga menuntaskan rindu antara keduanya. ~ ~ ~ "lihat mawar itu, Muning." Tunjuk Hamid pada sebuah tanaman mawar yang sedang berbunga. "Yang masih kuncup cantik ya seperti kamu?" Kemuning mengerutkan keningnya. "Kok aku seperti mawar, mid? Tentu saja aku cantik seperti mawar yang sudah mekar." Hamid menggeleng dengan bibir bawah lebih ke depan. "Tidak. Menurutku masih cantik mawar kuncup daripada mawar mekar." Mata kemuning melebar. "Ih, apa sih yang ada dalam pikiranmu? Tentu saja yang mekar yang lebih cantik." "Kamu salah, Muning. Kuncup yang lebih cantik." "Mekar, Mid." "Kuncup." "Mekar." "Kuncup pokoknya kuncup." "Mekar! Mekar! Mekar!" Hamid mencibir. "Huh, dasar keras kepala." Mendengar itu, wajah Kemuning langsung ditekuk. "Apa? Kamu bilang aku keras kepala?" "Memang iya." Kemuning menggeram. "Oh, oke kalau begitu. Aku memang keras kepala. Jadi kamu jangan berteman dengan gadis yang keras kepala seperti aku." Kemuning berbalik cepat dan kemudian melangkah meninggalkan Hamid dengan wajah kesal. Hamid menipiskan bibir. "Yah, merajuk deh dia. Muning, tunggu!" Hamid langsung berlari mengejar Kemuning. Pria itu mensejajari langkah Kemuning yang cepat-cepat. "Muning, kamu marah ya?" "Menurutmu?" "Duh, jangan marah dong." "Kamu bilang aku keras kepala dan aku tidak boleh marah?" "Jangan diambil hati. Aku hanya bercanda." "Bercanda bagaimana? Aku lihat kamu serius begitu kok ketika mengucapkannya." "Kalaupun serius 'kan tidak apa-apa. Memangnya kenapa kalau kamu keras kepala? Apapun kamu, aku tetap suka kok." Mendengar itu, Kemuning langsung terhenyak dan kemudian menoleh pada Hamid. "Suka? Maksudmu suka apa?" Lalu matanya menyipit penuh selidik. "Jangan bilang kamu..." Hamid melirik Kemuning dan tersenyum. "Kamu apa? Aku memang suka kamu." Mata Kemuning melebar. "Sebagai sahabat, Muning. Sebagai sahabat." Kemuning menghela nafas lega. "Oh, aku kirain." "Kirain apa? Aku menyukai kamu sebagai seorang wanita?" "Ya barangkali saja." "Kalau iya kenapa? Memang tidak boleh?" Kemuning kembali terhenyak. "Jadi memang benar?" Hamid tersenyum lebar sembari mengusap lehernya. "Tidak. Hanya bercanda." Kemuning mendengus kesal. Tangannya siap menjitak. "Kamu ini!" "Hehe..." "Sudah ah, lama-lama syaraf aku sama kamu." Kemuning berlari. Saat ini mereka sudah kelas 11 SMA. Dan sebenarnya Kemuning juga sudah mulai merasakan benih-benih cinta pada Hamid. Mendapati Kemuning berlari, Hamid pun mengejar. "Muning! Jangan berlari woy! Tunggu aku! Muning! "Muning!" Hamid terbangun dari tidurnya. Dia baru saja memimpikan masa lalunya bersama Kemuning waktu SMA dulu. Entah apa artinya. Mengapa kisah itu harus hadir dimimpinya? Tapi sedetik kemudian dia tersenyum. Dia beranggapan kalau wajar Kemuning muncul di mimpinya karena hari ini dia memang akan berangkat ke kota kecil tempat Kemuning tinggal. Yaitu kota tempat dirinya lahir dan besar hingga berumur 18 tahun. Sudah berencana untuk langsung Melamar Kemuning jika sudah tiba di sana nanti. Dia yakin sekali Kemuning tidak akan berubah. Tetap seperti Kemuning yang dulu. Kemuning yang selalu bersama-sama dengannya kemana pun. "Muning, aku pulang. Tunggu aku ya. Kita akan bersama-sama lagi seperti dulu. Kali ini lebih dekat, yaitu kita akan bersama-sama selamanya dalam ikatan pernikahan. Aku sudah tidak sabar untuk bertemu kamu, Muning. Rasanya ingin cepat santai." Dengan semangat 45, Hamid lalu turun dari atas tempat tidur. Dia langsung menyambar handuk dan kemudian melangkah masuk kamar mandi. Tak lama kemudian, di dalam kamar mandi itu, dia mendengar suara air dan orang yang sedang bernyanyi. Bersambung...
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN