episode 6

1072 Kata
Malam ini, hujan kembali mengguyur bumi. Petir menyambar, kilat seolah sedang berlomba-lomba menunjukkan kekuatannya. Aku menatap ke luar jendela kamar, mungkin sudah yang kelima kalinya untuk duapuluh menit terakhir. Ya, aku menunggu Alexander. Rasa cemas mulai meliputi dadaku. Hujan petir malam ini berhasil membuatku merindukan Alexander. Aku meraih ponselku, mencoba menghubungi Alex. Namun hanya nada sibuk yang terdengar. Dan akhirnya, aku memilih menghubungi Temp. Temp, dimana suamiku? Ada, Nyonya. Kami sedang dalam perjalanan. Kenapa teleponnya sibuk? Benar, Tuan sedang menelepon seseorang. Sebentar lagi kami sampai. Aku menutup telepon. Entah mengapa mendengar suara Temp, perasaanku menjadi lebih tenang. Aku beranjak ke luar kamar, dan berjalan menuju pintu keluar. Membuka pintu itu dan memilih duduk di teras rumah, menunggu Alexander. "Nyonya, makan malam sudah siap." Kata seorang pelayan yang menghampiriku di teras. "Terimakasih." Jawabku singkat tanpa melihat pelayan itu. Tak berapa lama kemudian, aku melihat penjaga gerbang berlari ke luar, dengan sigap membuka gerbang itu. Dan mobil Alexander meluncur dengan gesit ke halaman rumah. Kepala pelayan Berlari membawa payung, dan berjalan di belakang Alexander dengan payung besarnya itu. Aku menatap semua peristiwa itu, sesaat merasa kagum terhadap pria yang menjadi suamiku. Sebegitu besarnya pengaruh Alexander terhadap orang-orang itu. Dia terlihat memiliki wibawa yang besar. Alexander berjalan ke arahku, tersenyum. Dan Temp masih berdiri di samping mobilnya, dengan payung hitam. "Eemm, Alex, apa sebaiknya Temp masuk juga ke dalam?" Tanyaku dengan lirih. Alexander menoleh ke belakang, melihat Temp yang masih berdiri di sana, pria itu kemudian mengangguk, sebagai isyarat untuk Temp. Temp dengan cekatan berjalan menghampiri Alexander, menutup payung dan meletakkannya di kotak payung di sisi pintu. "Tuan, memanggil saya?" Kata Temp. "Masuklah sampai hujan reda. Atau kau bisa menginap di kamar tamu jika mau." Tukas Alexander dan berjalan sembari memeluk pinggangku masuk ke dalam rumah. "Terimakasih, Tuan." ...... "Kenapa kau di luar, sayang? Bagaimana kalau kau sakit?" Kata Alexander setelah kami masuk ke dalam kamar. Pria itu melepas jas-nya dan kembali memelukku erat, sesekali ia mengecup bahuku yang terbuka. "Apa kau merindukanku?" Aku tersenyum membalas ucapannya, mengusap lengan kekar yang melingkar di pinggangku. "Aku cemas, karena kau belum kembali di saat cuaca seperti ini." "Kau memang istri yang baik, sayang. Tidak salah aku memilihmu." "Sebenarnya, itu juga yang ingin kutanyakan." "Soal apa?" Alexander melepaskan pelukannya, dan membuatku berbalik ke arahnya. "Kenapa kau memilihku, diantara wanita-wanita cantik itu? Sebagai pengusaha besar, kau pasti memiliki banyak relasi, bukan?" Mataku menatap manik mata Alexander, dan pria itu membalasnya dengan sebuah kecupan di bibirku. "Karena kau berbeda, Alana. Kau pasti mencintaiku dengan tulus, bukan? Wanita-wanita itu tidak demikian. Mereka memiliki tujuan, dan itu bukan cinta." Aku menelan sativaku. Jadi, itu jawaban Alexander? Mereka memiliki tujuan? Tapi aku-pun memiliki tujuan. Aku ingin meninggalkan kehidupan yang penuh penderitaan. Aku ingin mereka melihat siapa Alana sekarang, aku ingin mereka terkejut dengan kehidupanku yang baru. "Ada apa, Alana? Apa aku salah?" Tanya Alexander sembari mengusap pipiku. "Tidak. Kau...tidak salah." Alexander memelukku sekali lagi, mengusap rambutku yang tergerai, "aku tahu, aku memilih istri yang tepat. Yang kubutuhkan hanya cinta yang tulus. Dan kau juga tahu, aku sangat...sangat mencintaimu." Alexander meraih tanganku, perlahan membawaku masuk ke dalam kamar mandi. Aku menghentikan langkahku, menatap Alexander dengan senyum di wajahnya. "Ada apa, sayang?" Tanya Alexander yang melihat kebingungan di wajahku. "Kau mau mandi?" "Ya, aku baru pulang, tentu aku harus mandi." Kata Alexander terkekeh. "Tapi, kenapa kau membawaku ke dalam? Aku sudah mandi tadi." "Alana, sayang, aku ingin mandi bersamamu. Bukankah itu menyenangkan?" "Tapi...aku..." Alexander tersenyum, tanpa perlu jawaban, ia menarik tanganku dan menutup pintu kamar mandi. ................ Aku melingkarkan handuk ke tubuhku, dan Alexander terlihat sedang mengusap rambutnya yang basah. Pria itu sesekali terlihat menatapku dengan mata sayunya, kemudian tersenyum kecil. "Terimakasih, Alana. Kau cantik sekali dengan rambut basah seperti itu." Ucap Alexander seraya meraih t-shirtnya. "Pelayan sudah menyajikan makan malam. Kita keluar sekarang?" Tanyaku setelah selesai menggenakan dress pendek. "Ayo," Alexander meraih pinggangku, dan berjalan menuju meja makan. Di sana, di ruang tamu aku melihat Temp sedang duduk sembari memainkan ponselnya. Ujung rambut pria itu basah karena hujan, sesekali menetes ke wajahnya yang tampan. "Alana, ada apa?" Suara Alexander mengejutkanku. Tanpa kusadari aku sudah menatap Temp begitu lama. "Oh, bagaimana kalau dia ikut makan malam?" Kataku tanpa melihat Alex. "Sayang, pelayan akan membawa makan malam untuknya. Meja makan-ku hanya untuk kita berdua, dan untuk anak-anak kita nanti. Kau mengerti?" Aku tidak menjawab lagi, aku sepenuhnya mengerti jika Alexander sedang membuat batasan diantara kami dan para bawahannya. Mungkin, karena hal inilah ia menjadi pribadi yang sangat disegani. "Sediakan makan malam untuknya, biarkan dia makan di meja makan pelayan." Perintah Alexander kepada kepala pelayan yang sedang menuang anggur untuk mereka. Tak lama kemudian, aku melihat Temp berjalan mengikuti kepala pelayan itu, dan aku yakin, saat itu pula Temp sedang menatapku. Ada perasaan sedih, ketika melihat Temp harus makan bersama para pelayan itu. Bagaimanapun juga, kehadiran Temp sudah membuatku merasa lebih baik. Temp menjadi satu-satunya temanku di istana ini. "Alana, kenapa kau begitu perhatian padanya? Apa terjadi sesuatu?" Pertanyaan Alexander cukup membuat jantungku berhenti sesaat. Aku mengalihkan pandanganku dari Temp, menatap Alexander yang kini menatapku dengan tajam. Sungguh ada kengerian luar biasa dengan tatapan itu. "Tidak, apa maksudmu? Aku hanya peduli padanya karena dia pengawalku." "Kau harus memiliki batasan dalam bergaul, Alana. Kau istriku. Dan seorang istri tidak layak menatap pria lain dihadapan suaminya sendiri." "Demi apapun juga, Alex. Aku tidak seperti itu. Haruskah kita bertengkar setelah apa yang terjadi?" "Dengar, aku memiliki peraturan yang harus ditaati. Termasuk juga olehmu, Alana." Suara Alexander terdengar penuh penekanan. Aku menarik napas dalam-dalam, terkejut dengan kalimat yang baru saja kudengar. ........... Aku membuka gorden jendela kamar, dan melihat Temp sedang berbicara dengan kepala pelayan di halaman. Sebelum akhirnya, pria itu masuk ke dalam mobil dan pergi di tengah hujan lebat. Setelah makan malam tadi, Alexander memutuskan kembali ke ruang kerjanya. Dia pergi begitu saja tanpa mengucapkan apapun kepadaku. Dan, aku yakin semua itu karena kesalahan yang tidak sengaja kulakukan. Aku kembali menutup gorden, dan meraih ponselku. Menelusuri nama-nama dengan ujung jari, dan berhenti pada nama Temp. Kenapa pria itu pergi di tengah hujan lebat seperti ini? Bukankah Alexander sudah memintanya untuk tinggal? 'Temp, kau pergi?' 'Benar, Nyonya. Terimakasih sudah memperhatikan saya.' 'Tapi hujan sangat deras, kenapa tidak tinggal saja?' 'Ini bukan pertama kalinya bagi saya. Besok saya datang, Nyonya.' 'Aku mencemasmu, Temp.' Hening.... Tidak ada jawaban lagi setelah aku mengirim pesan itu.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN