3

1513 Kata
EMILY melirik teman sebangkunya dengan tatapan malas sebelum menghela napas berat. Ini menyebalkan, karena Bu Vina melakukan pemindahan denah setelah sekian lama. Padahal mereka sudah menduduki kelas 11 sejak 2 bulan yang lalu, dan selama itu wali kelasnya sama sekali tak peduli dengan interaksi murid-muridnya. Well, bisa dibilang Bu Vina itu terlalu cuek. Tapi Emily justru senang karena ketidak peduliannya itu membuat Emily merasa bebas dan leluasa. Emily bukan orang yang pandai bergaul. Ah, ralat. Tepatnya dia selalu melamun di kelas, hingga tak ada orang yang mau mengajaknya berteman. Jika dipikirkan lagi, sikapnya yang suka menyendiri itu memang aneh. Sungguh berbeda dari Emily yang dulu .... "Thanks.” Suara berat dari seorang lelaki mengejutkannya. Emily melirik ke arah Jesse dengan alis yang terangkat, “Untuk?" "Karena nolongin gue, tadi." Emily mengernyit bingung. Ia sama sekali tak pernah menolong Jesse. Ahm jangankan menolong, kenal saja tidak. "Gue? Kapan?" Jesse menghela napasnya kesal karena wanita di depannya ini ternyata lemot, “Never mind," gumam Jesse. Emily hanya bisa menatapi Jesse bingung sembari mengetuk-ngetukkan jarinya pada meja. Gadis itu berpikir keras, kapan dia menolong lelaki di sebelahnya ini. Setelah lama mencari, Emily tetap tidak menemukan jawabannya. "Berisik, telinga gue sensitif sama bunyi," gerutu Jesse. "Gue harap selama duduk dengan gue, lo gak buat bunyi-bunyi aneh kayak gitu." Jika Emily masih sama seperti dulu, maka dia pasti akan memberontak, tidak suka karena tingkah laku Jesse yang jelas-jelas mengaturnya padahal mereka tidak saling kenal. Well, sayangnya itu dulu. Emily yang sekarang malas mencari masalah, karena dirinya sendiri saja tidak terurus. Bagaimana bisa dia membuat masalah baru? Kurang kerjaan. Percakapan mereka terhenti sampai di sana. Baik Emily maupun Jesse sudah hanyut ke dalam pikiran mereka masing-masing. Tapi, suara Bu Vina yang cempreng nan menyebalkan bisa menghancurkan lamunan siapa saja. Bahkan ketika mereka tak ingin mendengarnya. "Kalian tahu kenapa saya memindahkan tempat duduk kalian hari ini?" Bu Vina bertanya sembari menatapi daftar nama mereka. Wanita yang usianya baru menginjak 23 tahun itu hanya bisa mengelus d**a saat melihat deretan nama siswa yang melakukan pelanggaran hampir semua berasal dari kelasnya. "Tidak, Bu." Mereka semua menjawab serentak. Wanita berambut hitam yang tercepol rapi itu memijat pelipisnya pelan. Dengan mata memicing dan bibir yang terkatup, ia berusaha untuk mengintimidasi muridnya. Tapi sepertinya tidak ada yang merasa takut. Mereka semua masih menampilkan raut wajah ceria, seolah tanpa dosa. "Jesse Green, hari ini tidak memakai ikat pinggang. Emily Heather, membuat Bu Yanti tersandung dan jatuh. Tyler Alexanderion membangkang Bu Yanti dan membolos pelajaran. Mikael Christian menghina Bu Yanti dan tidak membuat tugas. Grey Reemoon bernyanyi di kelas saat pelajaran, Roy merokok dan menyalakan api di kelas, Ratna membuang permen karet ke sembarang tempat dan … masih banyak lagi," tandas bu Vina frustrasi. "Kelas ini mau jadi apa sebenarnya? Dari 30 siswa yang hadir, setengah di antaranya melakukan pelanggaran? Kalian mau naik kelas atau tidak?!" tanyanya dengan nada membentak. "Mau, Bu!" jawab Jesse nyaring, membuat satu kelas menatapnya aneh. Dan ketika sadar kalau dialah satu-satunya orang yang menjawab, Jesse langsung meneguk salivanya kasar. Sial! Dia apes sekali hari ini. Apa dia harus dirukiah? "Kamu! Jesse Green, kenapa tidak pakai ikat pinggang?" Bu Vina bertanya kepada Jesse, membuat lelaki bermata cokelat itu gelagapan. Dari ekor matanya, Jesse bisa melihat Mikael tengah menahan tawa di ujung sana. s**t! "Ribet, Bu, entar saya pipis di celana lagi karena susah bukanya," tukas Jesse santai, seolah Bu Vina adalah temannya, bukan wali kelas. Satu kelas tampak menahan tawa karena jawaban Jesse yang sangat simpel. Sedangkan lelaki blasteran itu hanya bisa menggaruk tengkuknya, salah tingkah. Sepertinya dia salah menjawab. “Peraturan tetap peraturan!” Kali ini Bu Vina terdengar membentak. “Apa perlu saya buat kamu tidak bisa pipis lagi supaya bisa memakai ikat pinggang?” Jesse meneguk salivanya lagi. Enggan menjawab karena malas. Sepertinya lebih baik Jesse mengunci mulutnya rapat-rapat dibandingkan dengan disemprot oleh Bu Vina. “Kalau saya ajak bicara dijawab!” Jesse membelalak, “Iya Bu, besok saya pakai,” katanya dengan nada memelas. s**l, salah lagi dia. Apa memang nasib laki-laki selalu begini? Salah meskipun tidak melakukan apa-apa? “Bagus. Tepati janji kamu,” omel Bu Vina yang kemudian kembali berjalan ke depan dengan tenang, meninggalkan Jesse yang hanya bisa bernapas lega karena si medusa sudah pergi. Sedangkan Emily melirik Jesse sedaritadi, mengamati ekspresi laki-laki itu seolah mencari sesuatu. “Apa liat-liat?” tanya Jesse, menangkap basah Emily yang tengah memandanginya. Emily cepat-cepat mengalihkan pandangannya. Dia menopangkan kepalanya dengan tangan yang tertumpu pada meja, enggan melirik ke arah Jesse lagi. Melihat reaksi Emily yang langsung kabur setelah tertangkap basah membuat Jesse menyunggingkan senyumnya tanpa sadar. “Lucu juga,” gumamnya pelan sambil memerhatikan Emily dari samping.   ***   BEL pulang sekolah sudah berbunyi. Setelah melewati semua siksaan, dari mulai cambukan, penderitaan, kematian dan--baiklah hal ini berlebihan. Akhirnya seluruh murid diperbolehkan untuk pulang ke rumah. Jesse yang baru saja hendak merilekskan otot-ototnya dikejutkan oleh sosok Mikael yang sudah rapi dengan tas yang menggantung di pundak, “Buruan!” titahnya. Jesse memutar bola matanya malas, “Sabar napa? Baru juga bel.” “Buruan ish! Males gue kalau depan macet!” Mikael mengomel lagi. Tingkahnya mirip dengan ibu-ibu yang sedang PMS. Karena desakan yang terus dilayangkan Mikael, Jesse jadi agak semberono dalam membereskan barang. Entah kenapa, hari itu dia merasa membawa banyak sekali buku. Padahal pada kenyataannya, Jesse hanya membawa satu buku tulis, dan buku itu kosong. Ya, dia tanpa sadar membawa perlengkapan dan catatan milik teman sebangkunya yang baru, Emily Heather.   ***   JESSE dan Mikael berjalan masuk ke sebuah gedung mewah dengan latar yang sangat mendukung. Ya, di sinilah tempat Mikael photoshot. Dan perusahaan ini memang besar, terbukti dari begitu banyaknya pegawai di agensi ini. Mereka keluar dari lift dan berjalan hingga ke koridor ujung. Di sana, Mikael membuka pintu, menampilkan sebuah ruangan yang benar-benar baru pertama kali Jesse lihat. Dan wow, not bad. “Good, kau menepati janjimu dengan membawa teman.” Seorang laki-laki dengan kepala botak, kemeja hawai, dan kacamata tebal yang bertengger di wajahnya tiba-tiba muncul entah darimana. “Temanmu oke, good looking. Pass! Kalian bisa segera ganti baju.” Jesse melongo. Sudah? Dia diterima? Semudah itu? Padahal tadi Jesse sempat ragu kalau agensi Mikael akan menerimanya. Tapi hal yang terjadi justru sebaliknya. “Nice. Memang ga salah gue ngajak lo,” ucap Mikael seraya berjalan, dan dengan terpaksa Jesse mengikuti langkahnya. “Yang tadi namanya Aratchi, dia keturunan Sunda-Jepang. Sebagian model terkenal dipilih oleh dia karena itu dia bisa kerja di agensi ini.” Mikael menyibak sebuah tirai merah ketika mereka sampai di ujung ruangan. Dan ternyata di sana ada banyak sekali baju untuk kepentingan pemotretan. “Setelah ini, lo bakal ketagihan. Jadi model itu enak. Dan gue yakin lo betah.” Mikael memilih salah satu baju dan melemparnya ke arah Jesse. “Tangkep!” Jesse menerima baju dari Mikael. Sebuah pakaian terbuka yang sama sekali tidak menutupi dadanya, “Lo nyuruh gue pake ini?” “Iya, memang gitu bajunya.” Mikael menjawab acuh tak acuh. “Woles, gue juga pake.” Jesse menatap Mikael dengan tatapan horor, “Kita … gak lagi photoshot majalah p***o kan?” Pertanyaan Jesse itu sukses membuat Mikael melayangkan tangannya ke arah kepala Jesse. Memukul laki-laki itu keras. “Pala lu peyang! Nih gue pukul supaya pinter dikit. Siapa tahu abis ini dapet pacar,” sindir Mikael dengan nada suaranya yang menyebalkan. Jesse memutar bola matanya, “Pacar ga penting, nilai lebih penting.” “Iya penting, tapi gimana mau dapet nilai bagus kalau belajar aja males? Lo pikir nilai lo bakalan turun dari langit? Yakali.” “Kayak lo pinter aja dasar antena kecoak!” Jesse mengerutu karena tingkah Mikael. “Gakpapa b**o. At least, gue punya pacar. Bukan kayak lo, jomlo akut.” “Cinta itu ga ada.” Jesse memotong. “Yang ada hanya obsesi untuk saling memiliki, sama seperti lo dan Helena. Kalian ga saling mencintai.” “Yee sotoy lo kurapnya babi!” Kali ini Mikael yang sewot. “Gue doain lo cepetan suka sama orang, biar ga bisa seenaknya ngomong. Eh, tapi sama si yang tadi boleh juga. Teman sebangku lo yang baru siapa sih? Miter?” “Heather, peak. Emily Heather.” Jesse mengkoreksi. “Wow. Lo tahu namanya!” seru Mikael heboh. “Sebuah awal yang bagus.” “Lebay,” kata Jesse seraya memutar bola matanya. “Ya udah, gue doain lo suka sama dia deh. Baik kan, gue?” Jesse mengernyit, “Ga akan.” “Ga akan? Hmm.” Mikael menaikkan alisnya tertarik, “Kalo gitu, gimana kalau kita taruhan. Lo … gue ramal bakal jatuh cinta dengan Emily.” Jesse terkekeh, tanpa pikir panjang langsung menyetujui ucapan Mikael karena menurutnya hal itu hanyalah perkataan konyol, “Setuju. Dan kalo gue ga jatuh cinta sama dia, lo harus ungkapin isi hati lo yang sempet ada ke Alexa gimana?” Mikael meneguk salivanya kasar. s****n Jesse, menggunakan masa lalunya sebagai balasan. Meski sebenarnya enggan, pada akhirnya Mikael mengangguk setuju, karena dia sudah kepalang basah. “Dan kalo lo jatuh cinta, lo harus kabulin tiga permintaan gue. Gimana, oke gak?” Jesse melengkungkan senyum penuh kemenangan, “Deal!”   ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN