Pertemanan mereka berlanjut, hampir setiap hari Gara selalu berada disana membantunya bekerja walaupun tugasnya hanya meniup peluit. Semakin akrab juga dengan pak Maman yang akhirnya Gara tahu jika beliau adalah teman dari Ayahnya Alya dan menitipkan anak gadisnya itu pada pak Maman.
Alya sudah sedikit membuka diri dengan pertemanan mereka dan menerima kalau Gara memang tulus berteman dengannya tanpa maksud ada niatan. Berbalas pesan pun masih dilanjut, ya meskipun lelaki itu pernah membuat Alya kesal di awal chattingan mereka. Namun sekarang, kini Alya lah yang selalu membuat Gara kesal dan lelah mendapati lebih dari limapuluh chat masuk setiap hari ke dalam ponselnya dan itu dari Alya.
Setiap pulang pun Gara kini tidak pernah lagi mengantar Alya, semenjak waktu itu pertama kalinya Gara mengantarnya. Gadis itu selalu tidak mau dan selalu mengancam akan mengirim lebih dari seratus chat masuk dan miss call kepada dirinya. Dan Gara mengalah. Alya hanya belum mau memperkenalkannya kepada orangtua terutama bapak. Beliau kadang selalu menanyakan kapan Gara kerumahnya. Tapi dengan alasan sibuk, Alya berhasil meyakinkan bapak.
"Lo gak capek tiap hari bekerja seperti ini? Apalagi saat cuaca panas, gue gak sanggup." Gara mengeluh kepanasan, baru satu minggu menemani Alya bekerja, dirinya sudah kecapean.
"Gue udah biasa kayak gini." Alya pun tengah mengipaskan topi nya mengusir panas.
"Gue ada kerjaan lain buat lo, mau?"
"Gak."
"Kerja di rumah gue."
"Tanpa dua kali berfikir, tetep nggak."
Gara hanya bermaksud baik, dirinya tidak ingin teman baiknya itu selalu bekerja panas-panasan. Gara menawarkan untuk bekerja di rumahnya yang di Jakarta. Yah, mending kerja di dalam ruangan daripada harus diluar ruangan.
"Dirumah gue juga ada kok pekerja yang lain, lo gak akan kerja berat-berat dirumah gue."
Alya beralih menatap Gara. "Lo nyuruh gue jadi babu?"
"Bukan itu, neng Alya." Gara membenarkan posisi duduknya. "Gue hanya gak mau lo panas-panasan gini."
"Perhatian amat lo!"
"Harus, karena gue temen lo. Lagian gue jarang ada dirumah. Gue selalu sibuk dengan urusan kantor bahkan selalu tidur di kantor."
"Maksudnya apa lo selalu jarang dirumah?" Alya selalu menjawab sewot namun Gara seperti sudah terbiasa dengan ke sewotan dan ke sikap dinginan gadis itu.
"Iya, lo akan aman. Kalo gue ada dirumah, gue takut khilaf." Gara melirik sebentar lalu mengalihkan pandangan ke arah lain.
"Khilaf?"
Alya, gadis itu mengerti apa maksdunya. Mereka sudah sama-sama dewasa dan jika dua orang dewasa berlainan jenis berada dalam satu tempat yang sama. Jika iman dalam hti mereka goyah, tidak mungkin tidak akan terjadi apa-apa. Alya mengerjap beberapa kali. Padahal Gara mengatakan itu hanya bercanda, dirinya tidak mungkin akan melakukan itu. Takut dengan trauma dan Gara sadar diri mereka hanyalah teman. Tapi lelaki itu tidak sadar jika satu hari Alya tidak memberinya banyak chat atau menganggunya, Gara akan kesepian. Perasaan seperti itu baru ia rasakan. Tidak heran jika Alya datang memberi kabar, Gara selalu merasa bahagia. Dan itu adalah mungkin tanda-tanda perasaan lain yang tumbuh pada diri Gara tanpa lelaki itu ketahui.
Gara ingin mengenal Alya lebih dari sekedar teman.
"Maksud gue, gue takut khilaf jika selalu berada dekat lo. Takut selalu bikin lo emosi terus. Lama-lama tumbuh keriput di muka lo. Dan lo akan tua sebelum waktunya."
Gara terkekeh saat melihat Alya mencebik dan uring-uringan menghentakkan kaki berulang.
Lucu.
"Candaan kali ini gue maafin." Alya mulai bersuara kembali.
Gara masih menunjukkan sisa tawa nya. "Tumben."
"Gue lagi baik hati kali ini. Lo ikut gue."
Alya sudah bersiap pulang dan mendekati Gara untuk menaiki motor ninja nya.
"Kemana?"
"Ikut gue aja." Tanpa disuruh, Alya menaiki jok belakang dimotor lelaki itu.
"Pulang kerumah lo?"
Alya menggeleng. Dan perjalanan pun dimulai, gadis itu sebagai pemandu jalan. Menyuruh nya berbelok kesana dan kemari sesuai arahan petunjuk Alya. Sampai mereka berhenti di pedagang kaki lima bertuliskan mie goreng spesial, dan keduanya pun turun.
"Mie goreng?"
"Iya, gue akan traktir lo hari ini." senyuman Alya mengembang, dan itu tidak luput dari perhatian Gara.
Gadis itu, baru kali ini Gara melihatnya tersenyum lepas.
Cantik.
"Lo bisa makan dan pesen apapun yang lo mau." Alya kembali berucap.
"Lah, mau pesan apa? Disini cuma ada satu pilihan dan itu hanya mie goreng. Just mie goreng."
"Cuma basa-basi doank, iya.in kek." Alya bedecak sebal.
Mereka masuk lalu memilih tempat duduk yang kosong. Pas dua meja yang tersisa yaitu dibagian belakang dan mereka memilih duduk di tepi kiri.
"Ada kekuatan angin darimana nih, tiba-tiba lo traktir gue."
Alya kembali tersenyum. "Hari ini gue gajian."
"Seseneng itu lo."
Alya menepuk lelaki di hadapannya kesal. "Ya seneng lah, orang gajian siapa sih yang gak seneng. Dapat uang banyak dan bisa bagi-bagi ke orang tua gue juga adik gue. Dua hari lagi adik gue mau ujian praktek, kebetulan banget kan."
Sekali lagi, gadis itu berucap bahagia. Ada binar kebahagiaan yang terpancar dimatanya.
"Dan karena lo temen pertama gue dan udah bantuin pekerjaan gue, yah walaupun baru seminggu sih. Gue gak bisa ngasih lo uang, tapi gue bisa traktir lo makan. Lain kali, janji gue akan traktir lo bukan sekedar makan disini. Gue akan ngasih apa yang lo mau. Ya semoga gue ada rezeki."
"Ok, gue pegang janji dan kata-kata lo."
Gara, lelaki itu tertegun mendengar semua ucapan Alya. Hanya gaji yang tidak besar lima kali lipat dari gajinya atau bahkan lebih, gadis itu bahagia sekali. Sebagian gajinya bahkan gadis itu kasih untuk keluarganya.
Ah keluarga? Gara hanya hidup sebatang kara. Dulu pun gaji yang ia punya hanya untuk bersenang-senang dengan teman yang hanya memanfaatkan dirinya saja. Ayah? Lelaki itu tidak pernah memberikan gaji padanya bahkan sepeserpun.
Keluarga gadis itu? Gara ingin bertemu dengan mereka. Ibu, bapak dan adiknya. Gara ingin bertemu dengan mereka. Keluarga sederhana yang lengkap. Gadis itu walaupun hidup keras seperti ini tapi masih penuh semangat, karena apa?
Karena ada dukungan dari keluarganya. Semangat itu lah yang selalu gadis itu tanamkan dalam hatinya. Karena mereka, Alya kuat.
"Hei, ngelamun apaan? Cepet pesen!" Alya menyadarkan lamunan Gara.
"Pesen apa?" Lelaki itu bingung sendiri.
"Pesen mie lah."
Gara kembali mengerjap bingung. "Kan lo yang traktir gue."
"Justru itu, makanya lo yang pesen karena gue udah berbaik hati kasih lo traktiran."
Gara menggeleng tidak habis pikir. "Gak adil."
"Ck." Alya bedecak tidak sabar. "Buruan, Onta."
Akhirnya lelaki itu menurut. Memesan tiga porsi mie goreng spesial lengkap berukuran besar. Satu porsi untuk gadis cerewet dan menyebalkan itu, dua porsi untuk dirinya. Tidak lupa, Gara menambahkan beberapa bakso dan udang kedalam dua porsi miliknya. Ditambah dua minuman spesial.
Pesanan datang, dan mata Alya membelalak tidak percaya. Makanan tiga porsi besar datang ke meja nya ditambah dua minuman spesial. Selama gadis itu pernah makan disini belum pernah memesan porsi besar. Hanya porsi biasa dan itu pun tanpa minumannya. Alya lebih memilih minuman gratis yang disediakan disana. Air teh hangat tanpa gula.
"Ini pesenan lo?" ucap Alya kaget dan dibalas anggukan oleh Gara. "Banyak banget, bisa tekor gaji gue, Onta." Gara hanya mengangkat bahu acuh.
"Salah siapa nyuruh gue yang pesen."
"Salah gue. Gue yang salah." Alya merasa kesal namun tidak bisa berbuat apa-apa.
Sayang kalau makanan kesukaannya ini masih tersisa. Alya menghabiskannya ludes bersama minuman spesial yang tadi dipesan Gara. Gadis itu menyesal, lain kali jika dirinya akan mentraktir lelaki itu Alya tidak akan membawa nya kesini. Dan dia sendiri yang akan memilihkan menu termurah apalagi kalau ada diskon untuk lelaki itu.
Sedangkan Gara hanya makan dalam diam namun bibirnya sesekali tertarik keatas melihat Alya selalu berdecak. Gara tahu, gadis itu pasti sedang mengumpatnya dalam hati. Dua porsi yang dipesan Gara juga habis. Lelaki itu memang sudah sangat lapar ditambah mie goreng pilihan Alya memang enak.
"Mau kemana?" Gara bertanya setelah makanan mereka habis.
"Mau bayar lah."
"Yakin bakal ada sisa buat lo kasih ke orangtua lo?"
Alya hanya diam. Soal itu dia pikirkan nanti, gadis itu tidak ingin mengingkari janji yang sudah ia buat. Ia akan tetap membayar traktiran yang diberikan kepada Gara.
Seolah tahu, Gara ikut berdiri. "Gue aja."
"Eh?" Alya menatap Gara tidak mengerti. "Gue aja, kan gue yang traktir lo."
"Tapi untuk hari ini, gue dulu yang traktir. Lo kapan-kapan aja."
"Gak bisa gitu."
"Bisa," jawab Gara cepat. "Besok gue gak akan bisa nemenin lo kerja lagi. Ini adalah hari terakhir gue sama lo."
Gadis itu berhenti saat dirinya sudah mau melangkah untuk membayar. Berbalik menatap Gara, menunggu penjelasan lebih.
"Gue akan ke Jakarta lagi. Udah hampir sebulan sih gue disini, gak kerasa ya?" Gara terkekeh dengan ucapannya. "Dan pekerjaan gue udah numpuk diJakarta. Maka dari itu, sekarang gue dulu yang traktir lo."
Merasa ada sesuatu yang mengganjal, entah apa itu. Alya sudah merasa nyaman dengan pertemanan Gara. "Kapan lo kesini lagi?" satu pertanyaan yang keluar dari mulut Alya.
"Gak tau, mungkin seminggu lagi gue kesini." entah kenapa tangannya itu ingin sekali mengelus rambut Alya, dan hal itu ia lakukan. "Kenapa? Lo takut kangen sama gue?"
"Gak, bukan itu. Ya udah sana pergi." Alya salah tingkah apalagi dengan sikap Gara yang mengelus rambutnya.
"Gue janji, minggu depan kesini lagi nemuin lo." Alya tidak menjawab, dia memikirkan hal lain. "Kita juga bisa balas-balas chat lagi."
"Teman?"
"Ya, kita masih teman. Dan akan selamanya teman. Tapi kalo lo mau lebih dari sekedar teman juga boleh." Gara lagi-lagi bercanda membuat Alya memukul bahu lelaki itu.
"Ish, lo Onta. Emang Onta."
Dan gara tertawa mendengar itu, sementara Alya dirinya merasa bingung kenapa harus merasa sedih? Tidak tahu apa yang dirasakan hatinya.
Minggu depan? Apakah mereka akan bertemu lagi minggu depan? Dengan status teman?