Apa Aku Punya Papa?

868 Kata
Daffa duduk di kursi kerjanya, matanya tanpa sadar mengikuti gerakan Eksas yang sibuk membersihkan lantai dekat meja. Gerakannya cekatan, namun ada kehati-hatian dalam setiap langkahnya. Daffa menyipitkan mata, merasa ada sesuatu yang ganjil. "Kenapa dia terus muncul di kehidupanku belakangan ini?" pikirnya sambil mengetuk ujung jari di meja. Rasa curiga mulai merayapi pikirannya. Padahal sebelumnya Daffa jarang bertemu cleaning service biasa untuk membersihkan ruangannya. Apa mungkin dia mata-mata yang dikirim oleh saingan bisnisnya atau sosok yang ingin menghancurkannya? Wajah Daffa mengeras. Ia tidak bisa membiarkan kemungkinan seperti itu terjadi tanpa penyelidikan. Namun, ketika matanya kembali tertuju pada Eksas, ada sesuatu yang lain muncul di dalam dirinya. Rasa familiar yang tidak bisa ia jelaskan. Ia memijat pelipisnya yang tiba-tiba terasa sakit. Gambar-gambar samar mulai bermain di benaknya—seperti bayangan yang buram dan tidak bisa ia tangkap sepenuhnya. "Siapa dia sebenarnya?" gumam Daffa pelan. Eksas, yang sedang memungut alat pel, menoleh sejenak mendengar suara itu. "Bapak bilang sesuatu?" tanyanya sopan, namun ada nada khawatir disuaranya. Daffa tersentak. Ia tidak sadar telah berbicara. "Tidak," jawabnya dingin, lalu kembali memandang laptopnya, meskipun pikirannya jauh dari pekerjaan yang ada di depannya. Eksas melanjutkan pekerjaannya tanpa curiga, tetapi di mata Daffa, setiap gerakannya terlihat mencurigakan. Ia mengamati bagaimana Eksas memperhatikan sudut-sudut ruangan dengan detail, bagaimana ia bergerak begitu hati-hati, seolah menyembunyikan sesuatu. "Kemana orang yang biasa membersihkan ruangan saya?" tanya Daffa tiba-tiba, suaranya penuh penekanan. Eksas berhenti sejenak. Kemudian ia menjawab, "saya tidak tahu, Pak." Daffa memiringkan kepalanya sedikit, matanya menyipit seolah mencoba membaca lebih dalam. "Sejak kapan kamu bekerja di sini?" "Sudah hampir setahun, Pak." Daffa memijat pelipisnya lagi. Rasa sakit di kepalanya semakin tajam, seperti ada sesuatu yang mencoba keluar dari kegelapan pikirannya. Wajah Eksas memicu sesuatu di dalam dirinya—sebuah ingatan yang terkubur. "Apa kita pernah bertemu sebelumnya?" tanyanya tiba-tiba. Eksas membeku. Pertanyaan itu menghantamnya seperti palu besar. Jantungnya berdetak lebih cepat, namun ia mencoba tetap tenang. Apa maksud Daffa? Kenapa seolah-olah dia memang tidak mengenal Eksas. Padahal Eksas berpikir bahwa Daffa hanya tidak ingin terlibat dengan dirinya lagi. Membuangnya seperti sampah. Daffa menatapnya lebih tajam, namun sebelum ia bisa mengucapkan sesuatu lagi, rasa sakit di kepalanya semakin menjadi. Ia mengerang pelan, memegangi sisi kepalanya. "Pak, Anda tidak apa-apa?" Eksas mendekat dengan wajah cemas. "Jangan mendekat!" bentak Daffa tiba-tiba, membuat Eksas terkejut dan melangkah mundur. "Maaf, Pak. Saya hanya ingin membantu." Daffa mengatur napasnya, mencoba meredakan rasa sakit. Ia menatap Eksas dengan campuran emosi—curiga, bingung, dan entah kenapa ada sedikit rasa takut. "KELUAR!" ujarnya pelan namun tegas. "Tapi, Pak-" "Saya bilang keluar, ya KELUAR!" Eksas mengangguk patuh, mengemasi alat kebersihannya dengan cepat sebelum keluar dari ruangan. Begitu pintu tertutup, Daffa menyandarkan tubuhnya ke kursi, memandang langit-langit. "Siapa sebenarnya dia?" gumamnya. "Dan kenapa kepalaku sakit seperti ini?" Eksas hanya bisa merutuki diri sendiri setelah keluar dari ruangan sang direktur. Bisa-bisanya dia memiliki rasa kekhawatiran kepada orang yang sudah menghancurkan hidupnya. Seharusnya Eksas merasa senang jika memang Daffa kesakitan atau hidupnya menderita. Eksas kembali melanjutkan pekerjaan ditempat lain yang juga ada di lantai 36. Dia tidak ingin peduli dengan Daffa. Apalagi dia diusir dengan keras begitu. Eksas berharap anaknya tidak akan mewarisi akhlak minus dari Daffa. * Eksas menggendong Elzin keluar dari tempat penitipan anak, senja mulai memerah di langit. Langkahnya pelan menyusuri trotoar, sementara Elzin memeluk lehernya erat. Bocah kecil itu tampak ceria, dengan senyum polos yang selalu berhasil menghapus sebagian kelelahan Eksas. Namun, ditengah perjalanan pulang, Elzin tiba-tiba bertanya dengan nada penasaran. "Mama," panggilnya lembut sambil menyentuh pipi Eksas. "Iya, Nak?" Eksas menjawab sambil tersenyum, menoleh sekilas ke arah putranya. "Teman-teman tadi celita tentang papa mereka. Ada yang papanya jemput, ada yang belikan mainan. Apa aku juga punya Papa?" tanyanya polos, matanya yang besar memandang langsung ke arah Eksas. Langkah Eksas terhenti. Jantungnya seperti tertusuk sesuatu yang tajam. Ia menatap Elzin dengan mata yang mulai berkaca-kaca, tapi ia buru-buru tersenyum untuk menutupi rasa sedih yang tiba-tiba menyeruak. "Tentu saja, sayang. Kamu punya Papa," jawab Eksas pelan, berusaha menjaga nada suaranya tetap lembut. Elzin mengerutkan dahi, merasa penasaran. "Kalau begitu, kenapa Papa tidak pelna muncul?" "Apa papa tidak cayang cama eljin?" tanyalah lagi. Eksas hampir tidak mampu menjawab. Tenggorokannya terasa kering, dan ia menunduk, berusaha menenangkan diri. Ia tahu Elzin masih terlalu kecil untuk mengerti situasi yang sebenarnya, tapi ia juga tidak ingin membohongi putranya. "Papa sayang banget sama Elzin," kata Eksas akhirnya, dengan suara yang terdengar gemetar. "Tapi... Papa sekarang kerja di tempat yang jauh. Makanya, Papa belum bisa ketemu dengan Elzin. Tapi Papa selalu ingin Elzin bahagia." Elzin tampak berpikir sejenak, lalu mengangguk pelan. "Jadi, Papa lagi kelja kelas, ya?" "Iya, sayang. Papa kerja keras supaya nanti kita bisa tinggal di tempat yang lebih bagus dan Elzin punya banyak mainan." Elzin tersenyum kecil. "Kalau gitu, aku mau jadi anak baik bial Papa bangga sama aku." Eksas merasa hatinya mencair mendengar ucapan itu. Ia mengecup kening putranya, menahan air mata yang hampir jatuh. "Kamu memang anak baik, sayang. Mama sangat bangga sama kamu." Mereka melanjutkan perjalanan pulang dengan suasana yang lebih tenang. Tapi di hati Eksas, pertanyaan Elzin terus bergema. Ia tahu, cepat atau lambat, kebenaran tentang siapa ayah Elzin dan kenapa ia tidak ada di kehidupan mereka akan menjadi hal yang harus ia hadapi bersama Elzin.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN