episode 7

1258 Kata
Aku masih menatap ponselku, menunggu. Namun memang tidak ada jawaban dari Temp. Sepuluh menit, lima belas menit. Bahkan satu jam. Apakah aku salah telah mengutarakan isi hatiku, jika aku memang mencemaskannya? Aku tidak tahu bagaimana caranya menutupi perasaan ini, aku bahkan seolah tidak peduli dengan siapapun. Di sisi lain, aku mengagumi suamiku, namun sikapnya yang mudah berubah membuatku risau. Apakah Alexander benar-benar mencintaiku? Kehadiran Temp yang hangat, seolah menawarkan persahabatan bagiku. Dan jiwaku selalu menginginkan kehadirannya. Aku kembali membuka ponselku, menghapus pesan yang tadi kukirim untuk Temp. Aku hanya tidak ingin terjadi kesalahpahaman diantara mereka. Setidaknya untuk saat ini. Aku menatap jam dinding dengan ukiran kayu, waktu sudah menunjuk pukul sebelas malam. Akankah Alexander menginap di ruang kerjanya? Benarkah pria itu masih marah karena aku memperhatikan Temp? Aku meraih cardigan di sisi tempat tidur, merapatkannya di tubuhku. Membuka pintu dan berjalan menuju dapur. Ruangan itu sudah gelap, sepertinya semua pelayan sudah masuk ke dalam kamarnya masing-masing. Aku berniat membuat teh hangat untuk Alexander, dan membawanya ke ruang kerja pribadinya. Setidaknya untuk memperbaiki hubungan kami. Dengan perlahan, aku-pun berjalan menghampiri ruang kerja itu. Di sana, terlihat Alexander masih berkutat dengan berkas-berkasnya. "Kau masih bekerja, Alex?" Tanyaku seraya meletakkan teh di hadapannya. "Hmm. Kau belum tidur?" "Aku sengaja menunggumu, apa pekerjaan itu tidak bisa ditunda hingga besok?" Alexander meraih cangkir teh, menyesapnya perlahan. Dan menghembuskan udara melalui mulutnya, "teh buatanmu sangat enak. Terimakasih." "Kau masih marah, Alex?" Alexander meletakkan cangkir itu, kini tatapannya beralih kepadaku. "Apa kau telah melakukan kesalahan?" Aku menarik napas panjang, menyentuh bahu Alexander yang kekar, "aku tidak berniat membuatmu marah, aku hanya ingin bersikap baik kepadanya. Bukankah dia orang yang sangat kau percayai, melebihi siapapun?" "Aku mengerti, tapi suami mana yang tidak cemburu jika istrinya menatap pria lain seperti itu?" "Maafkan, aku. Sungguh." "Dengar, Alana. Aku menikahimu karena kau berbeda. Aku mencintaimu dengan segenap hatiku. Jadi, bisakah kau juga menjaga hatimu hanya untukku?" Aku berusaha mencerna kalimat itu, mungkinkah saat ini Alexander mulai curiga kepadaku? Sehingga dia mengatakan itu? Tapi, apa yang telah kulakukan? Aku tidak sedang menghianatinya, bukan? "Aku tidak sedang berhianat, Alex." Kataku dengan lirih. "Aku tahu, saat ini kau tidak begitu. Tapi bisakah kau selalu setia kepadaku?" "Kau meragukannya?" Alexander berdiri dari kursinya, merapikan semua berkas-berkas itu, dan meneguk teh hingga habis. "Ayo, kita tidur, Alana." Kata Alexander setelah menyodorkan cangkir teh kepadaku. Pria itu kemudian berjalan mendahului, sedikitpun tidak melihat ke arahku. "Matikan lampunya. Aku lelah sekali, besok ada meeting dengan para klien. Jangan lupa bangunkan aku pagi-pagi." Tukas Alexander seraya merebahkan diri dan menarik selimut hingga ke d**a. Pria itu memejamkan matanya, dan tidur membelakangiku. Baru kali ini, setelah hampir satu bulan pernikahan kami, ia membuatku seolah tidak ada. Jemariku bergerak, ingin menyentuh tubuh yang kini berada di sampingku. Namun keinginan itu terhenti karena rasa takut yang menjalar di dadaku. Jadi, seperti inikah Alexander ketika keinginannya tidak terpenuhi? ........... Cahaya mentari pagi menerpa wajahku, gorden jendela kamar sudah setengah terbuka. Aku meraba sisi tempat tidur, kosong. Dan waktu menunjukkan pukul tujuh pagi. Tidak biasanya, Alexander bangun sepagi ini. Kalaupun ada meeting, itu akan dimulai pukul sembilan pagi. Aku berlari kecil ke luar kamar, bahkan masih dengan gaun tidur diatas lutut. "Di mana Tuan?" Tanyaku ketika berpapasan dengan seorang pelayan. "Tuan sudah berangkat, Nyonya." Aku terperangah, tidak percaya dengan ucapan pelayan itu. Alexander bahkan tidak membangunkan-ku? Aku berlari menuju halaman, membuka pintu itu sedikit. Dan benar, mobil Alexander tidak ada di garasi depan. "Tunggu....!" Teriakku kepada pelayan yang hendak menuju dapur, "Apakah Tuan pergi sendiri? Dia tidak membawa pengawal dan sopir?" "Benar, Nyonya. Tuan pergi tergesa-gesa. Dia membawa sendiri mobilnya." Aku memejamkan mata sesaat, kemudian kembali ke dalam kamarku. Tidak butuh waktu lama untuk bersiap-siap, setelah semua cukup, aku-pun meraih tas tangan yang tergeletak di meja rias. Dan dengan cepat berlari ke halaman. "Di mana Temp?" Tanyaku kepada penjaga gerbang dengan napas memburu. "Dia belum datang, Nyonya. Ini masih pukul tujuh pagi." "Telepon dia sekarang!" Perintahku kepada penjaga gerbang itu. Beberapa menit kemudian, aku melihat mobil Temp memasuki halaman. Dan dengan tergesa-gesa, aku berlari menuju mobil itu. Temp dengan wajah panik, keluar dari mobil dan menghampiriku. "Nyonya, ada apa? Anda terlihat pucat." Aku meraih pergelangan tangan Temp, "Temp, Alexander sangat marah padaku. Dia bahkan pergi pagi sekali tanpa memberitahu." Temp menoleh ke arah pergelangan tangannya, dan dengan lembut melepaskan tanganku dari sana. "Lalu apa yang anda inginkan, Nyonya? Anda meminta saya datang sepagi ini?" "A...Aku, aku mencemaskan suamiku." Kataku terbata. "Tapi semalam anda mencemaskan saya, bukan?" Temp tersenyum, dan membuka pintu mobil, "sebaiknya kita pastikan apakah Tuan baik-baik saja. Dengan begitu anda akan tenang." Aku mengangguk, dan perkataan Temp tadi membuat wajahku memerah. "Terimakasih, anda mencemaskan saya. Tapi pesan yang anda kirim tadi bisa membuat seorang pria salah paham." Kata Temp sembari menjalankan mobilnya. "Aku mengerti, Alexander sangat marah karena aku...." Aku menghentikan kata-kataku, ketika Temp menatapku dari spion mobil. "Apakah itu karena saya?" Aku tersenyum kecil, menanggapi pertanyaan itu. "Entahlah." Sinar matahari pagi menembus awan putih di atas sana. Cahayanya yang hangat menerpa kulit tubuhku yang dingin. Aku membuka kaca mobil, membiarkan angin pagi menyentuh wajahku. "Jadi, benar karena saya." Temp mengulang kalimatnya. "Aku tidak bisa menghindarinya, Temp." Temp menepikan mobilnya, pria itu menoleh ke belakang, menatapku dengan senyum melengkung dari bibirnya. "Apakah kehadiran saya menganggu anda, Nyonya?" "Apa yang kau katakan, Temp? Kau adalah orang pertama yang bisa kuajak bicara. Akhir-akhir ini Alexander terlalu sibuk. Bahkan di malam hari, ia terus saja bekerja. Dan sejak tadi malam, ia mengabaikanku. Kau tahu, aku bahkan hidup sendiri di kota ini. Sejak aku memutuskan keluar dari rumah untuk menjalani hidupku sendiri." "Maaf, saya tidak tahu soal itu. Tapi Tuan, dia memang pekerja keras. Dia akan melakukan segala cara untuk berhasil. Nyonya, mungkin suatu hari nanti anda akan melihat segalanya." "Aku tidak mengerti?" "Tidak masalah. Karena seiring berjalannya waktu anda akan mengerti." Temp kembali melajukan mobilnya, menelusuri jalanan yang masih sepi. Jalan menuju gedung kantor milik Alexander cukup lenggang. Di kanan kiri jalan ditumbuhi pohon Pinus yang tinggi menjulang, menambah udara sejuk pagi itu. Tepat pukul tujuh tiga puluh menit, mobil Temp berhenti di depan gedung tinggi itu, berderet dengan mobil lainnya. Aku turun dari mobil, setelah Temp membukakan pintu untukku. Dan bergegas masuk ke dalam gedung. "Nyonya, tunggu....!" Seru Temp yang berlari kecil mengejarku. "Kau ikut?" Tanyaku sembari menghentikan langkah. Temp mengangguk, "anda tidak bisa masuk begitu saja, Nyonya." "Apa?" "Siapapun harus melapor terlebih dahulu." "Termasuk aku?" "Benar. Tidak terkecuali anda. Mari." Dengan berat hati, aku akhirnya mengikuti Temp. Berjalan menuju meja seorang wanita yang tak asing bagiku. Wanita itu langsung berdiri dari kursinya begitu melihat kedatanganku, ia berusaha tersenyum dengan wajah yang tak kalah terkejutnya. "Selamat pagi, Nyonya Alana. Anda datang?" Sapa wanita itu, yang tak lain adalah Zera. Sekretaris pribadi Alexander. "Hai, aku mencari suamiku. Apa dia di gedung ini?" Zera mengerutkan keningnya mendengar pertanyaan itu, dan sepertinya Temp dengan cepat memberi kode dibelakangku. "Tuan ada di ruangan meeting. Maaf, saya tidak bisa memberi tahu soal kedatangan anda sampai meeting itu selesai." Aku menatap Zera, mencoba memahami kalimatnya. "Bahkan jika itu aku?" "Benar, Nyonya. Anda bisa minum sesuatu jika mau, sambil menunggu Tuan. Ah, bagaimana jika saya membawa anda ke ruang kerjanya. Setelah pertemuan itu selesai, Tuan biasanya akan masuk ke ruang kerjanya." Aku menelan sativaku, menatap Temp dengan mata yang hampir berkaca-kaca. Temp yang melihat semua itu, hanya mengangguk setuju. Kemudian kami berjalan di belakang Zera menuju ruang kerja Alexander. "Silakan, Nyonya. Saya akan membawa minuman untuk anda." Zera keluar meninggalkan kami dengan wajah bingun
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN