Kemuning 11

1007 Kata
“Bagaimana sah?” “Sah.” “Sah.” Bersamaan dengan kalimat hamdalah yang membahana ke seluruh sudut rumah, airmata Kemunig meleleh. Kini dia sudah sah menjadi istri Rindang. Itu artinya janji yang dia dan Hamid tautkan di watervang, otomatis tak berbuah nyata. Ternyata mereka hanya ditakdirkan menjadi sahabat saja. Ya hanya sahabat saja. Klak. Pintu kamar Kemuning yang sekarang menjadi kamar pengantin terbuka. Rindang muncul dari baliknya untuk menjemput Kemuning istrinya menuju ruang tamu. Mereka harus menandatangi surat-surat nikah. Rindang menyodorkan tangannya kepada Kemuning. “Ayo, kita ke ruang tamu.” Kemuning melihat tangan Rindang untuk sejenak. Itu adalah tangan suaminya sekarang. Mau tidak mau, dia harus menerimanya. Dengan berat hati, Kemuning pun menaruh tangan kanannya ke atas tangan Rindang sebelum akhirnya mereka berdua berjalan meninggalkan kamar menuju ruang tamu. Di sana mereka menandatangi surat-surat nikah. Kemudian disusul pemberian mahar berupa cincin emas dengan berat 5 gram. Setelah cincin itu melingkar cantik di jari manis Kemuning, Rindang mengulurkan tangannya. Ini adalah momen dimana seorang istri harus mencium tangan suaminya untuk pertama kalinya. Kemuning tidak bisa menolak. Dia pun melakukan hal itu. Namun usai Kemuning selesai melakukannya, airmatanya langsung meleleh begitu melihat Hamid yang berada di antara para orang-orang yang menyaksikan pernikahan mereka. Mata Hamid berkaca-kaca. Dia tidak tahu apakah dia harus bahagia dengan pernikahan Rindang atau harus menangis karena pernikahan gadis yang dicintainya menikah dengan pria lain. Hati keduanya hancur. Tapi tak bisa berbuat apa-apa selain hanya bisa menerima takdir dengan terpaksa. ~ ~ ~ Mengingat takdirnya bersama Hamid sangatlah menyedihkan, Kemuning tidak bisa menahan airmatanya. Setelah acara akad nikah itu, dia mengurung dirinya di dalam kamar seharian dengan alasan masih tidak enak badan sisa sakit. Sementara Rindang, lebih banyak mengobrol dengan keluarga Kemuning yang kini menjadi keluarganya. Hari ini memang hanya acara akad nikah saja. Besok baru resepsinya. Klak. Pintu kamar terbuka. Dari baliknya Rindang muncul. "Aku tidak salah masuk kamar, bukan?" Candanya. Melihat Rindang, Jantung Kemuning langsung berdegup kencang. Mengingat ini adalah malam pertama mereka. Untung saja, sebelum Rindang masuk dia sudah menyeka airmatanya. "Jadi, aku boleh masuk 'kan?" Tanya Rindang lagi karena pertanyaan yang pertama tidak dijawab oleh Kemuning. “Kalau aku mengatakan tidak boleh, apa abang akan tetap masuk?” Kemuning malah bertanya balik. “Tentu saja aku tetap akan masuk. Soalnya kata ubak dan umak inilah kamarku.” Rindang mengunci pintu kamar sebelum akhirnya naik ke atas tempat tidur. "Kamu...tidur pakai hijab?” Kemuning menggeleng. “Tidak.” “Lalu kenapa kamu masih mengenakan hijabmu?” “Karena aku merasa kedinginan.” Jawab Kemuning asal. Rindang melirik Air Conditioner. "Apa ac-nya terlalu dingin?" Kemuning menggeleng. "Aku rasa tidak. Tubuhku saja yang masih kurang sehat sehingga merasa dingin." Rindang menggeser duduknya sehingga sangat dekat dengan Kemuning. Tentu itu membuat jantung Kemuning seperti mau lepas dari rongganya. Tanpa sungkan, dia menangkupkan tangannya di kening istrinya. "Suhu tubuhmu normal." "Oh, eh. Apa iya?" Kemuning gugup. Apa dia sudah ketahuan kalau berbohong? Rindang tersenyum melihat sikap Kemuning itu. "Kamu...gugup karena ini malam pertama kita ya?" Deg. “Aku…aku…” Rindang meraih tangan Kemuning dan menggenggamnya erat. "Kamu tenang saja. Aku maklum kok. Kalau kamu belum siap malam ini, tidak apa-apa. Masih ada malam besok." Kemuning langsung menghela nafas lega. ‘Alhamdulillah…’ “Tapi ada syaratnya.” Tambah Rindang yang kembali membuat Kemuning kembali takut. “Memang syaratnya apa?" Tanya Kemuning langsung. “Aku boleh cium kamu.” Kemuning terhenyak seketika. Mulutnya sampai membuka sedikit. "Bagaimana? Bolehkan?" Kemuning menelan salivanya. Haruskah dia memberikan ciuman pertamanya pada Rindang bukan pada Hamid? Hais, apa yang ada dalam pikirannya? Tentu saja hanya Rindang yang berhak menciumnya karena pria itulah suaminya. “Aduh, apa sih yang kamu pikirkan, Muning?” Rindang menyentuh pipi Kemuning yang kenyal. “Kamu jangan terlalu tegang dong. Coba untuk menarik nafas dalam-dalam agar rileks. Ini hanya sebuah ciuman. Aku belum akan menyetubuhimu jika kamu masih merasa demam.” Kemuning menoleh pada Rindang. “Maaf aku hanya masih gugup.” “Tidak apa-apa. Aku maklum kok. Gugup di malam pertama itu adalah hal yang wajar. Kamu juga tidak perlu gimana-gimana. Biar aku yang melakukannya.” “Oh, eh. Baiklah.” Rindang tersenyum kecil. Jawaban Kemuning barusan secara tidak langsung adalah sebuah izin. Perlahan dia mendekatkan bibirnya ke wajah Kemuning dan kemudian mencium bibir tipis istrinya tersebut. Awalnya, hanya menempel saja. Namun selanjutnya tangan Rindang memegangi belakang kepala Kemuning dan sedikit menekannya ke depan. Rindang melumat bibir Kemuning dengan ganasnya. Sementara itu, Kemuning menegang. Ini adalah kali pertama bibirnya dicium oleh seorang pria. Dia tidak yakin menikmatinya meskipun Rindang tampak sangat menikmatinya. Tiba-tiba wajah Hamid kembali muncul di benaknya. Saat itu juga Kemuning merasa menjadi orang yang paling jahat untuk Hamid. Dia di sini sedang berciuman dengan pria lain sementara di sana, Hamid mungkin saja sedang menangis. Tanpa dipinta, setetes bening kembali mengalir dengan sendirinya dari kedua mata Kemuning. Rindang yang menyadari itu, langsung menghentikan aksinya. "Kenapa kamu harus menangis? Apakah ciumanku menyakitimu?" Kemuning menggeleng. "Tidak. Aku menangis bukan karena ciuman Bang Rindang. Aku menangis karena...karena aku merasa begitu tegang. Aku tidak bisa rileks. Maaf..." “Jadi kamu masih tegang.” “Ya sudah, sekarang kita tidur saja ya? Semoga besok kamu tidak Tegang lagi. Kemuning mengangguk cepat. Itulah yang dia inginkan. Cepat tidur dan cepat pagi. Kemuning pun segera membaringkan tubuhnya. "Eit, tunggu dulu." Kemuning menoleh bingung. "Apa lagi, bang?” "Kalau mau tidur, buka dulu hijabnya. Rasanya tidak nyaman kalau tidur memakai hijab begitu. Kalau kamu kedinginan, tubuhku siap untuk menghangatkan tubuhmu." Deg. Kemuning menelan ludah. Seperti tersihir, dia tidak bisa menentang perintah Rindang. Dengan berat hati, Kemuning lalu membuka hijabnya. Tapinya langsung menyemu merah seketika. Ini kali pertama dia membuka hijabnya sejak memutuskan untuk mengenakannya. Seperti melihat sebuah benda yang mengagumkan, Rindang menatap Kemuning. Kemuning memang mempunyai rambut yang indah. Tebal, hitam, dan agak bergelombang. “MasyaAllah rambutmu bagus sekali.” Tapi ketika dia melihat rona merah di wajah Kemuning, Rindang pun langsung menahan senyum. "Jangan malu. Kita ini 'kan suami istri. Jadi, auratmu halal untuk aku. Jangankan rambut, area pribadimu pun halal untuk aku lihat." Bersambung…
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN