***
Hari ini, setelah dua tahun hanya berdua di rumah sebagai ibu rumah tangga, aku putuskan untuk kembali bekerja dan membangun kembali karierku yang sempat 'mandeg' karena keinginan mas Aldo yang memintaku untuk serius mengurus rumah dan melahirkan buah hati.
Ada rasa miris ketika mengeja kata buah hati, hatiku bagai disayat begitu mengingat jika rumah ini begitu sepi, hanya dinding dan pantulan suara detak jarum jam sepi dan hampa. Tidak ada tawa atau rengekan kecil yang akan mewarnai hari, tidak ada tangis dengan mata mengiba tulus, memintaku untuk membawanya ke dalam peluk atau kugendong dengan penuh kasih. Ah, aku merindukan anak, anak buah cinta kami, aku dan mas Aldo.
Kuhela napas kasar,
***
Kicau burung dan cahaya mentari yang membias menyadarkan lamunanku. Dari semalam, sejak aku kembali dari rumah wanita itu, aku hanya termangu di ruang tamu menatap nyalang pada pigura yang menampilkan photo pernikahan kami, dengan ekspresi paling indah, bahagia.
Kontras kalimat cinta dan setianya dengan pemandangan yang aku saksikan semalam. Ketika kubuka pintu rumah,seketika bayang kebahagian dan canda kami berkelebat dan menari-nari di sekitarku, bagaimana kami berbagi suka dan duka, peluk dan tawa.
Kuarahkan pandanganku ke pigura itu, dan begitulah aku hanya terpaku hingga matahari terbit, bagaimana aku akan menumpahkan kekesalanku? bagaimana aku selanjutnya ... Apakah akan mempertahankan rumah tanggaku? bagaimana juga aku akan mengatasi wanita itu? semua tanya dan pikir itu saling bergantian dan berputar-putar seperti rekaman yang di-rewind.
Bahkan hendak menangis rasanya air mata ini sudah kering. Perut yang terasa pedih karena lapar dan tenggorokan yang kering oleh lelah tak membuatku bangkit untuk mencari pengganjalnya. Masih di sini, bergeming di depan pigura, di antara rasa sakit dikhianati dan dibodohi.
Treek ..
Suara handel pintu diputar, daunnya bergerak dan suamiku ada di balik pintu. Ia memasuki rumah dengan pandangan yang heran sekaligus terkejut melihat penampilanku.
"Sayang, ada apa? Ka-kami kenapa, kenapa kamu kacau seperti ini?" Ia menghampiri kaget melihat wajah sembabku dan rambutku yang sudah seperti singa merana.
"Aku gak apa-apa," jawabku dingin sambil menepis tangannya, sejurus kemudian aku bangkit menuju kamar mengganti pakaian dan merebahkan diri di ranjang.
Mas Aldo menyusulku dan duduk di tepi ranjang tempat aku berbaring.
"Kenapa sayang, kamu sakit ya? Maaf ya aku gak pulang semalam, ketiduran di rumah teman."
Hah, bohong lagi!
Aku tidak menanggapinya, aku lelah. Lelah hati, tubuh dan jiwa. Lebih baik aku beristirahat saja.
***
Hari sudah sore ketika aku terbangun, perlahan beringsut dari pembaringan, menuju kamar mandi membersihkan diri. Saat aku tengah mengambil handuk, kulihat suamiku sedang mondar-mandir sambil berbicara di ponsel.
"Alexa, sorry, aku gak bisa datang sore ini, sepertinya Dewi sedang sakit, sorry banget,"
Ia berbicara sambil sesekali mengacak rambut dan menggigit bibir bawahnya.
"Iya ... Aku ngerti sayang, tapi istriku juga butuh aku temani, dia lagi sakit," ucap suamiku.
"Begini saja, besok aja ketemuannya ya, Dewi gak nyari perhatian, kok. Dia memang kelihatan sakit. Iya ... Tenang aja sayang, ntar kuurus semuanya. Ok? Daah."
Suamiku menutup ponselnya lalu masuk, aku segera mandi dan segera mengganti pakaian. Berusaha sekuat mungkin bersikap biasa saja.
Dan ya, apa tadi wanita itu menyebutku? Cari perhatian?
Hmm, akan kutunjukkan padanya, bagaiman ia akan mencari bantuan dan perhatian dalam arti yang sebenarnya.
**
Kudadar telur dan memanggang empat potong toast lalu menuangkan dua gelas jus, sementara menunggu pesanan dari Gofood, aku akan menghidangkan selingan ini dan secangkir kopi untuknya.
"Mas Aldo, ayo makan." Aku memanggilnya.
Ia segera bangkit dari rumah tivi dan menemui ku di meja makan.
"Kamu sudah baikan sayang? Kalo masih gak sehat, gak usah merepotkan diri, deh."
"Gak, aku baik baik saja," sangkalku.
Kami lalu menikmati makanan tanpa banyak bicara, tenggelam dalam kebisuan saja.
"Eh, tumben diam," godanya sambil mencolek lenganku.
Aku hanya menyunggingkan senyum tipis diantara kekesalan dan sakit hatiku.
*
Sore ini kuputuskan untuk pergi ke pusat kebugaran, hari Sabtu memang jadwalku berolah raga di pusat fitness langgananku.
Sedang asyik berjalan di treadmill ketika seorang wanita menyapa.
"Hai, boleh nge-tread di sini," tanyanya.
"Boleh silahkan," jawabku masih sibuk berlari sambil memperhatikan layar treadmill.
Ketika kutolehkan wajah wanita yang memakai baju olah raga slimfit pink itu, melempar senyumnya.
Ingin kuraih barbel dan kuhempas di kepalanya saat ini juga, namun, ... Ah sayang.
"Alexa, tunggu balasan gue," batinku.
Tak lama berselang, wanita bertubuh seksi itu, sudah membaur dengan anggota lain di klub fitness. Ia menyapa dan bergaul bagai ratu sejagad yang sok cantik.
Aku memaklumi, ia wanita kelas menengah yang baru mencicipi kemewahan dari uang suami orang, seperti terbang ke angkasa dan merasa pantas menggunakan semua fasilitas ala orang kaya. Ha ha, memalukan.
"Eh, Jeng Alexa, selamat bergabung di klub kami," sapa salah seorang teman kami.
"Eh, iya, makasih," sambutnya.
"Jeng Alexa cantik ya," puji wanita itu lagi.
"Iya dong Bu, kalo gak cantik ntar suami saya lari, dan mencari wanita yang lebih hot, cantik dan memuaskan, heheh," jawabnya sambil meringai dan melirik samar ke arahku.
Aku mengerti ia tengah menyindirku, istri dari kekasihnya. Daripada aku kegerahan dengan ucapannya, kuputuskan untuk mengganti pakaian dan pulang.
Ketika mengganti pakaian dan membereskan tasku, wanita binal itu menyusul dan kebetulan sekali, aku hanya sendiri di ruangan itu.
"Eh, sudah mau pulang ya, Mbak," katanya sok dekat.
Aku membalik badan dan menatapnya tajam. "Kenapa? Memangnya kenapa?" tentangku sambil melotot ke arahnya.
"Gak usah ngegas kali, Mbak. Santai aja, aku kan, gak menyinggung Embak," jawabnya santai.
"Enak ya, menikmati fasilitas sebagai simpanan seorang pengusaha," sindirku.
Ia yang tengah mencuci mukanya, berhenti sesaat dan bangkit menghampiriku.
"Ngomong apa kamu? Berani sekali, dasar perempuan tidak berguna," cecarnya dengan lantang.
Aku tersenyum dan seketika saja, kulayangkan tendangan tinggi ke wajahnya.
Bugh ...
Ia yang tidak sigap dengan aksiku langsung tersungkur dalam posisi menelungkup.
"Arrggg ... ," teriaknya, namun tak seorangpun mendengar.
Sebelum ia sempat bangkit, kuhampiri dan kuinjak pahanya dari belakang lalu kutarik kunciran rambutnya hingga ia memekik kesakitan.
"Aw, awwg .. hentikan ... Stop ... Sa-sakit.. ih," rintihnya.
"Masih ingin menghina saya?" tanyaku sambil terus menarik rambutnya dengan kasar.
"A-a ... Gak lagi, mbak," ratapnya.
"Ingat ... Saya tidak lemah, saya akan memberimu pelajaran terhadap apa yang telah berani kamu lakukan pada rumah tangga saya, dasar wanita jalanan!" ucapku sambil melepasnya kasar.
Kutinggalkan ia dengan posisi dan wajah yang masih shock dan pias.
"Hmm, ini baru permulaaan ... tunggu lanjutannya.' kepenatan yang hampir menyesakkan dadaku. Memejamkan mata, lalu meresapi bahwa mungkin apa yang di perbuat mas Aldo hanyalah bentuk kebosanannya akan hubungan yang datar ini? Ataukah, mungkin dia tidak mencintaiku lagi?.
Seseorang telah mengetuk hatinya dengan keras , mendobrak paksa dan masuk, lalu menghapus namaku di sana.
Jika benar, maka bisa jadi aku akan berakhir menggigit bibir saja.
Mungkin Dunia berkata, "mengapa harus sedih, ada banyak cinta di tiap sudut bumi, mengapa harus menyiksa diri dengan rasa yang bertepuk sebelah tangan? Mengapa begitu naif dan bodoh? Mengapa ... .
Aku tak punya jawabannya, karena hanya satu yang pasti, aku tak akan bisa hidup tanpanya. Katakanlah aku b***k cinta, katakan saja! Memang, sungguh aku mencintai suamiku. Cinta dalam hidupku.
Bangkit dari lamunan dan beranjak ke dapur. Aku memang merana tapi tak akan kubiarkan rasa nelangsa membuat asam lambungku semakin parah. Kubuka kulkas mengeluarkan sayur dan beberapa potong ayam untuk kumasak sebagai hidangan makan malam.
Ketika asyik mengolah makanan, rupanya suamiku sudah datang dan berdiri di pintu dapur.
Dengan tatapan melelehkan dan senyum terindah ala dia, dua hal yang selalu membuatku jatuh cinta tiap harinya. Ia mendekatiku dan memelukku.
"aku rindu," bisiknya dengan bibir yang ia tempelkan di telingaku, membuatku irama jantungku lebih cepat dan menimbulkan gelenyar-lenyar rasa ... yang membangkitkan ... ya, aku wanita dewasa yang merindukan belaian dan kasih sayang dari seorang suami.
Ia memandangku begitu dalam hingga aku tak menemukan sepatah kata pun untuk mengungkapkan kegundahan dan kekesalanku.
Didekatkan wajahnya padaku hingga napasnya terasa hangat di pipi, perlahan ia kecup bibirku dan terus ... lama ... hingga aku bagai tak sadarkan diri larut dalam manis kerinduan yang ia tawarkan.
Tiba-tiba bayang wanita itu muncul dalam ingatanku, bagaimana mereka bermesraan, berpelukan dan memadu kasih.
Kulepas rengkuhan mas Aldo dan mundur dua langkah sambil mengatur tarikan napasku.
sejenak, ia nampak heran dengan perubahanku yang aneh menurutnya.
Ia maju lagi mendekat lebih padaku, "ada apa? Kok aneh sih?" bisiknya mesra.
"Uhm, ak-aku lagi datang bulan," jawabku berbohong.
"Benarkah?" godanya sambil mencolek-colek pinggangku.
"Mas, sebaiknya kamu mandi dulu, biar aku siapkan makanannya." Aku terus berusaha menghindar.
"Ok," jawabnya. Lalu berlalu meninggalkanku setelah satu kecupan mendarat lagi di kening.
Ya Tuhan, Mas Aldo menjadi madu dan racun sekaligus dalam hidupku, dan parahnya aku tak bisa menolak sedikitpun.
**
Sedang asyik di menyaksikan sinema Hollywood di ruang TV sambil bergelayut di d**a suamiku, ketika kudengar ponselnya berdering. Berkali-kali.
"Mas, itu hapenya bunyi," kataku.
"Biarin aja dulu. Mas capek," kata suamiku.
Aku berinisiatif beranjak, meraih ponselnya untuk kuserahkan padanya. Namun, nama yang tertera di layar ponsel itu, nama yang kubenci dan sangat ingin kusingkirkan dari kehidupan suamiku. Alexandra.
Kumatikan ponselnya dan meletakkannya lagi di meja kerja. Berharap mudah-mudahan wanita itu tidak menelepon lagi. Namun baru saja Kuletakkan ponsel itu kembali berbunyi bahka sekarang permintaan video call terpampang jelas.
Wow, nekat.
"Mas ... Um, ada yang nelpon," ujarku dengan perasaan berat.
Ia bangkit dan meraih ponselnya, ketika nama yang tertera terbaca olehnya, kontan saja kegugupannya muncul dan dengan cepat ia berlalu ke lain tempat.
Samar kudengar ia bercakap-cakap,
"Aku gak bisa, gak bisa hari ini, aku capek, please ... aku juga butuh waktu sendiri, Ya Tuhan,"
Pura-pura kudekati ia dengan mimik wajah bertanya siapa yang tengah meneleponnya dan reaksinya hanya memberi isyarat menggeleng, 'tak ada yang perlu dikhawatirkan.
"Siapa?" tanyaku menyelidik.
"Eh, teman, Sayang ... Teman kerja."
"Tapi, seingatku, kamu gak punya teman namanya Alexandra," sanggahku.
Ia mengangkat wajahnya dengan terkejut dan nampak sangat tidak nyaman dengan kebohongannya sendiri. Aku tahu gestur tubuhnya ketika ia sedang tidak berkata jujur.
"T-teman, pegawai dari perusahaan lain, dan kami sering ketemu membahas urusan kerja," jelasnya.
"Tapi kenapa, ia harus telpon malam-malam gini, bukannya ini bukan jam kerja?"
"Gak tahu, dia tadi minta berkas. Eh, aku antar berkas sebentar ya?"
Ia beranjak dan meraih kunci mobilnya serta tumpukan map di meja. Kutahan lengannya ketika ia hendak menuju pintu luar. Kugelengkan kepala perlahan sambil menatapnya, sendu ... sangat sendu.
"Gak usah, gak usah dibawa," desisku sambil menarik map itu dari tangannya.
"Maaf, aku ada urusan sebentar," ucapnya lirih.
Aku hanya menggigit bibir mendengarnya yang rela membual demi kekasihnya, ah, sakit sekali ... Menyadari wanita itu kekasihnya.
"Baiklah," kubukakan pintu untuknya dan membiarkannya pergi di telan gelapnya malam. Percuma menahannya, ia akan makin liar oleh kekanganku.
Dan aku, sendiri lagi, di antara keheningan dan kerinduan yang tak tersampaikan, mengusap wajah dan termangu lagi, putus asa.
Serapuh inikah diriku? Apakah cinta telah membuatku kehilangan akal sehat dan memilih terus disakiti seperti ini.
Lelah termangu di balik pintu utama, aku bangkit perlahan dan menuju meja kerja, kubuka laptop suamiku dan mencari folder video pernikahan kami, menyaksikan rentetan demi rentetan tawa dan rona bahagia yang dulu indah. Kini perlahan memudar dan hampir sirna.
Entah mengapa, alih-alih melihat video atau menjelajah internet, malah aku tertarik membuka inbok di email suamiku dan membacanya satu per satu. Ku tekan tombol arsip dan kutemukan nama Alexa di pin paling atas.
"Hmm, dimana-mana ada dia," batinku. Entah sejak kapan wanita itu telah datang dan perlahan mengikis dan menggerus indah mahligai pernikahanku dengan Mas Aldo.
Kubuka dan k****a, perlahan dengan napas tertahan, hingga tanpa terasa air mataku luruh.