2

1387 Kata
"Pembunuh!" "Kau yang sudah membunuhnya, Emily!" "Kalau bukan karenamu, Elizabeth pasti masih hidup!" "Kau pembunuh Emily, pembunuh, pembunuh, pembunuh!" "Kau penyebab Elizabeth mati! Dan ingat, aku tidak akan pernah menganggapmu sebagai anakku lagi! Kau merebutnya dariku, Emily! Kau merebutnya!" "Semuanya terjadi karena kau! Sejak awal, kau memang pembawa s**l!" "Seharusnya kau yang mati bukan Elizabeth! Bunuhlah dirimu sendiri Emily, tak ada yang menginginkanmu." Ngiangan suara dari dalam diri Emily tercampur aduk dengan masa lalunya yang menyedihkan. Putaran memori di saat ia membentak Elizabeth kembali terulang, membuat Emily kembali merasakan sesak yang mencekiknya secara perlahan-lahan. Ia ingin membuka mata, lalu mengisi paru-paru dengan udara segar, bukannya kenangan menyakitkan. Namun Emily tak bisa. Ya, matanya tak mau terbuka. Seolah, ada sesuatu yang mengurung dirinya di dalam sebuah ruang. Ruangan yang penuh dengan penyesalan. *** JESSE meminum soda berwarna pink dalam satu kali tegukan dan melemparnya ke dalam kotak sampah. Lelaki itu menarik napasnya panjang sebelum menghembuskannya perlahan. Koridor tampak sepi karena semua murid masih belajar di kelas masing-masing. Dan masa hukuman Jesse sudah berakhir. Dia hendak kembali ke kelas karena tahu Bu Yanti pasti sudah keluar. Well, Jesse tidak bisa menemukan Tyler di mana-mana tadi. Laki-laki itu menghilang, sepertinya dia sudah berada di luar sekolah. Jesse kembali ke kelas saat bel istirahat sebentar lagi berbunyi. Dia duduk dengan malas di sebelah Mikael, kemudian bertanya pada sahabatnya itu, “Lo dihukum gak?” Mikael merengut, dan tanpa harus dijawab, Jesse tahu jawabannya. “Dihukumlah anjing! Disuruh ngerjain soal di depan gue, masih mending lo lari doang!” sentaknya kesal. Jesse terkekeh, “Terus? Lo bisa jawab?" Mikael memutar bola matanya, “Gak, karena itu Bu Yanti menghina gue. Ah, bukan gue, kita tepatnya. Si nenek lampir s****n itu … argh!” "Hina apaan?" tanya Jesse penasaran. "Mikael, Jesse, dan Tyler, satu spesies yang menyedihkan. Kalian mau jadi apa pas besar? Cuma mau ngandelin tampang? Ibu sih bisa nemuin wajah-wajah kayak kalian di mana aja, alias wajah kalian itu pasaran." Mikael mengulangi perkataan Bu Yanti tadi. "Gue kesellah muka gue dibilang pasaran, terus gue jawabin tuh omongan dia, dan dia skakmat. Mampus!” "Lo jawab apa?" kekeh Jesse sembari membayangkan ekspresi Mikael. Sahabatnya ini memang paling sensitif jika seseorang sudah menghina wajahnya. Well, maklum. Dia seorang model yang sedang naik daun, jadinya Mikael sangat memperhatikan penampilannya. "Yailah muka kami bertiga pasaran, soalnya kami ganteng. Ibu, udah jelek, keriputan lagi, siapa yang mau samaan coba?" Mikael terbahak ketika mengingat ucapannya sendiri. "Mampus tu nenek, skakmat dia oleh gue hari ini." Jesse tertawa terbahak-bahak karena cerita Mikael yang sangat konyol. Bahunya terguncang berkat tawa kerasnya, “Gila, siap-siap nilai matematika lo D." "Bodo amat." Mikael memutar bola matanya. “Kesel abis gue.” Jesse menghapus air matanya, meskipun tahu kalau perbuatan sahabatnya kurang ajar tapi tetap saja Jesse tak bisa berhenti tertawa.  "Btw, lo mau ikut gue pemotretan, hari ini?" tanya Mikael tiba-tiba. "Hari ini? Ngapain ngajak gue?" "Gue disuruh bawa satu temen buat pemotretan yang lain. Bantu gue, ye?" "Males," balas Jesse singkat. "Ntar gue traktir di kantin selama 2 bulan full, gimana?" "No." "Gue beliin kuota? Lo bilang aja mau berapa giga." "Ga butuh, gue kaya." Mikael menghela napasnya kesal, “Oke penawaran terakhir, gue mandiin si Boy selama sebulan full? Gimana?" Jesse menoleh dan menatapi Mikael dari atas ke bawah sebelum mengangguk. Perjanjian ini menguntungkan karena sejujurnya Jesse agak kesulitan mengurus anjingnya yang satu itu. Ya, dia tidak mudah percaya dengan orang lain sejak Boy pernah terserang penyakit setelah pergi ke salah satu tempat perawatan hewan dulu. Dan Mikael sangat pantas untuk menjadi b***k Jesse. "Deal, mandiin dia, pangkasin rambutnya, kasih dia makan, ajak dia jalan-jalan." "s****n!" Mikael memukul lengan Jesse, “Tadi perjanjiannya cuma mandiin." "Iya atau enggak sama sekali?" "Oke deh iya." Mikael menghela napas. Mungkin sebulan ini, ia harus merelakan waktu berkencan dengan pacarnya--Helena, demi memandikan dan mengurus anjing kesayangan Jesse, Boy. "Balik ini, langsung cabut ke tempat pemotretan, jangan ke mana-mana lagi, oke?" perintah Mikael. "Iya, iya, bawel lo."   ***   PELAJARAN selanjutnya dimulai, kali ini waktunya ‘Wali Kelas’. Alias, wali kelas Jesse akan membahas semua hal tentang kelas mereka pada jam ini. Well, sejujurnya pelajaran ini adalah favorit Jesse, karena dia tak suka belajar. Tapi karena suara Wali Kelasnya--Bu Vina-- yang cempreng, Jesse jadi sering merasa terganggu. "Hari ini, kalian ada pertukaran tempat duduk." Bu Vina--walikelas Jesse-- berucap sembari menghela napas. "Silakan para siswa mengambil nomor terlebih dahulu di sini." Semua murid mengerang kesal sembari berdiri dengan terpaksa. Mereka mengambil nomor undian itu scara acak sembari menggerutu. Sebab, baru kali ini Bu Vina peduli dengan denah tempat duduk mereka, padahal biasanya ia paling cuek. "s**t, kok tiba-tiba dipindahin sih?" Mikael membuka kertasnya sembari menatap Jesse. "Gue dapet no 3, lo?" "No. 7." Jesse menggaruk kepalanya yang tak gatal. "s**t, gue gak mau sebangku sama Nia!" Mikael menaik turunkan alisnya sembari menatap wanita yang notabenenya adalah primadona di sekolah. Namanya Nia, seorang gadis cantik dengan bola mata cokelat. Dia sering bertingkah manis untuk menarik perhatian Jesse, tapi tak pernah berhasil. Dan ya, si cabe-cabeaan itu punya pasukan lain, dua orang lagi yang bernama Rebbeca dan Fanya. Mereka berdua mengidolakan Tyler dan Mikael. Menggelikan? Sangat. Jesse tidak mengerti kenapa ada wanita yang semurahan itu di dunia ini. "Lo lihat? Dia udah melirik terus daritadi," goda Mikael. "Kenapa lo gak coba pacaran sama dia aja sih? Kan lumayan, dibanding jomlo." Jesse mendengus seraya memutar bola matanya malas, “Lo aja gih sama Fanya, mau gak?" balas Jesse sembari menyebut salah satu teman Nia yang menyukai Mikael, Fanya. "Gila lo ya! Gue tu sayang sama Helen, cinta mati malah! Mana mungkin gue ngeduain dia demi cewek gak seberapa kek Fanya." Jesse hanya menghela napas, malas meladeni Mikael yang kalau sudah berbicara soal Helena mulai bertingkah berlebihan. Sejujurnya dia lebih suka saat Mikael single, oleh karena itu dia doakan Mikael segera putus dari Helena, "Para siswi, silakan maju." Semua wanita dari kelas XI MIPA 2 berdiri, mengambil lembar kecil yang berisikan angka undian. Sedangkan Jesse hanya bisa berharap cemas di tempatnya. Ia ingin duduk dengan seseorang yang tidak cerewet dan tidak akan menganggunya. Ketika semua orang sudah selesai, Bu Vina berdiri di depan kelas. Membuat suasana terasa tegang. Rasanya aneh, karena baru kali ini mereka duduk dengan posisi diatur. "Sekarang, Ibu akan menyebutkan nomor dari satu sampai 16, kalau nomor kalian dipanggil, silakan angkat tangan. Mengerti?" "Mengerti, Bu." "Satu," panggil Bu Vina. Satu kelas bersorak saat Cecil dan Zack mengangkat tangannya bersamaan, sebab mereka berdua sering sekali bertengkar di dalam kelas. "SIAPA SURUH KALIAN RIBUT?" bentak Bu Vina keras, membuat beberapa orang terkejut karenanya. Sedangkan Jesse menutup telinganya seraya memandang gurunya itu sinis. Kesal karena suara cempreng itu malah semakin besar volumenya. "Dua." Bu Vina mulai menghitung lagi, “Shania dan Gerald, satu tempat duduk." Nia berdiri dan menggebrak meja, “Saya gak mau sama Gerald, Bu! Dia m***m! Saya maunya sama Jesse!" Jesse mengernyit saat namanya dibawa-bawa. s**l, ia tak mau dihukum lagi hanya karena Nia, “Bacot. Gue gak mau duduk sama lo," tolak Jesse cepat. Bu Vina menghela napas untuk ke sekian kalinya. Entah dosa apa yang sudah ia perbuat sehingga punya anak-anak murid yang tidak bisa diatur, “Saya tidak menerima penolakan, Shania Emeralda. Kalau kamu tidak suka, silakan keluar dari kelas ini." Nia terdiam di tempatnya. Bukan, bukan karena perkataan Bu Vina, tapi karena penolakan Jesse yang spontan dan cepat. Nia memang sudah sangat sering ditolak oleh Jesse, tapi baru kali ini lelaki itu menolaknya secara terang-terangan. "Tiga." "Mikael dan Alexanderia, satu bangku." Jesse berusaha menekan buku-buku jarinya kuat-kuat untuk menahan tawanya yang hampir meledak. Ia bisa melihat jelas kalau Mikael membeku di tempatnya, sebab ia pernah jatuh cinta dulu dengan Alexa dulu ... jauh sebelum Mikael mengenal Helena. "Damn it. Gue gak pernah ngobrol lagi dengan dia, dan sekarang kami sebangku?" gerutu Mikael. Mikael pindah ke tempat yang sudah ditentukan dan duduk dengan canggung di samping Alexa. Sedangkan Jesse masih berada di tempat duduk asalnya, menunggu namanya dipanggil. "Tujuh." Jesse mengangkat tangan sembari mengedarkan pandangan. Mata lelaki itu otomatis membulat karena terkejut. Ternyata ia satu bangku dengan gadis yang menolongnya tadi pagi, meskipun secara tak langsung.  Jesse memang tak mengenal gadis itu karena tampaknya ia pendiam, dan sosok pendiam sebenarnya sedikit cocok dengan watak Jesse, dibandingkan dengan orang yang cerewet macam Mikael misalnya. "Emily dan Jesse, satu tempat duduk."   ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN