Kemuning 7

1399 Kata
Klak. Hamid Membuka pintu kamarnya dengan wajah pucat pasi. Bagaimana tidak, dia baru saja mengantarkan Rindang bertunangan dengan gadis yang dia cintai. Padahal, dia berniat besok akan menemui Kemuning. Tapi tidak pernah dia sangka bahwa dia bertemu Kemuning lebih cepat. Tapi dalam momen yang membuat hati remuk dan hancur. Kemuning baru saja bertunangan dengan Rindang. "Muning, kenapa ini bisa terjadi? Kenapa kamu harus bertunangan dengan Bang Rindang? Tidak bisakah kamu menungguku? Lalu apa artinya janji kita? Apa? Mengapa kamu tidak bisa menepatinya?" Hamid meremas rambutnya. Hatinya begitu hancur. Dia seperti ingin menjerit menyuarakan perasaannya saat ini. Tapi dia tidak bisa melakukan itu. Dia malu dengan tetangga sebelah yang hanya tersekat dinding. Tempatnya sekarang adalah sebuah kontrakan yang terdiri dari sepuluh pintu. Dan dia berada di pintu tengah. Frustasi dengan apa yang baru saja menimpanya, Hamid langsung turun dan duduk bersandar pintu. Airmatanya kemudian mengalir dengan deras dari keduanya matanya yang sayu. "Muning, aku merindukan kamu. Aku mencintaimu, Muning. Aku merantau ke pulau Jawa adalah untukmu. Untuk masa depan kita. Kita sudah berjanji bukan kalau kita akan bersama selamanya. Tapi kenapa kini jadinya malah seperti ini? Bahkan aku belum menyentuhmu sejak tujuh tahun berlalu. Namun kamu sudah menjadi calon istri Bang Rindang. Sakit sekal8 hati ini, Muning. Sakit sekali. ~ ~ ~ "Jodoh, rezeki, dan maut itu sudah ada yang mengatur. Tak perlu ada yang kamu sesali. Mungkin, kamu memang tidak berjodoh dengan Hamid. Berfikirlah sesederhana itu." Tutur Mardalena sembari mengiris bawang merah di atas talenan. Kemuning yang sedang memotong-motong kangkung, sedari tadi tak jua menyelesaikan tugas meski kangkungnya hanya dua ikat. "Tapi mak, tetap saja aku merasakan sakit yang luar biasa.” Jawab Kemuning. “Awalnya aku menerima Bang Rindang karena aku pikir Hamid memang tidak akan datang lagi ke kota ini. Tapi ternyata dia kembali. Mirisnya, dia adalah adik angkatnya Bang Rindang. Rasanya aku seperti dipermainkan Tuhan. Selama ini aku selalu berharap Hamid kembali hingga membawanya ke dalam doa. Tuhan mendengarku, karena Hamid memang kembali. Tapi dia ternyata aku sudah menjadi calon istri kakak angkatnya.” "Iya, iya. Umak mengerti. Tapi ini bukan sepenuhnya kesalahanmu. Salah Hamid juga tak pernah berkabar. Mana bisa dia menggantung perasaan seorang gadis seperti itu. Jika saja dia bisa lebih peka akan hal ini, memberi kabar kepadamu, pertunangan semalam tidak akan terjadi." Kemuning membisu. Yang diucapkan ibunya ada benarnya. Tujuh tahun Hamid meninggalkannya, tujuh tahun juga pria itu tidak berkabar kepadanya. Tidakkah Hamid tahu dia sangat ingin mendapat kabar darinya? "Mak, kangkungnya sudah selesai ku potong." Kemuning meletakkan baskom kecil berisi potongan kangkung ke atas meja, lalu membalikkan badan sebelum akhirnya melangkah hendak meninggalkan dapur. "Eh, kamu mau kemana?" Seru Mardalena. "Ini tempenya belum kamu potong-potong juga." Kemuning menoleh sekilas. "Umak saja. Aku mau keluar cari angin." Kening Mardalena mengerut seolah keberatan, tapi dia tidak bisa mencegah langkah kaki putrinya tersebut meninggalkan dapur yang cukup luas itu. Begitu sampai di luar, Kemuning langsung mendongak ke atas. Matahari yang tadi siang bersinar terik, kini sudah meredup. Ya, hari sudah menjelang sore sehingga tampaknya si raja siang itu sudah mulai kelelahan memberi penerangan pada bumi. Dengan langkah ringan, bermaksud menghilangkan gundah yang menyiksa, Kemuning melangkahkan kakinya menuju Sungai Watervang yang memang hanya berjarak beberapa puluh meter dari rumahnya. Suara deru air terjun, menyambut kedatangannya di bibir sungai. Tapi apa yang dilihatnya kemudian membuatnya terhenyak. Dia mendapati seorang pria yang dikenalnya dan sudah lebih dulu tiba di sana dan tengah memandangi riak air yang jatuh dari atas ke bawah. “Hamid…” gumamnya. Bab 7 Dengan langkah pelan, Kemuning melangkah mendekat kepada pria itu. Meskipun pria itu membelakanginya, dia tahu itu adalah Hamid. Meskipun tubuh Hamid sudah lebih berisi dan berotot dari ketika Hamid remaja, dia tetap tahu itu adalah Hamid. "Hamid…" panggil Kemuning lirih. Tanpa menoleh, Hamid menghela nafas panjang. "Selama tujuh tahun di perantauan, tidak sehari pun aku bisa melupakan alam Watervang. Pun melupakan wajah seorang gadis yang selalu aku rindukan..." Deg. Kemuning tertohok. "Maafkan aku, Mid. Tapi, sebelum aku menerima Bang Rindang, aku telah mencari kabar tentang dirimu kemana-mana. Sayang, aku tidak menemukannya. Ubak dan umak, sibuk memintaku untuk segera menikah. Dan akhirnya, mereka menjodohkanku dengan Bang Rindang." "Ya, aku mengerti. Kamu tahu kenapa aku tidak berkabar padamu? Itu karena ponselku hilang dalam perjalanan. Dan aku menghadapi hari-hari yang begitu keras di sana. Pontang panting aku mempertahankan hidup dan pendidikan. Hingga pernah beberapa hari hanya makan roti." Kemuning menelan ludah, seolah merasakan usaha Hamid yang tidak mudah itu. Artinya, selepas kepergian Hamid dari kota ini, pria itu menjalani hidup yang luar biasa sulit walau hanya untuk sekedar menarik nafas. Dan, alat komunikasi satu-satunya hilang pula. Sedari dulu, Kemuning tidak punya f*******:, i********:, twitter, atau sejenis itu yang mungkin bisa menyambungkan komunikasi mereka. "Jadi, aku harus bagaimana sekarang, Hamid? Jujur, aku masih sangat berat padamu. Jika, kamu menghendaki aku kawin lari bersamamu, maka aku akan menyanggupi. Sungguh, aku pun merasakan hal yang sama denganmu. Setiap hari, aku menunggumu kembali dan merindukanmu." Hamid terdiam. Kedua tangan kekarnya masuk ke dalam kantong celana. Lama dia memandang ke depan, ke hamparan alam Watervang yang mulai tersaput senja. Sedangkan Kemuning, terdiam menunggu jawab yang akan bergulir dari bibirnya. "Tidak. Kita tidak boleh melakukan itu." Jawab Hamid kemudian. "Karena, jika kita melakukan itu, akan banyak orang yang tersakiti. Kedua orangtuamu, kedua orangtua Bang Rindang, dan Bang Rindang sendiri." "Tapi dengan kita menyembunyikan ini, hati kita yang sakit..." "Tak apalah. Mungkin takdir kita memang hanya sebatas ini. Mereka tidak berdosa kepada kita. Jadi bagaimana mungkin kita membiarkan mereka merasakan sakit hati." Hamid menoleh dengan dua bulir airmata yang mengalir di kedua pipinya. Meskipun semalaman dia sudah menangisi takdirnya dengan Kemuning, tetap saja dia tidak bisa menahan perasaan sedihnya akan kehilangan gadis yang dia cintai untuk selamanya karena gadis itu akan dimiliki oleh kakak angkatnya. Hamid lalu memandang Kemuning lekat. Tidak bisa dipungkiri rasanya dia ingin memeluk dan mengecupi Kemuning. Tapi apa haknya meskipun dia sangat ingin melakukan itu. Bukan karena nafsu. Tapi karena rindu yang amat sangat dan begitu menggebu setelah 7 tahun tidak bertemu. "Muning." Panggilnya kemudian. "Ya..." "Kamu... Kamu...." "Aku kenapa, Mid?" Kemuning sendiri tak sabar ingin mendengar apa yang akan dikatakan oleh Hamid. "Benar kata Bang Rindang. Kamu adalah seorang gadis yang cantik. Ya, dari dulu kamu memang cantik sehingga menjadi incaran banyak laki-laki di sekolah. Tapi sekarang, kamu semakin cantik.” Mata Kemuning melebar mendengar itu. Dari dulu, Hamid tidak pernah memujinya. Baik cantik atau apa pun. Tapi Kemuning tahu Hamid begitu sayang kepadanya. Terbukti Hamid selalu tampak melindunginya dan mengayominya seperti seorang kakak, meskipun mereka seumuran dan hanya tua Hamid beberapa bulan saja. Hamid tersenyum penuh arti. “Kamu pasti merasa aneh ketika aku mengatakan kamu cantik?” Kemuning mengangguk pelan. Lalu mengambil duduk di atas akar besar yang berasal dari sebuah pohon besar yang tumbuh tepat di belakang Hamid berdiri. “Itu karena aku takut kamu akan berubah menjauhiku jika aku mengatakan kamu cantik. Maklumlah, terkadang sebuah pujian malah membuat tidak nyaman. Jadi aku hanya mengatakan bahwa kamu cantik di dalam hati saja. Kamu memang serasi bersanding dengan Bang Rindang yang tampan, gagah, dan pintar.” “Tapi aku tidak mempunyai rasa sedikit pun kepadanya Hamid!” Sahut Kemuning cepat dan tegas. Dia ingin Hamid mengerti perasaannya yang sebenarnya. Perasaan yang sangat berat menikah dengan Rindang sementara orang yang dia cintai dan dirindukannya ada di depannya. “Aku hanya mencintai kamu Hamid. Dari dulu hingga saat ini.” “Nanti jika kamu sudah menikah dengan Bang Rindang, kamu pasti akan mencintainya. Bang Rindang adalah pria yang sangat baik dan perhatian. Sikapnya itu bisa meluluhkan hati semua orang, tak terkecuali kamu.” Kemuning menggeleng-gelengkan kepala, tak terima dengan jawaban Hamid. “Tidak! Aku rasa tidak! Kenangan kita sedari kecil, tak bisa dengan mudah aku lenyapkan dari benakku. Aku bersedia jika kamu ingin membawaku kawin lari bersamamu, mid.” Hamid tersentak kaget mendengar pernyataan Kemuning barusan. Sungguh di luar dugaannya. “Istighfar, Muning! Kita tidak boleh sampai melakukan hal seperti itu!” Kemuning berdiri dengan geram. “Lalu aku harus bagaimana? Kamu fikir mudah bagiku menikah dengan orang yang tidak aku cintai sedangkan pria yang aku cintai terluka?!” “Aku tau tidak mudah bagimu karena ini juga tidak mudah bagiku!” Jawab Hamid lirih tapi penuh penekanan. “Pernikahan yang akan terjadi antara kamu dan Bang Rindang memang sulit untuk kita berdua terima. Tapi mau tidak mau kita harus terima. Mungkin, kamu memang ditakdirkan untuk Bang Rindang dan bukan aku.” Bersambung...
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN