Seorang pria tampan tampak sedikit sibuk. Dia memakai atasan batik dan celana panjang hitam. Terlihat gagah dan memikat. Dia memang harus berpenampilan begini malam ini karena malam ini adalah malam pertunangan Rindang, sahabat sekaligus kakaknya. Padahal dia baru tadi siang sampai di kota ini. Lelah, tak apalah. Yang penting dia melewatkan momen bahagia sahabatnya itu.
Hamid mendatangi rumah Rindang dengan sepeda motor dan kedatangannya ternyata sudah ditunggu-tunggu oleh Rindang. Karena sudah lama tidak bersua, keduanya berpelukan terlebih dahulu sebelum akhirnya berangkat menuju rumah calon istri Rindang.
Rindang sengaja mengajak Hamid dalam mobil yang sama menuju rumah Kemuning. Mereka ingin melewati perjalanan sambil bercengkrama. Maklumlah sudah lama tidak bertemu.
“Oya, bagaimana kabar sahabat masa kecilmu itu? Apa sudah kamu temui?” tanya Rindang setelah mereka berbicara banyak sebelumnya.
“Belum bang. Belum sempat. Aku ‘kan baru sampai tadi siang. Rencananya sih besok.”
“Oh, begitu. Aku doakan kalian masih saling mengenal.”
“InsyaAllah masih.”
Perjalanan terus berlanjut. Hingga sampailah mobil-mobil keluarga Rindang di sebuah rumah. Saat itu juga, jantung Hamid berdegup kencang. Dia masih ingat betul kalau ini adalah rumah Kemuning karena tidak terlalu banyak mengalami perubahan.
“I-ini rumah calon istri abang?”
Rindang mengangguk. “Iya, ini rumah calon istriku.”
“Nama calon istri abang siapa?”
“Kemuning.”
Bagai tersambar petir Hamid mendengar itu. Hatinya terasa hancur lebur menjadi serpihan debu.
Sendi-sendi Hamid terasa lemas mendengar itu. Dia sangat tidak menyangka kalau wanita yang akan bertunangan dengan Rindang adalah Kemuning, wanita yang selama ini dicintainya. Kalau kenyataan seperti ini, dia harus bagaimana? Haruskah dia mengatakan pada Rindang kalau calon istrinya adalah wanita yang dicintainya? Tapi bagaimana perasaan Rindang jika dia mengatakan itu? Namun jika tidak dikatakan, untuk apa dia datang lagi ke kota ini kalau ternyata sudah pupus harapan?
“Mid! Hamid!”
Hamid terhenyak. Dia langsung menoleh pada Rindang. “Ya, bang.”
“Kenapa kamu malah melamun?”
Hamid mencoba untuk tersenyum meskipun hatinya merasa begitu sakit. “Oh, tidak ada apa-apa. Aku hanya tidak menyangka akhirnya abang akan bertunangan.
“Ya, sudah. Sekarang keluar dari mobil yuk. Kita masuk ke dalam rumahnya.”
Hamid mengangguk. “I-iya, bang.”
Hamid pun keluar dari mobil mengikuti Rindang. Tapi setiap langkah Hamid masuk ke rumah Rindang, membuat hatinya bagai tercabik-cabik.
Sementara itu di sebuah kamar, Kemuning menatap dirinya yang kini memakai gamis brukat berwarna merah muda dengan hijab berwarna senada. Tampak cantik dan anggun. Semua orang mengakui kalau Kemuning memang memiliki paras yang cantik. Dulu pun dia menjadi idola di sekolah. Sayangnya, Kemuning tidak menerima cinta satu pria pun yang mengungkapkan perasaan kepadanya. Keberadaan Hamid sudah cukup melengkapi masa remajanya hingga terasa begitu bahagia.
Sayang, kecantikan itu tak diikuti seri. Sejak sang ayah memintanya menikah dan dia tidak mendapat kabar tentang Hamid, Kemuning seperti kehilangan cahaya kecantikannya. Hari pun, seharusnya dia berbahagia karena sebentar lagi akan dilamar oleh seorang dokter tampan bernama Rindang.
Namun, tentu dia tidak bisa membohongi diri sendiri yang di hatinya bukan ada Rindang melainkan Hamid. Meski dia sudah memaksakan diri untuk bahagia dan berusaha untuk melupakan yang tidak berkabar, nyatanya itu tidak semudah menghujamkan niat.
"Muning, apa lagi yang kau tunggu? Rindang dan keluarganya sudah datang." Tiba-tiba saja Mardalena sudah ada di ambang pintu dan membuyarkan lamunannya. "Ayo keluar! Temui keluarga calon suamimu!"
Deg.
Kemuning membalikkan badan. "Baiklah, mak. Tunggu sebentar.”
“Baiklah. Tapi jangan lama-lama. Umak tunggu di ruang tengah.”
“Iya, mak.”
Kemuning menatap ke cermin kembali. Lalu untuk menghilangkan perasaan yang tidak menentu di hatinya, dia menghela nafas panjang. Kemudian, barulah dia melangkah keluar kamar menuju ruang tamu.
Ruang tamu yang sudah dipenuhi banyak orang. Mereka adalah keluarga Rindang, kekuarga besar Kemuning, dan para tetangga dekat.
Kemuning mengambil duduk di antara Zainudin dan Mardalena, tempat yang memang sedari awal memang disediakan untuknya. Tepat di depannya adalah Rindang yang diapit oleh kedua orangtuanya, Hadi dan Magfirah. Di samping Magfirah ada Senandung, adiknya Rindang. Dan di samping Zainudin ada pria berwajah manis dan tak kalah tampan dari Rindang.
Tapi tunggu dulu!
Kemuning menajamkan pandangannya. Dia menajamkan pandang pada pria yang ada di sebelah Hadi. Saat itu juga Jantungnya langsung berdegup kencang. Meskipun sudah bertahun-tahun tidak bertemu, Kemuning masih sangat mengenali wajahnya. Dia, pria itu, pria yang ada di samping ayahnya Rindang tersebut adalah Hamid. Orang yang selama ini menghuni hatinya, sekaligus pria yang sangat dia rindukan.
‘Hamid...kamu…’ gumam hati Kemuning.
Setetes bening langsung menyeruak di sudut mata Kemuning. Ingin rasanya dia menghambur pada pria itu dan memeluknya saat ini juga. Kemuning sangat merindukannya. Tak pernah sehari dalam hidupnya dia melupakan Hamid. Kini, dia malah bertemu dengan Hamid dalam situasi yang seperti ini.
‘Allah... Apa maksud dari semua ini? Mengapa takdir seolah mempermainkan diriku?’
Kemarin dia bisa menerima Rindang karena Hamid tidak diketahui dimana rimbanya. Tapi sekarang, rasanya dia tidak ingin meneruskan pertunangan ini lagi.
Sementara itu, Hamid hanya bisa menundukkan wajahnya dengan mata berkaca-kaca. Dia sangat berusaha keras untuk tidak meneteskan airmata. Meskipun dia sangat mencintai Kemuning, tapi dia sangat menyayangi Rindang. Apalagi dia melihat Rindang tampak bahagia menghadapi pertunangannya dengan Kemuning. Apakah dia tega menghancurkan pertunangan itu dengan sebuah pengakuan?
Tidak. Dia tidak tega melakukan itu. Tapi bagaimana dengan perasaannya ini?
Yang terkejut bukan hanya Kemuning dan Rindang, karena Zainudin dan Mardalena pun mengalami hal yang sama. Meskipun Hamid tampak lebih bersih dan tampan, tapi mereka masih ingat dengan anak mantan tetangga mereka itu. Tapi mereka tidak bisa menggagalkan pertunangan ini setelah tahu pria yang dicintainya putrinya ada di tempat ini. Itu akan membuat Hadi dan keluarganya merasa dipermainkan dan dihina.
Hadi dan Mardalena menoleh pada Kemuning. Mereka melihat airmata Kemuning sudah mengalir. Mereka mengerti perasaan putri mereka itu. Jika saja Hamid berkabar atau kembali ke kota ini sebelum mereka perjodohan ini, tentu mereka akan merestui Kemuning dengan Hamid. Niat awal mereka hanya ingin melihat Kemuning cepat menikah. Karena Kemuning tidak mempunyai calon sendiri, maka dicarikan oleh mereka.
Agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan, Hadi dan Mardalena langsung menggenggam tangan kanan dan kiri Kemuning. Masing-masing satu tangan untuk memberi kekuatan. Mereka berharap Kemuning tidak menyakiti keluarga Rindang dengan mengungkapkan kebenaran ini.
Kemuning sendiri mengerti maksud kedua orangtuanya. Meskipun hatinya hancur lebur, dia tidak bisa mempermalukan hati kedua orangtuanya di rumah sendiri dan di hadapan banyak orang. Akhirnya dia hanya bisa memendam perasaan sakitnya dalam hati.
Tak lama kemudian, acara lamaran pun langsung dengan lancar. Tapi sesudah acara lamaran itu selesai, Kemuning langsung mengunci diri dalam kamar dan menangis sejadi-jadinya. Sakit, sakit sekali rasa hatinya mendapati kenyataan bahwa dia akan menikahi kakak angkat Hamid. Kini dia tidak mau menikah dengan Rindang karena sudah Hamid sudah datang. Tapi bagaimana dia mengungkapkan keinginananya itu?
Di luar, Mardalena beberapa kali mengetuk pintu kamar agar dibukakan. Tapi tak diindahkan oleh Kemuning. Saat ini dia butuh waktu untuk sendiri dulu. Sekali lagi, butuh waktu untuk sendiri.
Malam berlalu dengan lambat. Kemuning tidak bisa membawa dirinya ke dunia mimpi. Bagaimana tidak, masa-masa indah yang dia lewati bersama Hamid membentang jelas di dalam benak. Apalagi ketika mereka mengikat janji akan selalu bersama selamanya hingga maut memisahkan mereka. Dan, Kemuning adalah orang yang paling bersemangat mengikat janji tersebut dan yakin pada diri akan bisa menepati janji tersebut.
Tapi, apa yang terjadi kini justru tak sejalan dengan apa yang terlafadzkan di bibirnya. Di hadapan Hamid, dia mengkhianati janji tersebut, bertunangan dengan kakak angkat Hamid sendiri.
Bersambung...