3. Di balik Rencana

2663 Kata
Merasakan hembusan napas lembut dan teratur menerpa wajah, Zia menyipitkan mata, mengerjap perlahan mengamati apa yang ada di hadapannya. Sudut bibir gadis itu mengukir senyum, menatap wajah tampan di hadapannya yang ia berikan elusan lembut dengan tangan yang sudah berada di sana entah sejak kapan. Rupanya ia sedang memimpikan seorang pria tampan, membuatnya tanpa sadar senyum-senyum sendiri. Tunggu! Mimpi? Bersama pria tampan? Zia membuka mata lebih lebar, menatap wajah pria yang hanya berjarak kurang dari lima senti dari wajahnya itu lekat. Otak gadis itu segera mencerna mengamati wajah damai pria di hadapannya yang tertidur lelap, lalu beralih pada jemarinya yang mengelus pipi pria itu, beralih lagi pada tangan pria itu yang begitu asik bertengger di pinggangnya. Seketika napas gadis itu memburu, otaknya sudah memerintahkan pada mulut untuk segera berteriak, namun belum sempat perintah itu tersalurkan, tangan besar laki-laki di hadapannya itu sudah membekap mulut Zia. Malah dengan seenaknya pria itu mengubah posisi dirinya yang kini berubah menjadi di atas gadis itu. Dengan sebelah tangan, Ardi menahan tubuh kekarnya itu agar tidak menindih istri mungilnya. Zia melotot, pada pria yang bahkan masih setengah terpejam di atasnya. “Jangan teriak. Nanti keluarga kita tahu kita nggak ngelakuin apa-apa semalem,” gumam pria itu dengan suara parau, masih benar-benar setengah sadar. Dengan cepat Zia mengangguk kasar, menepuk-nepuk tangan Ardi yang membekapnya. Tanpa pria itu sadari ia sudah menutup akses udara yang harus Zia hirup. “Oksigen! Aku butuh oksigen!” Merasakan pukulan Zia semakin brutal padanya, Ardi mencoba menajamkan penglihatan, dengan segera pria itu menyingkirkan tangan yang membekap mulut Zia hingga gadis itu sulit bernapas. Hampir saja dia membunuh istrinya sendiri—tidak, itu berlebihan. “Ma-maaf, kamu nggak apa-apa?” Zia sibuk mengambil oksigen banyak-banyak, mengalihkan pandangannya dari Ardi yang menatap khawatir. Meski begitu Ardi tidak segera merubah posisinya. Pria itu malah sibuk mengamati Zia yang masih mencoba bernapas dengan leluasa dari posisinya saat itu. Sayang, di saat tidak tepat itulah pintu kamar Zia terbuka lebar, menampakan sosok Satria yang langsung memasang senyum jahilnya. “Ups, kayaknya gue dateng di waktu yang nggak tepat nih!” Suara Satria yang otomatis membuat kedua orang itu menoleh ke arah pintu kamar. Seketika mereka membeku. “Cepetan selesaiin sesi paginya deh, para tetua ngajak shalat berjamaah. Atau... kalian mau gue absenin?” Satria terkekeh dengan tersenyum menggoda, tangannya masih tidak beranjak dari kenop pintu yang ia buka tanpa permisi. Zia menelan ludah, kemudian mengalihkan objek pandangannya dari Satria pada Ardi yang—belum juga merubah posisinya. Dan detik itu Zia baru sadar, bahwa kakak tertuanya itu melihat mereka dalam posisi tidak senonoh macam itu! “Ah ya udah deh gue nggak mau ganggu. Selamat berolah raga pagi...” Dengan ringan Satria mengerling ke arah adik dan iparnya itu, lantas melengos pergi setelah terbahak seraya pintu yang tertutup. “Kak Satttt...!” “Shhttt... bisa nggak sih jangan teriak?” tegur Ardi kembali membekap mulut Zia, kali ini memastikan tetap memberikan akses bernapas pada gadis itu. “Minggir lo! Lagian kok gue bisa satu ranjang sama lo sih? Seinget gue, gue kan—gue tidur di lantai.” Zia bicara setelah berhasil menepis tangan Ardi dari mulutnya. Ardi mengangkat bahu tak peduli. Malas juga kalau harus menceritakan bahwa dirinyalah yang memindahkan Zia ke tempat tidur. Biar saja gadis itu beranggapan bahwa ia berjalan sendiri atau semacamnya hingga mereka bisa berada di ranjang yang sama. Melihat sikap Ardi yang acuh tak acuh membuat Zia jengkel sendiri, lagi pula kenapa pria itu tidak segera menyingkir dari posisinya sih? “Awas gue bilang! Lo nggak denger orang tua kita udah nunggu di bawah?” Yang Zia temukan di wajah Ardi selanjutnya justru seringaian. Sepasang mata pria itu menatap tajam, mendekatkan wajahnya perlahan dengan wajah Zia. Tak lupa kedua tangan Ardi yang sudah mengurung tubuh mungil Zia dalam kuasanya. “Tadi Kak Satria bilang mau absenin, jadi... gimana kalau kita ikutin saran Kak Satria buat lanjutin—” sengaja sekali Ardi mengantung kalimatnya, membuat Zia terlihat tegang bukan main. Gadis itu semakin membeku ketika Ardi mempertipis jarak mereka. Mendadak mata Zia terpejam, alarm tanda bahaya mulai bergaung di telinganya, Entah refleks dari mana Zia langsung menyundul wajah Ardi dengan kepala, yang dalam sekejap membuat Ardi  menyingkir dari posisi yang sejak tadi ia pertahankan. Zia langsung bangkit dari posisinya, mengamati Ardi yang mengaduh kesakitan sambil mengelus-ngelus dahinya yang mulai memerah. “Lanjuin-lanjutin! Mulai aja belom!” Seloroh Zia yang langsung gadis itu sesali sendiri. Bagaimana mungkin kalimat itu keluar dari mulutnya? Ini pasti karena pengaruh m***m Jeje dan Meta yang sudah tertanam di otaknya! Kalimat Zia itu otomatis membuat Ardi menyeringai meski sesekali masih meringis mengelus dahinya yang memerah. “Ya udah kalau gitu gimana kalau kita mulai aja sekarang?” Meraih bantal yang masih dalam jarak jangkaunya, Zia segera melempar bantal itu ke wajah Ardi. Berteriak frustrasi masuk ke kamar mandi dengan suara tawa Ardi yang terdengar puas berhasil menggoda istrinya sendiri. Ardi terkikik geli melihat reaksi Zia yang begitu lucu di matanya. Sepertinya menggoda Zia akan menjadi daftar hobi baru mulai hari ini. Walaupun mereka menikah bukan karena cinta, tapi sepertinya di antara kedua anak muda itu tidak ada yang keberatan jika harus belajar saling mencintai. Bibir Ardi otomatis tersenyum ketika melihat Zia keluar dari kamar mandi dengan tampang sangar seolah berusaha menakuti suaminya, meski niatan itu berubah menggelikan di mata Ardi. Pria itu malah cengengesan melihat Zia yang penuh aura pertahanan. “Masih lucu? Ketawain aja sampe over dosis!” Zia mendesis sewot. Berdiri dari posisinya yang sejak tadi duduk di tepi ranjang, Ardi berjalan mengampiri Zia dengan seringaian nakal. Terlihat Zia yang langsung beringsut ketakutan menempel tembok, berusaha menghindari Ardi yang terus mendekatinya. “C-cuci muka sana! Kasian kan yang lain udah pada nunggu di bawah!” Zia berusaha mengalihkan perhatian Ardi. Ardi berhenti tepat ketika jarak mereka hanya menyisakan satu langkah amat kecil di depan istrinya. Zia menunduk, tidak ingin membalas menatap Ardi, tangannya sibuk meremas handuk yang tadi ia gunakan untuk mengeringkan rambut. Dari jarak sedekat itu Ardi bisa mencium aroma sabun wajah yang Zia pakai. “Nggak mau nyuruh mandi sekalian? Mandi bareng aku misalnya?” Zia sontak menaikan pandangnya, melotot menatap Ardi. “Biar afdol pura-puranya, kan? Biar yang di bahwa anggap kita udah mandi besar. Kita bisa mulai kayak apa yang Kak Satria tadi bilang di kamar mandi.” Ardi menahan diri untuk tidak tertawa melihat ekspresi Zia yang sudah seperti melihat film horor. Sebelum Zia sempat berteriak dan menghancurkan gendang telinganya, Ardi mengambil gerakan cepat. Pria itu membungkam Zia dengan mengecup pipi gadis itu lalu menghilang di balik pintu kamar mandi, menyisakan Zia yang membeku di tempatnya berdiri. *** “Gimana sesi paginya?” Pertanyaan itu menghiasi meja makan begitu Ardi mendudukan dirinya di salah satu sofa yang tersedia. Sepertinya mereka memang tinggal menunggu Ardi dan Zia untuk turun dan shalat berjamaah bersama. Siapa lagi pelakunya kalau bukan Satria yang menerobos pintu kamar Zia di saat tidak tepat. Lagipula kakak laki-laki Zia itu apa tidak mengenal adat mengetuk pintu? Hingga membuka begitu saja kamar adiknya yang baru kemarin menikah? Atau mungkin Satria lupa, menganggap Zia masih sendiri seperti kemarin-kemarin hingga kebiasaannya itu tidak bisa segera dihilangkan? Ardi membalas tatapan Satria yang jahil ke arahnya. Baru mau membuka mulut, suara gadis di sampingnya membuat Ardi mengurungkan niat untuk buka suara. “Kak Sat apaan sih?! Kita nggak ngapa-ngapain kok, tahu sendiri kalau kemarin capeknya bukan main.” “Zi, kamu itu udah Ayah sering bilangin panggil kakakmu yang benar. Kalau manggilnya begitu kan nggak enak didenger orang,” komentar Ayah melayangkan protesnya, Zia hanya bersungut dengan bibir cemberut. “Ya dari pada aku panggil Kak Ria? Nanti Kakak disangka yang suka mangkal di taman lawang!” Zia membalas tak acuh. Semua sontak tertawa kecuali Ayah dan orang yang dimaksud. “Heh, enak aja lo! Badan keker kayak gini dibilang makal di taman lawang!” Satria dan Zia kemudian mulai adu argumen sampai Intan—istri Satria—melerai pertengkaran yang terlihat biasa terjadi itu. Sementara Ayah hanya geleng-geleng kepala melihat tingkah kedua anaknya yang masih kekanakan meski keduanya telah menikah. Melihat Zia yang tidak mau kalah pada kakaknya, Ardi berdeham menyikut Zia yang langsung mendapat tatapan garang tanpa ia duga. Menerima tatapan itu Ardi justru mengernyit, kenapa lagi istrinya itu? Tapi pada akhirnya Zia mengalah, toh itu bukan saatnya mereka bertengkar, kan? Mereka turun untuk shalat berjamaah, dan yang lain sudah siap dalam posisi mereka masing-masing. *** Di meja makan, saat waktunya sarapan suasana hati Zia masih terlihat tidak baik. Gadis itu bahkan sempat-sempatnya mendengus setelah mendapatkan tatapan menggoda dari kakaknya lagi. Berusaha mengabaikan, Zia mengambil piring Ardi lantas mengisinya dengan lauk pauk yang tersedia di meja. Ardi menyadari, istri mungilnya itu sedang menunaikan tugasnya lagi. Meski dengan bersungut, beberapa kali dalam beberapa jam terakhir Zia memang tetap berusaha melakukannya, berusaha untuk menunaikan tugasnya sebagai istri, meski dari hal-hal terkecil seperti ini. Jujur saja Ardi senang diperlakukan layaknya suami oleh gadis di sampingnya itu. Tapi menyadari Zia yang terus-terusan cemberut di saat anggota keluarga yang lain asik berbincang membuat Ardi penasaran ada apa dengan suasana hati gadis itu. Masa iya dia ngambek hanya karena bertengkar dengan Satria. Sekanak-kanakan itukah istrinya? “Kenapa kamu?” Ardi berbisik, memastikan tidak ada yang mendenger pembicaraan mereka. Zia hanya melirik sekilas, lalu kembali dengan aksi diam dan menekuk wajah. Ardi berusaha berpikir keras apa kiranya yang membuat Zia mendiamnya. Entah mengapa pertiwa saat di kamar tadilah yang kemudian muncul di kepala Ardi. “Kamu marah karena aku cium?” Ardi berusaha menerka. Mendengar ucapan Ardi, Zia langsung memberikan tatapan garangnya pada pria itu. “Hei... bahkan itu cuma di pipi, Zi. Lagipula, inget status kita, aku bahkan boleh ngelakuin hal yang lebih dari itu.” Zia justru semakin terlihat sebal. Makanan yang ada di piringnya malah sibuk ia acak-acak tidak karuan. Jangan katakan.... “Itu ciuman pertama kamu?” bisik Ardi lagi, yang dibalas dengan gerutuan tak jelas dari Zia. “SERIUS?!” Ardi sampai lupa harus mengecilkan suaranya. Saat tersadar semua mata sudah mengarah padanya. “Apanya yang serius, Di?” Papa memandang putranya heran. Ardi berdeham, berusaha mengontrol diri. “I-ini maksud aku makanannya serius enak, Pa.” Ucap pria itu asal, sudah berusaha mencari alasan yang masuk akal. “Makasih loh pujiannya. Tapi lebih enakan masakan istrimu, Di... Sayang tadi Zia nggak bantuin masak, nggak enak juga Kakak minta bantuannya karena kalian pasti masih capek, jadi ya yang masuk cuma Kakak sama Kak Intan.” Suara Veli yang langsung mendapat anggukan dari kakak iparnya. “Ya gimana nggak capek, Ve, tadi pas aku masuk kamar mereka, mereka lagi nambah sesi pagi gitu.” Satria kembali pada sifat jailnya, membuat adik kecilnya melotot pada orang yang bersangkutan. “Aku udah bilang kami nggak ngapa-ngapain!” “Ngapa-ngapain juga udah boleh kok. Nggak usah malu-malu gitu...” Kekeh Satria. “Shhtt.. udah ah, Kak. Kasian mereka digodain mulu, malukan. Kayak nggak pernah penganten baru aja sih,” celetuk Veli. “Ah aku waktu penganten baru nggak malu-malu gitu kok. Malah malu-maluin ya sayang, ya?” Satria coba mencari sekutu dengan menyikut istrinya. “Serius Zia bisa masak, Kak?” tanya Ardi berusaha mengembalikan topik pembicaraan. Veli dan Intan mengangguk kompak. meski Satria sepertinya agak enggan mengakuinya. “Zia itu selalu jadi yang ditinggal di keluarga kami, Di. Semenjak Bunda meninggal kami termasuk sibuk dengan urusan kami masing-masing. Zia yang waktu itu masih sekolah selalu tinggal di rumah kalau kegiatan sekolahnya udah selesai. Dan karena itu dia jadi sering belajar masak sama Mbok yang dulu kerja di keluarga kami. Jadi pinter deh masaknya,” cerita Veli, yang dibalas dengan anggukan mengerti dari Ardi. Pria itu tidak menyangka, dari semua sifat buruk istrinya yang baru ia tahu ada juga kelebihan Zia yang patut ia acungi jempol. Melirik Zia yang ternyata sedang memandangnya, Ardi berusaha tersenyum manis sebagai tanda penghargaan. Hanya saja balasan Zia yang malah menatap sinis lalu melengos pergi membuat Ardi tidak mampu berkata-kata. *** Seharian Ardi sukses didiami Zia yang enggan mengeluarkan sepatah kata pun untuknya. Gadis itu memang menjalani tugasnya untuk memenuhi apa pun yang Ardi butuhkan, tapi lebih dari itu Zia tidak berusaha untuk berinteraksi dengan Ardi lebih jauh. “Masih marah sama aku?” tanya Ardi ketika mereka kembali memiliki kesempatan hanya berdua di dalam kamar. Hening. Zia yang sedang duduk membaca sebuah buku di tangannya tidak menunjukan reaksi apa-apa. “Aku minta maaf kalau kamu marah karena ciuman pertama itu. Tapi itu kan cuma di pipi. Masa sih seumur hidup kamu nggak pernah dicium di pipi sama cowok yang bukan keluarga.” Niat Ardi sih ingin minta maaf sungguhan, tapi kok malah terdengar seperti membela diri ya? Mungkin karena Ardi sebenarnya merasa tidak perlu meminta maaf, toh statusnya kini sudah menjadi suami Zia. Ingin mencium Zia di bagian manapun sudah halal untuknya bukan? Tapi, mengingat hubungan yang mereka jalani adalah hubungan yang pertama untuk Zia yang polos, mau tidak mau Ardi merasa harus mengalah pada istri mungilnya itu. Bukannya membalas kata-kata Ardi, Zia malah menghela napas, bangkit dari duduknya hendak beranjak meninggalkan kamar. “Zi, kita ini udah nikah, kalau ada masalah ya dibicarain bukan malah diem kayak gitu.” Ardi jadi gemas sendiri karena didiamkan sejak tadi. Zia tidak berbalik hanya menghentikan langkahnya sebelum memutar kenop pintu. “Mau ambil minum dulu, nanti balik lagi,” katanya pelan. Baiklah jika itu yang Zia inginkan. Mungkin memang ada baiknya mendinginkan tubuh dengan air yang mengalir di kerongkongan, maka Ardi pun keluar mengikuti langkah Zia. Sialnya saat menuruni tangga menuju dapur, percakapan yang seharusnya tidak didengar Zia justru sedang berlangsung di ruang keluarga. “Ayah nggak mau bohongin Zia lagi dengan kursi roda ini. Ayah takut Zia makin marah sama Ayah, maka dari itu biar kita bicara baik-baik sama Zia dan jelasin semuanya. Kalau kecelakaan Ayah waktu itu cuma jatuh dari tiga anak tangga terbawah dan cuma keseleo, nggak harus pake kursi roda kayak gini segala.” Suara Ayah mantap. Walau kedua orang itu tidak bisa melihat sosok yang sedang bicara, tapi mereka bisa mendengar pembicaraan itu dengan sangat jelas. “Tapi, Yah. Ini belum waktunya, biar aja Zia tahu Ayah lepas dari kursi roda ini karena memang udah sembuh tanpa harus bilang yang sebenarnya. Lagipula kan Ayah nggak sepenuhnya bohong, waktu Veli ke rumah sakit dan nangis itu pun Veli memang ngira Ayah jatuh dari tangga beneran, bukan maksud Veli doain Ayah kayak gitu loh, Yah.. Ih amit-amit deh, jangan sampe kejadian lagi.” Suara Veli menimpali. Hanya dengan dua kalimat itu cukup untuk Ardi mencerna situasi yang kini terjadi. Pria itu melirik Zia yang berdiri mematung di depannya, dengan bahu turun naik menahan emosi—atau entah menahan tangis—Ardi segera menghentikan Zia yang hendak melangkah menuju sumber percakapan itu berasal. “Sabar, Zi. Jangan emosi.” Zia menggeleng, sepasang mata gadis itu sudah berkaca-kaca. “Nggak bisa! Mereka udah bohongin gue! Mereka bohongin gue supaya nikah sama lo! Kita harus ngomong sama mereka, gue harus ngomong!” Zia geram, berusaha melepaskan Ardi yang menahan kedua bahunya. “Nggak. Nggak dengan emosi kamu yang kayak gini. Kamu belum tahu yang sebenernya!” “Apa lagi? Apa lagi yang perlu gue tahu setelah awal kebohongan dari pernikahan yang konyol ini? Apa lagi? Kita harus minta mereka ceraiin kita sekarang juga! Pembatalan pernikahan!” “Jangan emosi! Dan jangan teriak! Aku akan jelasin ke kamu jadi kamu tenang dulu.” “Nggak! Pokoknya mereka harummphhh—” Ardi membekap mulut Zia di dadanya, menggendong Zia dan membawa gadis itu kembali ke kamar. Dengan rontaan keras, Zia berusaha melepaskan diri, tapi tubuh keduanya justru terhempas ke tempat tidur. Zia yang berusaha melarikan diri terpaksa Ardi tahan dengan memposisikan dirinya seperti pagi tadi, saat Satria memergoki mereka dan menganggap mereka sedang dalam mode romantis khas pasangan pengantin baru. Ardi menahan tubuh Zia, dengan sebelah tangan membekap mulut gadis itu. “Kita bicara baik-baik, nggak ada emosi dan nggak ada teriak-teriak! Kalau kamu masih kayak gini aku nggak segan-segan cium kamu lagi. Dan kali ini bukan di pipi tapi di bibir!” Ancam Ardi tidak main-main.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN