Kemuning 9

1327 Kata
Flashback Seperti biasa, Kemuning akan menunggu Hamid di depan gerbang sekolah ketika sekolah berakhir. Para siswa dan siswi berseragam putih biru, tampak berjubelan keluar dari halaman sekolah dengan wajah riang dan senda gurau. “Sudah lama menunggu, Muning?” Sebuah suara membuat Kemuning menoleh. Dia mendapati wajah tampan Hamid tersenyum sambil memegangi sepedanya. Kemuning menggeleng. “Tidak. Aku juga baru saja di sini.” “Oh, yuk kita pulang.” Kemuning mengangguk. “Oke.” Kemuning melangkah mendekati Hamid. Dan ini yang selalu dilakukan Hamid ketika dia hendak duduk di boncengan. Menggerakkan tangan ke bawah dan berkata, “Silahkan naik tuan putri.” Kemuning langsung memukul lengan Hamid. “Sudah dibilang jangan begitu. Bagiku itu terlalu romantis. Malu sama teman-teman. Nanti gosip kita pacaran semakin merebak lho.” Hamid mengedarkan pandang ke sekeliling. “Malu kenapa? Dari dulu mereka juga tau dengan kebiasaan kita ini dan kedekatan kita.” Ya. Seantero sekolah memang tahu mereka sangat dekat. Bahkan guru-guru, tetangga, dan keluarga mereka juga tahu. Tapi baik Kemuning dan Hamid selalu menyangkal jika ada yang bilang mereka pacaran. Boro-boro pacaran, mereka sendiri belum mengerti pacaran itu seperti itu. Mereka dari bayi sudah main bersama. Jadi bagaimana ada tuduhan seperti itu? “Iya sih. Tapi tetaplah harus jaga fitnah.“ ucap Kemuning duduk id boncengan sepeda Hamid. “Aku sendiri tidak keberatan kok kalau difitnah jadi pacar kamu.” Kemuning memukul pundak Hamid kesal. “Hamid! Sudahlah! Jangan bicara yang tidak-tidak! Ayo jalan!” “Iya, iya gadis bawel.” Hamid pun bergerak duduk di depan Kemuning. Tak lama kemudian, sepeda Hamid bergerak menyusuri jalanan yang ramai. Dalam hati, Kemuning mulai berhitung karena sebentar lagi Hamid pasti akan bernyanyi lagu yang selalu sama dari hari ke hari. Satu, dua, tiga. “Satu-satu…daun-daun…berguguran tinggalkan tangkainya. Satu-satu… burung kecil…beterbangan tinggalkan tangkainya. Jauh-jauh tinggi ke langit yang biru. Andaikan aku punya sayap. Ku ‘kan terbang jauh mengelilingi angkasa. ‘Kan ku ajak ayah bundaku… terbang bersamaku. Melihatnya indahnya dunia…” Kemuning tersenyum sembari melirik langit yang cerah. Tuh benar ‘kan, Hamid bernyanyi. Hamid memang suka bernyanyi. Untungnya, dia juga memiliki suara yang bagus. Lagu kesukaan Hamid ya lagu itu tadi. Kemuning tidak tahu siapa penyanyinya. Bahkan judulnya pun dia tidak tahu. Kemuning tidak pernah bertanya karena menganggap itu tidak penting. Yang penting, suara Hamid enak untuk dinikmati. Flashback off. “Apa yang sedang kamu lamunkan, Muning?” Kemuning terhenyak. Suara Bang Rindang membuyarkan lamunannya. Bab 9 Kemuning menoleh pada Rindang yang sedang fokus menyetir. “Ah, tak ada.” “Kalau pun ada, aku tidak akan marah kok. Tapi yang membuat aku kecewa, kamu sedang berbohong.” Mata indah Kemuning melebar. “Maksud abang?” “Jelas tadi kamu sedang melamun. Kenapa kamu harus berbohong padaku? Jika kamu melamunkan masa lalu, meski seburuk dan sekelam apa pun itu, aku akan terima kamu apa adanya.” Deg. Masa lalu? Apakah Rindang mengetahui masa lalunya? “Memangnya abang tau masa laluku?” “Tentu saja tidak. Kamu tidak pernah cerita kepadaku bukan mengenai masa lalumu? Padahal jika kamu cerita, aku akan mendengarkannya dengan senang hati.” Kemuning tercenung sesaat. Apakah dia harus menceritakan masa lalunya dengan Hamid? Tapi bagaimana dengan orangtuanya? Mereka sudah menyebarkan undangan. Kemuning menghela nafas panjang. Tidak. Aku tidak punya masa lalu yang kelam atau pun buruk. Masa laluku indah semua. Aku hanya tidak enak badan. Bolehkah aku tidur hingga sampai ke rumah sakit?” Rindang tersenyum. “Syukurlah kalau begitu. Aku sempat khawatir kamu punya masa lalu yang kurang baik sehingga kamu terlihat selalu melamun dan tidak cerita di depanku. Oya, kalau kamu mau tidur, tidur saja. Nanti kalau sudah sampai nanti aku bangunkan.” Kemuning mengangguk. “Iya.” ~ ~ ~ “Jadi Kemuning benar-benar kena typus?” Tanya Mardalena ketika menyambut kepulangan Kemuning yang diantar oleh Hamid setelah tes darah. Rindang mengangguk. “Iya. Karena itu, mulai sekarang dia harus istirahat dulu umak. Obatnya jangan lupa diminum. Setiap hari aku akan datang untuk memeriksa keadaannya.” Mardalena menatap Kemuning sesaat dengan pandangan khawatir, lalu kembali mengarahkan pandang pada Rindang. “Aduh, kok bisa mau menikah malah sakit. Mana pernikahan tinggal menghitung minggu.” Rindang tersenyum. “Yang namanya sakit, tidak bisa dicegah umak. InsyaAllah Muning akan sehat kembali.” “Iya. Umak terlalu berlebihan mengkhawatirkan, Muning.” Sahut Zainudin dari kursinya. “Bukankah ada nak Rindang yang akan merawat? Calon suaminya ‘kan dokter penyakit dalam.” Mardalena tersipu malu. “Ah, iya juga ya. Kenapa umak bisa lupa ya? Ayo silahkan diminum teh-nya nak Rindang.” Rindang mengangguk. “Ya, mak. Terima kasih.” Rindang memegang telinga gelas dan menyesap teh-nya sembari melirik pada Kemuning yang wajahnya terlihat pucat. Sebenarnya, dia juga sama khawatirnya dengan Mardalena. Hanya saja, Rindang menutupi kekhawatirannya itu agar kedua calon mertuanya tidak panic. Tiba-tiba, Kemuning yang duduk di samping Mardalena berdiri. “Mak, bak, bang, aku mau istirahat ke kamar. Kepalaku pusing.” Rindang mengangguk. “Ya. Tapi jangan lupa nanti obatnya diminum.” Kemuning mengangguk. “Baiklah.” ~ ~ ~ “Apa saja yang kamu makan hingga terkena typus?” Mardalena meletakkan segelas air putih di atas nakas. “Dalam hitungan minggu, kamu sudah akan menikah Muning. Jagalah kesehatanmu.” Kemuning menelan salivanya. Lidahnya yang terasa pahit ini semakin terasa pahit begitu mendengar kata Menikah. Dia memang sudah siap menikah secara mental dan materi. Akan tetapi bukan dengan Rindang, melainkan dengan Hamid. Bagaimana pun berusahanya dia untuk menerima Dokter muda itu sebagai calon suaminya, akan tetapi tetap saja dia tidak bisa membohongi hatinya sendiri yang sangat mencintai Hamid. Semakin mendekati hari pernikahan, hatinya kian merasa tertekan. Mardalena mengambil duduk di samping Kemuning. Dia lalu menempelkan punggung tangannya yang sudah mulai mengeriput itu ke kening putrinya tersebut. Dia kemudian menghela nafas khawatir karena ternyata kening Kemuning terasa sangat panas. “Astaghfirullah, badanmu panas sekali, Muning?” Kemuning tak menanggapi apa pun reaksi Mardalena. Fikirannya jauh berkelana pada Hamid. Dia merindukannya. “Mungkinkah kamu sakit karena Hamid?” Deg. Kemunig menoleh pada Mardalena. “Kenapa umak berfikiran seperti itu?” “Karena umak mendapatimu selalu murung sepanjang hari sejak kamu bertunangan dengan Rindang. Sebenarnya kamu ingin dengan Hamid bukan?” “Kalau umak tau, kenapa umak tak izinkan aku bersama Hamid?” “Karena pertunangan sudah terjadi, Muning. Janganlah terbiasa menyakiti perasaan orang lain. Takutnya terkena karma. Umak tidak akan tega membatalkan pernikahan ini.” “Tapi waktu itu aku bahkan belum bertunangan dengan Bang Rindang. Tapi umak dan ubak tetap saja menyuruhku bertunangan dengan Bang Rindang.” “Keluarganya sudah pada datang waktu itu. Umak dan ubak tidak bisa membatalkannya begitu saja. Kita juga harus menjaga perasaan orang lain.” Mardalena lalu menatapku tajam. “Bisakah kita tidak membicarakan hal ini lagi, Muning?” Kemuning membuang pandang. “Umak yang mulai bukan? Kalau memang umak tak mau membicarakan ini, tinggalkan aku sendiri, mak. Aku butuh istirahat.” Mardalena angguk-angguk. “Ya ya umak akan keluar. Beristirahatlah dengan baik. Jangan memikirkan hal yang tidak-tidak.” Mardalena berdiri dari duduknya, dia lalu keluar kamar. Tapi beberapa menit kemudian, dia kembali membuka pintu kamar kembali. “Muning, ada nak Rindang.” Deg. Mendengar nama itu, jantung Kemuning langsung berdegup. Badannya yang tidak enak, kian tambah terasa tidak enak. panas, menggigil, pusing, dan lainnya bercampur aduk menjadi satu. Kemuning pun buru-buru memakai hijab sorongnya. Tak lama kemudian, Mardalena membuka pintunya lebih lebar. “Masuklah, nak.” “Terima kasih, mak.” Terdengar suara di luar pintu. Lalu tak lama kemudian, muncul wajah tampan Bang Rindang. “Bagaimana kabarmu, Muning?” Sapanya ketika sudah berdiri di samping tempat tidur. Kemuning memaksakan senyum. “Ya, beginilah.” “Beginilah bagaimana?” Canda Rindang sembari mengeluarkan Tensimeter dari dalam tas yang dibawanya. Lalu tanpa rasa canggung dia memegang tangan Kemuing dan memeriksa tekanan darah calon istrinya tersebut. Kemuning sendiri yang sebenarnya tidak mau dipegang oleh Rindang sebelum pernikahan, hanya bisa pasrah. Untuk menjalankan tugasnya sebagai seorang dokter, Rindang memang harus menyentuh tubuh pasiennya. Bersambung…
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN