(7) Titipan Salam Kak Tunangan

1084 Kata
"Lo masih nanya apa sangkut pautnya sama Bang Riza? Lo mah susah gue bilangin, dari dulu gue udah ngomong sama lo kalau Bang Riza itu suka sama lo Ay! Dia itu nggak menganggap lo cuma sebagai anak tetangga, Bang Riza menganggap lo lebih dari itu." Yuni ngomong masih dengan tatapannya yang sama, ya memang begitu kenyataannya, gue nggak bisa ngomong apapun, itu semua cuma pendapat Yuni doang dan belum ada kenyataannya. "Ya memang Bang Riza nggak nganggep gue sebagai anak tetangga doang, gue udah di anggap kaya adiknya sendiri juga, lo aja yang selalu berlebihan menilai sikap Bang Riza." Jawab gue santai, gue memang sesantai itu, nggak ada yang harus gue perjelas sekarang karena kalau soal pembahasan modelan begini, gue udah cukup sering ngomong ke Yuni, gue sama Bang Riza nggak punya hubungan lebih dalam bentuk apapun, itu juga yang harus Yuni tahu. "Itu mah menurut lo tapi bukan dari sudur pandang Bang Riza, kalau menurut Bang Riza lo itu lebih dari sekedar anak tetangga yang udah dianggap kaya adiknya gimana? Memang lo udah yakin? Gue yang sebagai pengamat aja udah nggak yakin sama sekali, tatapan Bang Riza ke lo itu udah beda, nggak mungkin kalau Bang Riza nggak punya perasaan apapun." Udahlah, kalau Yunu udah kekeh dengan pendapatnya, mau gue ngomong segimanapun juga nggak akan berpengaruh lagi, Yuni akan tetap dengan keputusannya dan gue akan tetap dengan keputusan gue sendiri. "Terserah lo mau mikir apa, itu sudut pandang lo dan itu hak lo memberikan penilaian tapi yang paling penting itu gue, yang paling penting adalah pendapat gue sendiri, bukan yang lain." Gue tersenyum kecil dan nepuk pelan bahu Yuni sekarang, lebih baik Yuni fokus dengan kemudinya dari pada dia terus natap gue nggak karuan begitu karena masih ingin memaksakan pendapatnya untuk gue, maaf gue nggak bisa terima. "Lo mah dari dulu susah kalau gue bilangin, tar tunggu aja kalau tiba-tiba Bang Riza dateng ke rumah dan ngirim lamaran, baru lo kalang kabut kaya petasan di bakar entar, gue jamin." Walaupun Yuni lagi fokus dengan kemudinya tapi mendengarkan jawaban Yuni barusan gue langsung aja nepuk pelan bibirnya yang suka ngomong sembarangan itu "Woi hati-hati Ay! Gue lagi nyetir itu." Kesal Yuni nepuk balik lengan gue, ya Yuni pikir gue nggak tahu kalau dia lagi bawa mobil? Alhamdulillah mata gue masih berfungsi dengan sangat normal sekarang. "Lo kata gue nggak lihat lo lagi ngapain? Lo sendiri kalau ngomong juga jangan sembarangan, harusnya lo ngomong yang baik-baik bukannya malah ngedoain yang bukan-bukan begitu." Ucap gue balik menatap Yuni kesal, abisan mulutnya itu barusan beneran sembarangan, kesal gue sampai separah ini. "Iya maaf! Gue mumet aja kalau udah ngomong sama lo masalah ini, susah banget dikasih tahu, gue kaya gini itu karena gue peduli sama lo, gue nggak mau ditengah kebahagiaan lo sama Kak Ken nanti, perasaan Bang Riza malah bakalan jadi beban dan masalah untuk rumah tangga lo Ay, gue cuma khawatir makanya gue nyuruh lo untuk ngomong selagi lo punya waktu, gue yakin lo juga nggak sebodoh itu sampai nggak sadar dengan perasaan Bang Riza itu gimana." Kali ini Yuni bicara dengan nada yang jauh lebih santai, nada bicaranya santai tapi tingkat keseriusannya tinggi kali ini, Yuni beneran serius memperingati. "Bakalan gue pikirin nanti, sekarang itu lebih baik lo fokus bawa mobilnya, gue udah gerah banget mau mandi." Nanti bakalan gue coba pikirin dengan kepala tenang lagi, pasalnya yang mengganjal di hati gue sebenernya cuma satu, gue nggak yakin kalau Bang Riza beneran punya perasaan sama gue, cuma itu jadi nggak ada maksud apapun, gue cuma nggak mau membahas yang gue rasa belum perlu, lagian kalaupun Bang Riza punya perasaan sama gue, belum tentu Bang Riza bakalan mengakuinyakan? Siapa tahu Bang Riza nggak akan ngomong apapun tar jatuhnya malah kaya gue yang percaya diri banget. "Iya lo pikirin tapi juga jangan kelamaan, waktu jalan terus, jangan sampai karena lo kelamaan mikir tahu-tahu besok udah hari pernikahan lo pula, nggak lucu." Gue mengangguk cepat, gue juga nggak berencana ngelawak disaat kaya gini, gue masih bisa memilah mana yang bisa dibawa becanda dan mana yang bener-bener harus gue pikirkan dengan serius. Setelah ucapan Yuni tadi, gue udah nggak memperpanjang obrolan apapun, gue membiarkan Yuni fokus dengan kemudinya dengan gue fokus memperhatikan ke arah luar jalan sekarang yang cukup ramai, begitu aja terus sampai kita berdua udah di depan rumah gue, gue sempat nawarin Yuni untuk masuk sama mampir tapi Yuni juga mau langsung pulang, udah sore banget soalnya tar malah makin telat sampai di rumahnya tu anak, kasian juga. Masuk ke rumah dengan mengucapkan salah seperti biasa, gue membuka pintu dan aslian kaget begitu tahu kalau ternyata di rumah udah ada Bang Riza sama adiknya Riri, walaupun cukup panik tapi gue mengusahakan yang terbaik untuk tetap terlihat biasa aja, baru juga tadi gue sama Yuni ngomongin Bang Riza tapi sekarang malah orangnya langsung yang ada didepan mata gue kaya gini, panjang umur banget. "Loh Bang! Ri, ada apa ni pada ngumpul di rumah?" Tanya gue tersenyum ramah, ini memang bukan kali pertama Bang Riza sana Riri dateng ke rumah tapi karena baru aja selesai gue omongin jadi rasanya gimana gitu, rasa kaget. "Bunda yang ngajak Riza sama Riri makan malam disini Ay! Papa sama Mama merekakan lagi keluar kota jadi dari pada mereka makan diluar, lebih baik makan bareng kita di rumah." Jawab Bunda gue mewakili, gue mengiakan ucapan Bunda gue sambilan nyalim juga, oh orang tuanya Bang Riza lagi diluar kota toh, itu juga bukan hal baru lagi, neneknya Bang Riza belakangan kondisinya kurang baik jadi Om sama Tante sering bolak balik ke sana, karena Riri masih sekolah jadi nggak mungkin libur terus menerus jadi Bang Riza sama Riri tetap di rumah. "Bener Nda, mending makan disini, yaudah Aya mau beberes dulu ya! Udah gerah banget soalnya." Gue tersenyum ke Bang Riza sama Riri sekilas sebelum berlalu naik ke atas. "Ay! Memang kamu dari mana?" Tanya Bang Riza yang membuat gue memberhentikan langkah di tangga. "Tadi nemenin Yuni beli kado untuk adiknya sebentar Bang, sempat makan di tempat biasa juga makanya lama." Jawab gue jujur, Bang Riza mengangguk pelan. "Terus Yuni kenapa nggak kamu suruh masuk juga Ay? Kan bisa makan malam bareng kita sekalian?" Tanya Bunda ke gue. "Buru-buru Nda, takut telat sampai di rumah." Membicarakan Yuni, gue juga malah ingat dengan titipan salam dari Kak Ken ke Ayah sama Bunda tadi, apa gue sampaikan sekarang? Nggak papa kayanya. "Oh iya Nda, tadi Kak Ken juga nitip salam untuk Ayah sama Bunda juga." Kalimat terakhir gue yang langsung di hadiahi tatapan kagetnya Bang Riza sekarang.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN