***
Dua puluh empat, Mei 2018
[Aldo, ada rasa terkejut ketika pertama kali pak CEO mengenalkanmu padaku sebagai partner kerja dari perusahan pusat.
Ada rasa bahagia menemukan sahabat lama yang memang sudah lama kurindukan. Kau begitu sukses dan berhasil membangun karier, aku turut bangga atas hal itu.
Sosokmu juga tidak berubah, malah makin mempesona. Senyummu yang seketika membangkitkan kembali rasa percikan rasa dalam hatiku.
Tak bisa kupungkiri, aku masih mencintaimu, meski mungkin aku hanya akan menikmati rasa itu sendiri.
Dari, Wanita yang selalu merindukanmu, Alexandra.]
Begitu tulisnya di email pertamanya.
Oh, jadi mereka teman lama, yang berjumpa di kantor yang sama ... .
[Oh, Alexa ya. Hehehe bisa saja. Aku sudah menikah dengan Dewi Rosalia, Manager keuangan perusahaan, walau sekarang ia sudah resign, karena aku memintanya untuk fokus mengurusku dan mencintaiku saja] disertai emoji tertawa.
[Sungguh beruntung wanita itu, selalu berada di dekatmu.
Perlahan rasa iri menyusup ke hatiku, andai aku ada di posisinya]
[Semuanya sudah berubah, Alexa] balas suamiku. Lalu percakapannya hari itu berakhir.
Ada banyak percakapan lain, namun baru saja aku akan membacanya, ponselku tiba-tiba berdering.
Sebuah panggilan dari Ardi adik teman kantorku dulu.
"Halo, Ar, apa kabar?"
"Baik Mbak. Maaf baru baca chatnya, jadi, ada apa mbak? Mbak mau minta tolong apa?" ucapnya dari seberang.
"Kamu masih kerja di PLN?"
"Masih."
"Boleh minta nomor kode pelanggan yang rumahnya di jalan Pangeran Dipenogoro nomor tujuh belas." Kusebutkan alamat rumah wanita itu.
Sejurus kemudian,
"Ini mbak, rumah atas nama Ibu fatria dan kodenya nanti saya kirim lewat chat," balasnya setelah beberapa menit.
"Tapi itu rumahnya siapa ... " tanyanya lagi.
"Ada deh. oh ya, sekalian aja kamu bisa bantu mbak lagi? Ntar mbak tambahin transferannya."
"Gak usah, Mbak. Emangnya mbak mau dibantu apa lagi?"
"Blokir layanan listriknya permanen."
"Waduh! tapi kenapa?"
"Mbak tambah dua juta buat kamu."
"I-iya deh. Akan saya coba, tapi gak janji berhasil ya mbak."
"Ok, makasih."
Lalu sambungan terputus. Kuarahkan lagi perhatianku pada layar komputer mas Aldo, berniat membaca kelanjutan dari email wanita itu.
01 Juni 2018
[Aldo, ketemu di rapat tadi membuatku gugup. Entah mengapa, ada getar-getar yang sulit kubahasakan. Bagaiman aku menafikan rasa ini yang terlanjur menepi padamu?]
[Maaf, aku sudah menikah. Kuharap kamu pun menemukan cinta sejatimu dan hidup bahagia.]
Balasan suamiku sembilan jam setelah email itu masuk.
[Sayangnya ... Kamu terlanjur bertahta dalam hati
Jika tak bisa membersamaiku, setidaknya beri aku kesempatan berteman dekat, menikmati waktu dan menuai bahagiaku meski dalam kesendirian saja.]
[Itu gak mungkin, kamu gak malu?] Tolak suamiku.
[Apa yang membuatku malu? Cinta buka aib, cinta adalah rasa yang suci. Bahkan aku sendiri tak bisa mengendalikan kemana mata hati ini menuntunku.
Kumohon, jika kamu tak memberiku kesempatan, ada baiknya aku meninggalkan dunia ini saja.
Orang tuaku sudah meninggalkanku, keluargaku dan saudaraku. Kini teman sekaligus cintaku juga menolak, apalagi yang tersisa?] Ditambah emoji menangis dan putus asa.
[Jangan lakukan tindakan nekat, segala sesuatu pasti ada jalan keluarnya]
Lalu di bawah pesan itu ada kiriman sebuah photo, ku-klik gambar photo tersebut dan melihatnya dengan seksama.
Terlihat seseorang memegang silet dan mengarahkan ke nadi tangan kirinya.
Luar biasa cara ia menggertak.
[Hei, jangan gila!] Kirim suamiku.
Tidak ada jawaban apapun setelah itu, namun seingatku pada tanggal yang sama suamiku memang pergi dari rumah dalam keadaan panik dan dia bahkan tak bisa berkata apapun ketika aku bertanya ia akan kemana malam-malam.
Tanggal 03 Juni 2018.
[Terima kasih, Ya Sayang. Seandainya kamu gak cepat nyelametin aku, mungkin aku sudah meregang nyawa.]
[Gak usah bilang sayang. Itu sudah kewajibanku melihat sesuatu yang tidak semestinya terjadi]
[Kebekuan dan kecuekanmu itu, yang membuatku semakin tergila-gila mencintaimu]
[Tolong bedakan Obsesi dengan cinta, Alexa ]
[Aku memang terobsesi untuk selalu mencintaimu]
[Kau sudah gila, Al ... ]
[Biarlah, buat kamu. Kamu janji ya, gak akan nolak aku lagi]
[Ck, ... gak bisa janji]
[Kalo gitu, aku ... ]
[Iya deh, iya] balas suamiku yang kutangkap ada keterpaksaan di sana.
Ya ampun apa-apaan ini? perlahan ia telah merayu dan meracuni suamiku untuk berkhianat. Pelan tapi pasti ia telah memanipulasi pikiran suamiku dan memeras rasa ibanya demi obsesi wanita gila itu.
"Oh, Tuhan cobaan apa ini," ratapku sendiri.
Bagaimana caranya aku memisahkan mereka? Jika menggunakan cara jahat maka bisa saja suamiku malah berbalik membelanya dan meninggalkanku. Jika aku mengabaikan hubungan mereka, maka aku pun juga tersakiti.
Selama ini aku diam, bukan karena lemah, tapi mencari cara yang tepat. Bisa saja aku membayar orang untuk memberinya pelajaran, namun tindakan kriminal pasti akan merugikan diriku sendiri, dan malah memuluskan jalan Alexa untuk memiliki mas Aldo. Sungguh dilema.
Tring .. ponselku berbunyi lagi.
[Mbak Dewi, listriknya sudah saya blokir. Berikut juga layanan airnya]
[Bagus,makasih. Duitnya akan Mbak transfer besok pagi berserta bonusnya.]
Menyerangnya secara psikologi dan membuatnya susah di segala sisi, kurasa ide yang bagus untuk sementara ini. Atau, perlukah juga kusewa pocong jadi-jadian untuk menerornya nanti malam? Ah, ini bukan film komedi. Jika ia ketakutan dan malah menelepon suamiku kemudian memintanya untuk menemaninya, bagaimana coba?
'Kan beruntung banget dia.
**
Keesokan malamnya,
Aku dan mas Aldo bersantap malam seperti biasa, namun ada sedikit yang berbeda. Jika selama ini meja selalu riuh dengan alat makan dan cerita yang menari di udara, akhir-akhir ini semuanya berubah. Aku dan dia lebih banyak membisu.
Kubahas rencanaku yang akan memulai bekerja lagi selepas kami menyantap makanan dan seperti biasa, ia menolak ideku. Perdebatan kami terhenti ketika,
Tring ..
Bunyi ponselnya.
"Mas ... Hapenya nyala," panggilku.
Namun ia bergeming dan tak merespon panggilanku sedikitpun.
Kulihat nama Alexa di layar, kugeser tombol hijau dan meletakkannya di telingaku laluext menjauh dari suamiku yang masih sibuk dengan kekesalannya.
"Sayang ... Lampu di rumahku, mati. Kucek ke aplikasi PLN mobile, rupanya layanannya terputus. Lakukan sesuatu, a-aku takut, kumohon," ucapnya terbata-bata sambil terisak.
"Suamiku sudah tidur," jawabku.
Kututup sambungan teleponnya dan mematikan ponsel suamiku, biarlah hari ini ia tidak perlu menemui si binal itu.