Hari ini, seperti hari-hari sebelumnya, Eksas berusaha keras untuk menyelesaikan tugasnya tanpa mempedulikan bisik-bisik dari rekan kerjanya. Namun, semakin ia mencoba mengabaikan, semakin nyaring kata-kata mereka terdengar.
"Pantas saja sering dipanggil ke ruangan direktur. Janda cantik, siapa tahu ada niat lain," ujar salah satu rekan sambil tertawa kecil.
"Ssst, hati-hati. Nanti dia godain suami kita juga," balas yang lain dengan nada setengah berbisik, namun cukup keras untuk didengar Eksas.
"Mentang-mentang punya wajah cantik, tapi suka tebar pesona. Harusnya sadar diri dong, udah punya anak juga."
"Benar. Mana anaknya udah besar. Apa nggak mikirin anaknya apa? Mana mau anak punya ibu yang sudah menggoda laki-laki, apalagi suami orang."
"Ya kalau nggak tebar pesona, dianya nggak makan."
"Ups, nanti kedengaran orangnya."
"Nggak mungkinlah, dia aja nggak sadar diri. Jadi mana merasa."
Eksas merasa d4danya sesak. Ia mengepalkan tangan, menahan air mata yang hampir jatuh. Meski ingin membela diri, ia tahu percuma berbicara kepada mereka. Apapun yang ia katakan hanya akan menjadi bahan lelucon berikutnya.
Saat jam kerja berakhir, Eksas buru-buru keluar dari gedung tanpa banyak bicara. Tubuhnya terasa lelah, bukan hanya karena pekerjaan, tetapi juga karena beban mental yang ia rasakan.
Ketika ia tiba di depan halte, suara familiar menghentikan langkahnya.
"Eksas, tunggu."
Ia menoleh dan melihat Deon berjalan cepat menghampirinya. Pria itu tersenyum ringan, membawa tas kerja di satu bahu. Eksas sudah mengenal Deon saat baru bekerja diperusahaan ini. Orangnya baik, makanya Eksas tidak keberatan untuk sekedar bertegur sapa atau mengobrol sebentar. Beberapa kali Deon juga membantu dirinya.
"Kamu kelihatan lesu. Apa ada masalah di kantor?" tanya Deon, nada suaranya penuh perhatian. Dia begitu memperhatikan Eksas.
Eksas memaksa bibirnya untuk tersenyum, mencoba menutupi perasaannya. "Tidak, aku baik-baik saja. Hanya lelah, itu saja."
Deon memiringkan kepala, ekspresinya menunjukkan bahwa ia tidak percaya sepenuhnya. "Yakin? Kamu bisa cerita kalau ada sesuatu. Kadang berbagi itu membantu, lho."
Eksas menggeleng pelan. "Terima kasih, Deon, tapi aku benar-benar baik-baik saja."
Deon tidak mendesak lebih jauh. "Baiklah, kalau begitu. Sekarang, kamu mau kemana? Aku juga mau pulang, mungkin kita searah."
"Aku mau menjemput anakku dulu di penitipan," jawab Eksas sambil melangkah menuju tempat penitipan anak.
Deon mengangguk dan memutuskan ikut dengannya. "Oh, Elzin, kan? Dia anak yang tampan dan juga ceria."
Eksas tersenyum kecil. "Iya, dia memang ceria. Aku sampai kewalahan kalau sudah bermain dengannya."
Deon tersenyum, merasa takjub dengan Eksas. Apalagi menjadi ibu tunggal bukanlah hal yang mudah. "Kamu membesarkan Elzin dengan sangat baik."
Ketika mereka tiba di tempat penitipan, Elzin langsung berlari menghampiri ibunya. "Mama!" seru bocah itu sambil memeluk Eksas erat.
"Pelan-pelan, Sayang." Eksas takut kalau Elzin terjatuh saat berlari. Dia sangat aktif sekali makanya Eksas takut membawa Elzin ke tempat ramai. Keingintahuannya besar sekali.
"Halo, Elzin," sapa Deon sambil jongkok di depan bocah itu. "Apa kamu masih mengingat, Om?"
Elzin mengangguk antusias. "Tentu aja Om! Om cuka belikan Eljin makanan."
Jika ada kesempatan bertemu Elzin, Deon memang sering membelikan makanan. Eksas jadi tidak nyaman sendiri. Takutnya membuat Deon merasa tertekan.
Mereka mulai berjalan menuju ke halte yang tidak jauh dari tempat penitipan anak.
"Mama, aku mau es klim!" seru Elzin, menarik tangan ibunya.
Sebelum Eksas sempat menjawab, Deon tersenyum dan berkata, "Biar Om yang belikan."
Eksas segera menghentikan langkahnya. Ia menatap Deon dengan sedikit ragu. "Tidak usah, Deon. Terima kasih, tapi aku bisa membelikannya sendiri."
Deon tertawa kecil, lalu menggeleng pelan. "Sudah tidak apa-apa. Ini hanya es krim."
Eksas menghela napas, mencoba menenangkan hatinya. "Aku tahu kamu hanya ingin bersikap baik, tapi aku tidak ingin kamu terlalu baik kepada Elzin. Dia bisa salah paham."
Deon memandang Eksas dengan alis terangkat. "Salah paham? Eksas, aku hanya ingin membuatnya senang. Lagipula, bukankah kita sudah menjadi teman?"
Kata-kata Deon membuat Eksas terdiam. Teman. Kata itu terasa asing baginya belakangan ini. Dalam dunia yang penuh sindiran dan prasangka, Deon adalah satu-satunya orang yang mendekatinya tanpa niat buruk.
"Tetap saja," gumam Eksas pelan, menghindari tatapan Deon. "Aku tidak ingin membiasakan Elzin menerima hal seperti ini. Dia harus tahu kalau kebahagiaan itu harus diperjuangkan sendiri."
Deon menatap Eksas beberapa saat sebelum akhirnya tersenyum hangat. "Aku mengerti maksudmu. Kamu ibu yang hebat, Eksas. Tapi tidak apa-apa, sekali-sekali aku hanya ingin membuat hari Elzin lebih manis."
Sebelum Eksas sempat menolak lagi, Deon sudah berjalan menuju penjual es krim dan membeli satu untuk Elzin. Bocah itu melompat-lompat kegirangan sambil menerima es krim dari Deon.
"Terima kasih, Om Deon!" seru Elzin sambil menjilat es krimnya dengan penuh semangat.
Eksas memandang Elzin yang tampak bahagia, lalu mengalihkan pandangannya kepada Deon yang tersenyum tenang. Meski hatinya masih merasa ragu, ia tidak bisa memungkiri bahwa kebaikan kecil ini membawa sedikit kehangatan di tengah hari-hari yang berat.
"Terima kasih," kata Eksas akhirnya, suaranya pelan namun tulus.
Disisi lain, Daffa duduk di dalam mobil hitamnya, matanya terpaku pada pemandangan di luar. Dari balik kaca yang sedikit tertutup, ia melihat Eksas tengah berbicara dengan seorang pria. Mereka tampak berbincang akrab, sesekali diselingi tawa ringan.
Lalu, pandangannya jatuh pada bocah kecil yang berdiri di samping Eksas. Anak itu memegang es krim, wajahnya penuh senyum riang. Adegan itu, sederhana namun entah bagaimana, membuat d4da Daffa terasa berat.
"Kenapa dia selalu muncul di sekitarku?" gumam Daffa pelan, lebih kepada dirinya sendiri.
Ia mencoba mengalihkan pandangan, namun bayangan Eksas yang tersenyum kepada pria lain itu seolah terpaku di benaknya. Rasanya ada sesuatu yang mengusik hatinya, sesuatu yang ia tak mengerti.
Tiba-tiba, d4da kirinya terasa nyeri. Tidak tajam, tetapi cukup mengganggu. Daffa memegang d4danya, ekspresinya berubah serius.
"Pak, Anda baik-baik saja?" tanya sopirnya dengan nada khawatir.
Daffa mengangguk perlahan, berusaha menenangkan diri. "Aku tidak apa-apa. Mungkin hanya lelah."
Namun, pikirannya tak bisa berhenti memutar momen tadi. Kenapa melihat Eksas bersama pria itu membuatnya merasa tidak nyaman? Dan kenapa saat melihat anak kecil itu, ia merasa ada sesuatu yang hilang?
Perasaan ini semakin sulit dijelaskan.
"Besok, jadwalkan pemeriksaan ke rumah sakit," ujar Daffa tiba-tiba kepada sekretarisnya lewat ponsel. "Periksa semuanya, terutama pada bagian d4da."
Setelah menutup panggilan, ia kembali bersandar di kursi mobil. Matanya memandang lurus ke depan, namun pikirannya terus dipenuhi oleh Eksas, bocah kecil itu, dan pertanyaan-pertanyaan yang tak kunjung mendapat jawaban.