episode 5

1287 Kata
Alexander menuang wine ke dalam gelas kristal, kemudian menyesapnya perlahan. Sejenak di meja makan itu, kami terdiam. Aku memperhatikan Alexander, pria itu hanya duduk dan mulai menikmati makanannya. Tanpa sepatah katapun. Dan akhirnya dengan susah payah, aku-pun mulai membuka suara, "ada apa? Apa terjadi sesuatu?" Tanyaku lirih. "Tidak. Semua berjalan dengan baik. Tadi, pergi ke mana saja?" "Oh, aku hanya berjalan-jalan. Temp membawaku ke tempat yang sangat indah. Kau tahu, kami mengunjungi kedai kopi. Di sana, kami bisa memilih kopi yang paling disukai. Apa kau mau pergi ke...." "ALANA!!!!" Alexander meneriakkan namaku dengan cukup keras, membuat sendok yang berada di tanganku terpelanting ke lantai. Jantungku berdegup kencang, rasa terkejut yang begitu besar memenuhi dadaku. "Kau berteriak?" Tanyaku gugup. Alexander menatapku dengan mata membulat, wajahnya memerah dan seluruh tubuhnya gemetar. Aku berdiri dari kursiku, berusaha menghindari tatapan itu. Aku tidak menduga, jika kemarahan Alexander begitu besar. "Ma...maafkan, aku. Apa aku melakukan kesalahan?" Suaraku terdengar serak, aku merasa pria yang berdiri di depanku sekarang, seperti bukan suamiku. Alexander terdiam, meletakkan sendok dari tangannya. Pria itu kemudian berdiri dan berjalan mendekatiku yang masih terkejut. Ia meraih bahuku, tiba-tiba memeluk dengan erat. "Alana, aku tidak mengerti, mengapa Temp membawamu ke kedai kopi. Ia tahu, kalau aku membenci kopi dan melarang istriku menyentuhnya. Apakah ia sedang mencoba melakukan sesuatu?" "Tidak, dia hanya ingin membuatku senang. Dia tahu kalau aku sangat menyukai kopi." Alexander melepaskan pelukannya, "Jadi, kau sangat menyukai kopi?" Aku mengangguk mengiyakan. "Benar, tapi mengapa kau benci minuman itu? Dan kalau kau tidak suka, kenapa aku harus mengikutimu?" "Karena kau istriku, Alana. Kau harus menuruti semua perintahku. Aku akan berikan semua yang kau mau, asal kau menurut kepadaku." "Jadi, aku harus membuang semua yang kusukai, jika kau tidak menyukainya?" Tanyaku Datar. "Alana, dengar. Aku tidak bermaksud menekanmu. Tapi aku hanya ingin kau berada di jalur yang sudah kutetapkan. Semua itu untuk kebaikanmu, sayang. Kumohon kita jangan bertengkar hanya karena masalah kopi. Kau ingin tahu kenapa aku benci minuman itu?" Aku terdiam, berusaha membuang rasa kesal di hatiku. "Kopi itu hampir saja merenggut nyawaku, Alana." Aku terkesiap mendengar penjelasan Alexander. Memandang wajah pria yang berdiri di hadapanku dengan nanar. Aku tidak bisa menyalahkan siapapun jika itu alasannya, Alexander - ia mengalami trauma karena minuman itu. "Itulah mengapa, aku melarangmu menyentuh minuman itu. Karena aku bisa mencium aromanya." Alexander mendekat, mengecup keningku dan mengusap pipiku yang memerah, "Aku sangat mencintaimu, Alana." "Aku akan kembali ke kantor, sekarang. Aku meminta Temp untuk membawa mobil. Apa kau berencana pergi sore ini?" "Tidak. Aku akan tinggal di rumah sampai kau pulang." Sahutku. "Baiklah, kau bisa istirahat, sayang. Aku akan segera mendaftarkanmu kuliah, kau akan masuk kelas siang sampai sore, selama aku bekerja. Sehingga tidak akan menggangu waktu kita." "Tunggu, haruskah aku kuliah di sana? Maksudku usiaku sudah dua puluh tujuh tahun. Haruskah aku berdampingan dengan anak-anak itu?" Alexander terkekeh, bukan. Tapi pria itu tertawa terpingkal. "Kenapa aku tidak memikirkannya. Kalau begitu, bagaimana jika privat saja? Aku akan mencari pengajar terbaik untukmu. Kau tetap bisa mendapatkan ijazahmu nanti." "Kurasa itu jauh lebih baik, aku hanya perlu belajar, bukan?" "Baiklah, sayang. Aku kembali ke kantor. Aku ingin makan malam denganmu nanti." Aku mengangguk, mengantarnya sampai ke pintu. Temp menatapku dari halaman, kemudian masuk ke dalam mobil setelah Alexander. "Nyonya, anda ingin makan apa untuk makan malam?" Tanya seorang pelayan muda, begitu aku menutup pintu. "Siapkan saja hidangan yang disukai suamiku, selera kami berbeda." Aku beringsut masuk ke dalam kamar, meninggalkan pelayan yang berdiri dengan tatapan bingung. ............. Sementara itu, di jalanan yang basah karena hujan beberapa menit yang lalu, Alexander terus menatap Temp Dari spion mobil. Temp tahu pasti, jika pria yang duduk di belakang sedang menatapnya dengan marah. "Tuan, ada apa?" Tanya Temp perlahan. "Seharusnya aku yang bertanya, apa yang sudah kau lakukan dengan istriku?" Suara Alexander terdengar serak. Jelas ia sedang menahan diri. "Apa maksud, Tuan? Saya hanya membawa Nyonya Alana jalan-jalan. Dia merasa jenuh di rumah, dan kami pergi melihat taman. Itu saja." Jelas Temp ragu. "Itu saja? Kau yakin?" "Benar, Nyonya ingin menikmati kopi kesukaannya, jadi saya membawanya ke sebuah kedai kopi tidak jauh dari taman itu. Maafkan saya, Tuan." "Apa kau mulai ingin melawanku, Temp?" "Saya tidak mungkin melakukan itu, Tuan. Anda sangat baik kepada saya. Bahkan saya sama sekali tidak berpikir demikian." "Lalu kenapa kau membawa Alanaku ke tempat itu? Apa tujuanmu?" "Tidak ada, Tuan. Nyonya bilang dia menyukai kopi. Saya hanya ingin membuatnya senang. Itu saja. Saya sudah mengatakan itu, bukan?" "Jadi, kau ingin menyenangkan istriku?" "Sudah tugas saya sebagai pengawal Nyonya Alana, Tuan." Jawab Temp sopan. Alexander melempar pandangannya ke luar jendela, "aku mempercayaimu. Jadi jangan melakukannya lagi." "Baik, Tuan. Saya berjanji." Temp tersenyum kecil, lebih tepatnya membentuk sebuah seringai. Mata tajam Temp menatap Alexander dari spion, terlihat mata cokelat itu berkilat dan mengisyaratkan sesuatu. Alexander turun tepat di depan Gedung kantornya, tiga orang pria berbaju hitam sudah menanti di sana. Membukakan pintu mobil, dan berjalan di belakang Alexander. Temp menatap punggung Alexander, pria itu dengan gagah berjalan melewati semua orang yang menundukkan kepala. Temp tersenyum miris, terlihat guratan kebencian di wajah pria itu. 'Jangan cemas, Tuan. Aku akan membuatmu sangat mempercayaiku.' Gumam Temp sembari meninggalkan gedung berlantai tujuh milik Alexander. ........ "Apa proposalnya sudah siap?" Tanya Alexander kepada pria di sampingnya. "Sudah, Tuan. Anda bisa memeriksanya terlebih dahulu." "Letakkan di mejaku. Lalu apa orang itu bersedia melepaskan tanahnya?" Tanya Alexander sembari duduk di mejanya. "Kami belum berhasil, Tuan." Alexander meremas kertas di meja kerjanya, "apa yang kurang? Bukankah aku sudah menawarkan uang yang cukup besar untuk membeli kebun itu? Kita harus mendapatkannya, kita harus menghasilkan sari gula sendiri." "Saya mengerti, Tuan. Tapi orang itu bersikeras tidak menjual kebunnya. Apa yang harus saya lakukan?" "Apa aku harus melakukannya dengan tanganku sendiri?" Geram Alexander. "Tidak, Tuan. Kami yang akan melakukannya." Pria itu menundukkan kepala, kemudian keluar dari ruangan Alexander. "Bodoh. Hal kecil saja tidak bisa. Benar-benar mengecewakan." Gumam Alexander. Alexander meneguk wine-nya, dan kembali duduk dengan proposal di hadapannya. Alexander, pria itu sudah belasan tahun bergelut dengan dunia bisnis. Sebenarnya bukan hanya pabrik gula yang ia miliki, namun ada bisnis-bisnis lain yang keberadaannya tertutup rapat. Alexander mendirikan sebuah club' di balik restoran bintang lima, di dalam club' itu para pejabat daerah dan pengusaha besar berkumpul. Mereka bisa melakukan transaksi apa saja, termasuk wanita! Alexander memiliki banyak koneksi yang cukup untuk melindungi bisnisnya. Bisnis ilegal di dalam bisnis yang legal. Siapa yang akan mencurigai tindakannya itu? Uang dapat menjadi solusi bagi segala urusannya. Dan Alexander tidak akan pernah kekurangan dari segi materi. Uang terbesar yang ia dapatkan sebenarnya berasal dari club' tersembunyi itu. Pabrik gula hanya sampingan kecil bagi Alexander, untuk menutupi bisnisnya yang lain. 'Aku membutuhkan kebun itu untuk menanam Hydrangea. Setidaknya, aku akan membuatnya berdampingan dengan tanaman sari gula'. Pikir Alexander disela tawanya yang mengerikan. Alexander mengusap bibirnya dengan ujung jari, menyesap rasa yang membuatnya tersenyum puas. "Panggil wanita itu kemari!" Perintahnya dari sebuah telepon. Tak lama kemudian, datang seorang wanita muda dengan mini dress yang melekat di tubuhnya. Wanita itu tersenyum, setelah melenggang indah di hadapan Alexander. "Diam di situ, dan jangan mendekat!" Perintahnya kepada wanita yang berniat mendekati Alexander. Wajah wanita itu berubah suram, ketika mendengar ucapan Alexander. "Bagus. Malam ini kau akan bekerja di belakang restoranku. Pegawaiku akan menunjukkan tempatnya. Dan, jika kau sampai memberitahu orang lain tentang keberadaan club' itu, maka besok aku pastikan kau tidak akan melihat matahari. Apa kau mengerti?" Wanita itu menatap Alexander dengan takut, dan akhirnya mengangguk setuju. "Jangan cemas, aku membayarmu dengan mahal. Kau hanya perlu melakukan tugasmu dengan sangat baik. Jangan kecewakan klienku. Jangan sampai aku mendengar keluhan sedikitpun dari mereka. Pergilah, temui pengawalku. Dia akan mengantarmu." "Baik." Wanita itupun pergi, jelas terlihat jika tubuhnya gemetar ketika berhadapan dengan Alexander.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN