Eksas memijat pangkal hidungnya karena pusing memikirkan Elzin. Dia tidak bisa mengajukan cuti sebanyak dua kali dibulan yang sama. Hari ini tempat penitipan anak libur, jadi Eksas tidak bisa menitipkan anaknya di sana. Mau tidak mau, Eksas harus membawa Elzin ke tempat kerja. Tadi malam dia sudah meminta izin kepada Pak Tamri untuk membawa anaknya ke tempat kerja. Eksas memberikan alasan yang begitu valid dan panjang. Pak Tamri memberi izin asal Elzin tidak mengganggu pekerjaan Eksas dan yang lain.
Eksas merasa gugup membawa Elzin ke tempat kerja. Tapi tidak ada pilihan lain, tempat penitipan anak sedang libur, dan Elzin tidak mungkin ditinggalkan sendirian di rumah.
"Elzin, dengarkan Mama, ya. Kamu harus diam dan jangan lari-lari," kata Eksas sambil mengelus kepala putranya yang berjalan di sampingnya.
"Iya, Ma. Aku janji!" jawab Elzin dengan semangat, meski matanya berbinar penuh rasa ingin tahu melihat gedung besar dan orang-orang berlalu-lalang.
Saat Eksas mulai membersihkan lantai di koridor utama, Febby, rekan kerjanya, mendekat.
"Eksas, ini anak kamu, ya? Lucu banget!" ujar Febby sambil jongkok untuk menyapa Elzin.
Eksas tersenyum kecil. "Iya, Feb. Pemilik tempat penitipan ada acara, jadi dia ikut ke sini. Boleh gak aku titip sebentar? Aku harus beresin lantai ini."
"Boleh banget! Sini, Elzin, ikut tante sebentar," kata Febby ramah, menggandeng tangan Elzin.
Awalnya, Elzin duduk manis di samping Febby yang sibuk mengobrol dengan teman-temannya. Tapi, tak lama kemudian, mata Elzin tertarik pada sebuah robot kecil yang bergerak pelan di lantai. Robot itu adalah alat survey otomatis yang digunakan perusahaan untuk melakukan survey keliling tentang kepuasan karyawan terhadap perusahaan.
"Lobot!" seru Elzin pelan, lalu berdiri. Dia mengikuti kemana robot berwarna putih itu bergerak.
Elzin terus mengikuti robot itu melewati lorong, menuju ke arah beberapa tempat. Ia kagum melihat bagaimana robot itu bergerak dengan lampu-lampu kecil yang berkedip.
Namun, saat robot itu berhenti di dekat sebuah pintu besar, Elzin malah menabrak seseorang yang baru saja keluar dari ruangan.
Bruk!
"Eh, pelan-pelan," ujar suara berat.
Elzin mendongak dan melihat seorang pria tinggi dengan wajah serius. Itu Daffa, direktur utama perusahaan, yang sedang bersama sekretarisnya, Aris.
"Apa ini?" Daffa menatap bocah kecil di depannya dengan alis berkerut.
"Maaf, Tuan. Saya tidak tahu dari mana anak ini," kata Aris sambil mencoba menghalangi Elzin.
Namun, Elzin malah menatap Daffa tanpa takut sedikit pun. "Om, itu lobotnya kelen cekali! Apa Om yang punya?" tanyanya polos.
Daffa tertegun mendengar suara kecil itu. Ia memandang Elzin lebih dekat. Ada sesuatu di wajah bocah itu yang terasa... familiar.
"Siapa nama kamu?" tanya Daffa dengan nada lebih lembut dari biasanya. Biasanya dia tidak suka anak kecil. Tapi entah kenapa dia tidak memiliki perasaan seperti itu terhadap anak yang sekarang ada didepannya.
"Nama aku Eljin!" jawab bocah itu sambil tersenyum lebar.
"Eljin?" beo Daffa memastikan.
"No. Nama aku Eljin." Elzin kembali mengulang. Daffa sampai mengerutkan kening. Apa yang salah dari pengucapannya. "Eljin?" ulang Daffa lagi.
"Elzin, Pak. Namanya Elzin." Aris mengoreksi. Dia cukup peka jika Elzin belum bisa berbicara dengan huruf yang sempurna.
"Benal sekali. Om pintal." Elzin memberikan jempol kepada Aris. "Tidak cepelti om ini," lanjutnya lagi.
Daffa jadi malu sendiri. Tapi dia tidak ingin menunjukkannya. Salah siapa mengucapkan nama dengan tidak tepat.
"Kenapa Elzin ada disini?" tanya Aris begitu memperhatikan wajah Elzin. Entah kenapa semakin lama wajah Elzin mirip sekali dengan sang atasan.
"Mama bawa Eljin ke cini kalena cekolah libul."
Daffa mengerutkan kening, mencoba memproses apa yang baru saja didengar. "Mama kamu kerja di sini?"
Elzin mengangguk. "Mama kelja ditempat yang becar." Elzin membuat gerakan tangan yang menunjukkan kata besar.
"Anak siapa ini?" tanya Daffa kepada Aris. Tentu saja Aris merasa was-was. Bagaimana jika sang atasan malah memecat ibu dari anak ini? Padahal Elzin tidak melakukan sesuatu yang merugikan perusahaan.
"Apa yang Bapak ingin lakukan?"
Daffa menatap Aris dengan tajam. "Apa yang kamu pikirkan?!" tanya dengan nada dingin.
Aris menggaruk leher yang tidak gatal. "Ti-tidak ada, Pak."
"Om tidak boleh malah-malah." Elzin menggerakkan jari telunjuknya ke kiri dan kekanan. Dia terlihat lucu sekali.
"Siapa yang marah? Om tidak marah."
Elzin tersenyum lebar. "Beralti om olang baik."
Daffa tersenyum tipis. Aris tidak sengaja melihat sehingga membuatnya merinding sendiri. Bagaimana mungkin sang atasan tiba-tiba tersenyum. Hal yang jarang terjadi.
"Dimana Mama kamu?"
Sebelum Elzin sempat menjawab, suara langkah terburu-buru terdengar dari ujung lorong. Itu Eksas, wajahnya panik setelah menyadari putranya menghilang.
"Elzin!" panggilnya, lalu berhenti mendadak ketika melihat Daffa. Jantungnya terasa berhenti sesaat.
Daffa menoleh ke arah suara itu. Matanya bertemu dengan mata Eksas, dan untuk pertama kalinya, ia merasa bingung luar biasa. Kepalanya kembali terasa berdenyut, memicu rasa sakit yang samar tapi familiar. Tapi tidak hanya Eksas yang datang melainkan ada laki-laki lain juga. Dia adalah Deon.
"Ma... maaf, Pak," ujar Eksas dengan suara gemetar, lalu buru-buru menarik tangan Elzin. Dia berusaha menutupi wajah sang anak. Padahal Daffa sudah melihatnya.
"Ini anak kamu?" tanya Daffa, matanya masih menatap tajam. Tapi entah kenapa Deon merasa tidak senang melihat laki-laki yang datang bersama Eksas. Ada apa dengan dirinya?
Eksas menunduk, tidak berani menjawab langsung. "I-iya, Pak. Maaf kalau dia mengganggu."
Daffa tidak langsung menjawab. Ia hanya berdiri di tempat, menatap Eksas dan Elzin secara bergantian. Ada sesuatu dalam situasi ini yang tidak bisa ia pahami, namun menekan pikirannya dengan kuat.
"Bawa dia pergi," ucap Daffa akhirnya dengan nada datar.
"Terima kasih, Pak. Sekali lagi, maaf," ujar Eksas sambil menggandeng Elzin pergi dengan langkah terburu-buru. Deon juga sedikit menunduk dan pamit kepada sang atasan untuk menyusul Eksas.
Setelah mereka pergi, Daffa tetap berdiri di tempat. Ia merasa seperti baru saja melewatkan sesuatu yang sangat penting, sesuatu yang sudah lama terkubur di pikirannya.
"Kalau dilihat-lihat, anak itu mirip Bapak," ujar Aris tanpa sadar.
"Apa kamu bilang?!"
Aris langsung menutup rapat mulutnya. Bisa-bisanya dia keceplosan begini.