Kemuning 10

1328 Kata
“Darahmu rendah. Nanti aku beri obat tambah darah.” Kata Rindang dengan suara khas seorang dokter. Lalu dia menyentuh kening Kemuning. Lagi-lagi seperti tanpa ekspresi canggung. “Tubuhmu juga masih panas.” “Tapi aku merasa lebih baik dari pada kemarin.” Sahut Kemuning. Dia berharap dengan mengatakan ini, Rindang tidak lagi datang besok hari. Namun Rindang menanggapi itu dengan senyum penuh arti. “Oh, baguslah kalau begitu. Aku memang segera harap kamu bisa segera pulih. Bukankah sebentar lagi adalah hari pernikahan kita? Aku tidak mau kamu sakit di hari itu. Karena kalau itu terjadi…bagaimana dengan malam pertama kita?” Mata Kemuning melebar mendengar itu. Lalu menggeram. ‘Ih, menjengkelkan sekali sih!’ jeritnya dalam hati. ~ ~ ~ Hari-hari berikutnya dan berikutnya, setiap pulang praktek di kliniknya, Rindang mengunjungi Kemuning. Apalagi kalau bukan untuk merawat calon istrinya yang sakit itu. Dia begitu khawatir pada keadaan Kemuning. Itu sebabnya dia melakukan yang terbaik untuk gadis itu. “Apa tidak capek setiap hari datang mengunjungiku?” tanya Kemuning di saat keadaan mulai membaik dan sudah bisa duduk. Rindang yang sedang mengecek tekanan darah Kemuning menjawab, “Lebih baik capek dari pada aku tidak bisa tidur.” Kening Kemuning mengerut. “Kenapa sampai tidak bisa tidur?” Rindang menatap wajah Kemuning. “Kamu tidak tau bahwa dokter itu mempunyai kekhawatiran pada pasiennya. Bagaimana kalau pasiennya tidak selamat atau meninggal. Dari situ kamu bisa membayangkan sebesar apa kekhawatiran aku sebagai seorang dokter yang ternyata pasiennya adalah calon istri sendiri.” Kemuning mengangguk. “Oh, begitu.” “Iya.” Rindang melirik hasil tekanan darah Kemuning. Pria itu lalu tersenyum. “Alhamdulillah, darahmu sekarang sudah normal.” Lalu dia menangkupkan tangannya di kening Kemuning. “Suhu tubuh kamu juga mulai normal.” Kemuning menarik tangan Rindang segera. “Sudah jangan lama-lama tanggannya di keningku.” Rindang tertawa kecil. “Aku jadi penasaran apakah di malam pertama kamu juga akan mengatakan itu?” Kemuning menggeram. Kenapa pria itu sering kali membuatnya kesal? ~ ~ ~ Bab 10 Kemuning mengakui kalau Rindang begitu perhatian kepadanya. Dia juga setuju jika semua orang bilang kalau Rindang adalah pria yang baik. Tutur katanya lembut dan Rindang mudah sekali untuk senyum. Tak ada teman-temannya, para tetangganya, dan kerabatnya yang bilang buruk tentang Rindang. Semua setuju kalau dia adalah gadis yang beruntung bisa memiliki calon suami seperti Rindang. Kemuning sendiri tidak tinggal diam. Akhir-akhir ini dia mencoba untuk mengikhlaskan Hamid. Dia berdoa agar Allah memberinya kemudahan dalam melupakan Hamid dan bisa segera bisa mencintai Rindang. Meski nyatanya itu tidak semudah yang diniatkan. Kemuning sembuh dari sakitnya cukup agak lama. Yaitu, dua hari sebelum hari pernikahan tiba. Itu pun, orang-orang terdekatnya sangat bersyukur karena gadis itu masih bisa sehat. Mereka sempat mengkhawatirkan yang tidak-tidak. ~ ~ ~ Rindang menatap dirinya di cermin. Dia sudah memakai beskap berwarna putih. Tampak begitu gagah dan tampan. Rindang tersenyum. Ini adalah hari pernikahannya dengan Kemuning. Hari dimana dia akan menjabat tangan Zainuddin dan mengucapkan ijab Qabul. Hari yang sudah sangat dinanti-nantikannya. Resmi memiliki Kemuning adalah impiannya sejak bertemu dengan gadis itu. "Dalam hitungan jam, aku akan memilikimu, Muning. Dan nanti malam, kita bisa berada di ruangan yang sama. Malam pertama kita." Rindang tersenyum membayangkan itu. Indah sekali. Membuatnya ingin cepat-cepat sah saja. "Ehem...Ehem...cieee yang sedang bahagia. Yang mau jadi pengantin. Yang mau malam pertama." Senyum Rindang seketika memudar. Dia tahu siapa yang baru saja mengolok-oloknya. Dia hafal suaranya meski tidak melihat secara langsung. Itu adalah suara Senandung adiknya. Adiknya itu meski cewek, usilnya minta ampun. Rindang menoleh. Dan benar, itu adalah Senandung. Dia terlihat cantik dengan kebaya berwarna pink dan hijab yang senada. Sama dengan dirinya yang banyak disukai wanita, Senandung pun begitu. Banyak pria yang antri untuknya. Meskipun dia semester akhir kuliahnya, Senandung tidak pernah terlihat dekat dengan seorang pria. Pria yang datang pun ditolaknya. Katanya belum siap. "Memangnya kenapa? Iri? Makanya cepat terima tuh salah satu lamaran. Jangan ditolak terus. Nanti stok pria baik habis lho." "Hahaha! Pria baik mah banyaj bang. Selalu datang dan datang lagi. Oya, ditunggu ayah dan ibu tuh. Katanya ayo berangkat. Sudah siang ini. Takutnya ditungguin di sana." "Oh, baiklah. Abang juga sudah siap kok. Oya, Hamid sudah datang belum?" "Belum tuh bang." "Kalau begitu Abang telpon dia dulu." Rindang mengeluarkan ponsel dari saku celana dan kemudian menelpon Hamid. "Halo, assalamu'alaikum. Hamid kamu dimana?" "Aku di kontrakan bang. Sebentar lagi berangkat kok." Terdengar suara lesu di seberang. "Kamu kenapa? Kok suara kamu terdengar tidak bersemangat begitu? Sakit?" "Tidak. Aku baik-baik saja. Hanya kurang enak badan sedikit." "Tapi kami masih kuat 'kan untuk datang ke pernikahanku?" "Masih bang. Aku masih kuat kok. Aku tidak apa-apa. Abang jangan khawatir. Mungkin hanya demam mau pilek." Rindang menghela nafas panjang. "Maaf ya, mid kalau aku memaksanya untuk datang. Jujur, aku merasa kebahagiaanku tidak komplit tanpa kehadiran kamu. Kamu mengerti sendirilah maksudku." "Iya, aku mengerti bang. Aku pasti datang. Ini juga mau berangkat. Kalau Abang tidak juga mematikan telponnya, maka aku tidak akan berangkat-berangkat lho." Rindang tersenyum geli. "Oh, iya. Bodoh sekali aku ini. Ya sudah. Aku matikan telponnya sekarang. Tapi kamu langsung berangkat ya. Aku tunggu. Aku tidak akan menikah kalau kamu tidak datang." "Iya, matikanlah sekarang, bang. Aku mau berangkat." Rindang tersenyum kembali sebelum akhirnya mematikan ponselnya. Setelah memasukkan ponsel itu ke dalam saku celana lagi, dia menoleh pada Senandung. "Ayo kita turun. Biar Abang menunggu Hamid di bawah." Senandung mengangguk. "Ayo." Keduanya lalu melangkah keluar kamar. ~ ~ ~ Di kamarnya, Kemuning sudah mengenakan baju kurung berwarna putih dan kain songket. Tampak sangat cantik dan elok dipandang mata. Akan tetapi, ada yang kurang dengan kecantikannya. Kemuning sulit untuk tersenyum karena masih ada yang mengganjal di hatinya. Sebagai sahabat, Viola dapat membaca kalau Kemuning tidak bahagia dengan pernikahannya. Cukup aneh karena Rindang adalah pria yang nyaris sempurna. Seharusnya perempuan manapun akan bahagia bisa menikah dengan pria itu. Tapi kenapa Kemuning justru sebaliknya? “Ada yang kamu sembunyikan dariku, Muning. Sebenarnya aku sudah lama memperhatikannya. Tapi aku belum punya keberanian untuk bertanya. Tapi hari ini aku benar-benar ingin tau kenapa kamu tidak bahagia dengan pernikahan ini? Apakah ada yang salah dengan pernikahan ini? Atau ada yang salah dengan Bang Rindang?” Kemuning menghela nafas berat. Selama ini memang dia menyembunyikan apa yang dia rasakan dari Viola. Bukan apa, dia hanya merasa tak perlu orang lain untuk tahu. Tapi entah mengapa pagi ini, di saat menunggu detik-detik dirinya di sahkan Rindang menjadi istrinya, dia merasa tak apa-apa untuk sedikit berbagi dengan Viola. Mungkin dengan begitu hatinya bisa sedikit plong. “Kamu masih ingat dengan sahabat kecilku yang aku ceritakan padamu waktu itu?” tanya Kemuning pada Viola. Bola mata Viola bergerak ke atas. “Hmm… yang namanya Hamid ‘kan?” Kemuning mengangguk. “Iya.” “Ingat dong. Memangnya kenapa dengan dia? Apa dia yang menyebabkan kamu jadi tidak menginginkan pernikahan ini? Kamu ‘kan tidak tau dimana rimbanya? Menurutku, untuk apa menunggu orang yang tidak ada. Terkecuali… dia ada. Jadi wajah kalau kamu menyesalkan pernikahan ini.” “Tapi dia ada, Vi.” Viola langsung terhenyak seketika. “Ma-maksudmu dia ada di kota ini?” “Iya, dia ada. Itu sebabnya hati aku hancur. Sebelumnya, aku bisa menerima bang Rindang karena aku pikir aku tidak pernah bertemu dengan Hamid lagi karena di perantauan sana dia sudah menikah atau bagaimana. Tapi ternyata dia kembali hanya untuk aku. Untuk memenuhi janji kami untuk bersama-sama lagi seperti dulu. Dan yang lebih menyakitkan adalah… Hamid ternyata adik angkatnya Bang Rindang selama di pulau Jawa.” Viola menelan salivanya. Kalau seperti ini kejadiannya, dia pun tidak bisa komen. “Aduh, aku no commen deh, Muning. Aku…aku hanya berharap kamu bisa mendapatkan kebahagiaanmu saja terlepas kamu menikah dengan siapa. Tapi… kalau sudah tahap ini jodohmu memang Bang Rindang.” Kemuning terdiam. Dia menundukkan kepalanya dalam. Tak lama dari itu, terdengar suara dari ruang tamu lewat mikrofon. Acara ijab qabul akan segera dilaksanakan. Viola langsung menggenggam tangan Kemuning untuk menguatkan. Dia tahu saat ini hati Kemuning sedang hancur. Bersambung...
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN