Hamid langsung membuang pandang ke air terjun yang mengeluarkan bunyi gemuruh setelah mengatakan itu. Dia menyembunyikan airmatanya yang kembali mengalir. Apa yang dia ucapkan sebenarnya bertentangan dengan perasaannya. Sungguh, dia pun ingin menikah dengan Kemuning.
Beberapa bulir air yang berjubelan hendak keluar dari kedua sudut mata Kemuning ketika mendengar yang diucapkan Hamid. Hatinya meronta. Hatinya tidak terima. Bertahun-tahun dia menanti kepulangan Hamid, namun setelah pria itu pulang dia malah akan bersanding di pelaminan dengan pria lain.
“Mengapa kamu mengatakan itu Hamid? Apa ini artinya kamu melepaskanku untuk Bang Rindang? Kamu lebih memilih hatimu dan hatiku sakit?”
Hamid mengatupkan kelopak matanya. “Aku terpaksa melakukan ini, Muning. Aku tidak punya pilihan. Aku tidak bisa melukai hati Bang Rindang. Selama ini dia begitu baik kepadaku. Dan kamu, kamu pun tidak boleh menghancurkan perasaan kedua orangtuamu karena ridho-nya Allah adalah ridho orangtuamu juga.”
“Jadi?”
Hamid berbalik badan. “Semoga kamu dan Bang Rindang berbahagia. Doaku selalu menyertai kalian.” Hamid melangkah meninggalkan Kemuning yang kemudian berkali-kali memanggil dirinya.
“Hamid. Hamid! Hamid!!”
Hamid tak lagi menoleh. Pria itu terus melangkah dengan wajah menghadap lurus ke depan.
Kemuning lemas. Dia kembali duduk di akar poho dan menangis dalam tangkupan kedua tangannya.
‘Hamid, kenapa takdir kita jadi seperti ini?’
~ ~ ~
Andai dia bersedia menampung airmatanya, maka entah berapa cawan yang dia butuhkan untuk itu. Airmatanya sendiri seolah tak mau berkompromi dengan keceriaan keluarganya yang menyambut hari-hari menuju hari pernikahannya, mereka akan keluar begitu saja kala hati mulai merindukan Hamid atau saat merasa sedih. Mungkin, karena ini pula tubuhnya pagi ini terasa tidak fit dan demam.
“Umak dan Ubak mau berangkat ke Muara Kelingi untuk mengundang sanak keluarga di sana. Kamu sarapanlah sendiri. Nanti kalau mau pergi mengajar, tolong dikunci rumah dengan benar.” Ucap Mardalena sembari membenarkan letak hijabnya. Zainudin sendiri sudah menunggu di dalam mobil di halaman rumah.
Kemuning mengangguk. “Iya, mak. Tidak usah khawatir. Aku pasti akan mengunci pintu rumah dengan baik.”
Tapi bukannya segera melangkahkan kaki dari ruang makan, Mardalena malah memperhatikan wajah putrinya itu lekat. “Muning, apa kamu sakit? Kenapa wajahmu pucat begitu?”
Kemuning memaksakan sebuah senyum. “Aku memang agak demam. Tapi aku baik-baik saja, mak. Umak tidak perlu khawatir.”
Alis Mardalena bergerak ke atas. “Kamu yakin?”
Kemuning mengangguk. “Ya aku yakin.”
“Ya sudah kalau kamu yakin. Umak pergi dulu ya. Assalamu’alaikum…”
“Wa’alaikum salam.” Kemuning lalu menyinduk nasi goreng dari baskom kecil ke dalam piringnya, lalu mulai sarapan. Sayangnya, demamnya membuatnya kehilangan selera makan. Lidahnya terasa pahit. Akhirnya, hanya beberapa sendok saja yang masuk mulutnya dan kemudian dia memutuskan untuk berangkat mengajar.
Tapi Kemuning merasa keadaannya semakin parah. Tubuhnya terasa sangat lemas dan kepalanya pusing tidak ketulungan. Saat ini dia sedang berada di depan kelas, sedang menjelaskan materi pada murid-muridnya sembari memberikan coretan di white board.
Namun makin lama, dia semakin merasa lemas dan pusing. Kemuning tidak kuat lagi. Dia pun memutuskan untuk kembali duduk. Tapi ketika dia berbalik badan, seketika keadaan menggelap dan kakinya tidak mampu menompang berat tubuhnya lagi.
Bruk!
Tubuh Kemuning jatuh ke lantai kelas.
~ ~ ~
Bab 8
Yang pertama Kemuning lihat ketika kedua matanya terbuka adalah plafon berwarna putih. Lalu dia menoleh dan mendapati Viola berada di sampingnya.
“Alhamdulillah akhirnya kamu sadar juga, Muning…” Ucap Viola dengan menampakkan kelegaan di wajahnya. “Aku sangat khawatir tadi. Bagaimana bisa kamu tetap nekat pergi ke sekolah sementara kamu sedang sakit.”
“Aku di mana?” Tanya Kemuning tak perduli dengan apa yang ditanyakan Viola barusan.
“Di ruang UKS.”
“Kenapa aku ada di sini?”
“Tadi kamu pingsan, Muning.”
Mengabaikan kepalanya yang masih terasa pusing, Kemuning berusaha untuk bangun dari baringnya sembari memegangi kepalanya.
“Eit, kamu mau kemana, Muning?” Tanya Viola dengan kening mengerut serta tangan yang bersiap siaga memegangi jika Kemuning tak mampu bangun sendiri.
“Tentu saja aku mau turun.”
“Kalau mau turun, tunggu sebentar.” Viola berbalik cepat keluar ruangan dan tak lama kemudian kembali dengan seseorang yang begitu Kemuning kenal.
“Bang Rindang? Kenapa abang ada di sini?” Tanya Kemuning dengan nada terkejut yang tak bisa di sembunyikan.
Belum sempat Rindang menjawab, Viola langsung memotong. “Maaf Muning, tadi itu aku menelpon umak dan ubakmu. Tapi karena mereka sedang di Muara Kelingi, akhirnya mereka menelpon Bang Rindang untuk menjemputmu.”
Kemuning menghela nafas kecewa. Bagaimana bisa kedua orangtuanya menelpon Rindang untuk menjemputnya? Dikira dirinya sudah menikah dengan pria itu apa?
“Baiknya sekarang kita ke rumah sakit untuk tes darah.” Ucap Rindang tiba-tiba. “Tadi aku memegang keningmu dan sangat panas. Aku takut kamu terkena typus.” Rindang menyelempangkan tas Kemuning ke bahunya seolah itu tasnya sendiri. “Ayo aku bantu kamu turun.” Dia lalu memberikan tangan ke arah Kemuning.
Kemuning menatap tangan kekar Rindang yang diulurkan kepadanya dengan kesal. Bagaimana bisa pria di depannya ini berniat menyentuhnya sementara di antara mereka belum terikat pernikahan? Apakah pria itu ingin mengambil kesempatan dalam kesempatan?
Kemuning menggeleng tegas. “Tidak perlu aku bisa sendiri.”
Alis Rindang terangkat ke atas. “Sendiri? Memangnya kamu Kuat tidak berjalan sampai ke tempat parkiran dalam keadaan seperti ini tanpa bantuan orang lain?” Tanya Rindang dengan tatapan penuh selidik.
“Kuat. Siapa bilang aku tidak kuat?” Jawabnya yakin sembari cepat-cepat turun dari tempat tidur. Tapi begitu kakinya menyentuh lantai, kepalanya puyeng. Tubuhnya pun lunglai dengan sendirinya ke belakang. Dengan cekatan, Bang Rindang menangkap tubuhnya.
“Tuh, ‘kan belum kuat.” Ucap Bang Rindang lirih.
Kemuning merasa tertohok. Bagaimana tidak, dia merasa tampak seperti orang yang bodoh karena berkeras hati. Tak ingin lama-lama dalam posisi sekarang, Kemuning pun cepat-cepat mencoba untuk bangun. Tapi tentu saja sulit karena posisinya yang miring ke belakang dan bertompang dalam kekuatan tangan Rindang.
“Aku bantu ya.” Rindang mendorong tubuh Kemuning ke atas hingga gadis itu bisa berdiri tegap. Tapi tangannya tidak juga dia lepaskan dari bahu Kemuning. Tentu saja Kemuning kesal dan langsung menoleh.
“Tangan abang!”
Rindang yang cerdas langsung mengerti maksud Kemuning. “Tidak ada maksud lain, Muning. Aku takut kamu jatuh lagi makanya aku tetap memegangi kamu. Keadaannya darurat. Jadi tak apalah jika aku memegangi bahumu. Toh, sebentar lagi kamu menjadi istri aku.”
Deg.
Kalimat itu… Mengapa Kemuning tidak suka mendengarnya?
Kemuning melirik Viola yang berdiri tak jauh dari mereka. Wajah gadis itu memerah. Viola merasa malu dengan kata-kata Rindang yang sangat romantis itu. Dia jadi ingin menggantikan posisi Kemuning dengan dirinya saat ini. Pria seperti Rindang adalah pria idaman setiap wanita.
Kemuning menoleh pada Rindang kembali. “Tapi sungguh aku bisa berjalan sendiri.”
Rindang mendengus kecewa. Kemuning sungguh keras kepala. Dengan berat hati, dia menarik tangannya menjauhi bahu Kemuning. “Baiklah.”
Keduanya pun berjalan beriringan menuju tempat parkir dalam diam. Meski begitu, Rindang terus mengawasi langkah Kemuning. Dia takut Kemuning akan jatuh kembali.
Begitu sampai di tempat parkir, Rindang langsung membukakan pintu mobil untuk Kemuning. “Silahkan masuk tuan putri…” Plus tangan kanannya yang bergerak ke bawah seperti seorang pelayan pria yang sedang mempersilahkan tuan putrinya.
Kemuning bergerak masuk dan duduk di kursi sebelah kemudi. Tapi karena sikap Rindang barusan, otak Kemuning langsung memutar memori lama. Yaitu memori masa kecilnya saat bersama Hamid.
Bersambung...