61

1024 Kata
TITIK TEMU [61] Pertengkaran orang dewasa ________________________ Albi berdiri di koridor rumah sakit menunggu seseorang yang baru saja muncul dengan membawa sebuah paper bag berlogo toko kue mahal. Tentu saja orang itu adalah Shena yang sudah merengek kepada Albi untuk ikut datang ke rumah sakit dengan menggunakan banyak alasan. Cewek itu tersenyum manis ke arah Albi karena sudah memberikannya ijin untuk datang. Walaupun dengan wajah yang tidak ikhlas sama sekali. Albi sudah melarang Shena untuk datang ke rumah sakit, namun cewek itu selalu melakukan apapun yang dia inginkan dengan seenaknya. Bukan apa-apa, tetapi Albi paham sekali tentang bagaimana perangai Ibunya yang lumayan menyebalkan. Ibunya tidak akan pernah menyukai siapapun yang Albi bawa, apalagi ini adalah pacarnya. Ibunya anti sekali dengan hubungan pacaran. Mungkin karena berkaca pada masa lalu Indi yang gagal dalam meraih mimpinya karena berpacaran dan akhirnya hamil diluar nikah. Padahal, tidak semua keburukan Kakaknya itu akan melekat padanya. "Mobil Lo di mana?" Tanya Albi yang sedikit khawatir pada Shena. "Di parkiran! Gue bisa nyetir kok, udah selama bertahun-tahun." Jawab Shena mengklarifikasi kekhawatiran Albi padanya. Pasalnya, Albi baru sekali ini melihat Shena mengendarai mobil sendiri. Biasanya 'kan Shena selalu diantar jemput oleh Simon atau sopirnya. Jadi, Albi merasa bahwa perlu untuk khawatir pada cewek itu. Padahal Albi sudah melarangnya untuk ikut datang. Bahkan Albi langsung pergi meninggalkan Shena di parkiran sekolah. Namun dengan nekatnya, Shena menyusulnya dengan mobil. Bertindak ugal-ugalan di jalan dan membuatnya harus berhenti di setengah perjalanan agar Shena tidak melakukan hal bodoh yang akan membuatnya dalam masalah. Lalu, akhirnya mereka berada di sini. "Gue enggak mau Lo ikut masuk ke ruangan Ibuk gue. Di depan aja dan jangan aneh-aneh!" Peringat Albi yang berjalan lebih dulu untuk sampai ke lift. Shena berjalan dengan sedikit terburu-buru ke arah Albi, "kalau cuma nunggu di depan, namanya bukan jenguk dong, Bi." "Gue 'kan enggak minta Lo buat jengukin Ibuk gue. Lo-nya aja yang keras kepala!" Ketus Albi dengan meraih tangan Shena untuk masuk ke dalam lift bersama-sama. "Gue enggak mau ada masalah lagi. Lo tahu 'kan kalau kehidupan gue ribet!" Sambung Albi sambil menatap Shena. Shena menganggukkan kepalanya pelan, "tapi setidaknya gue mau tahu tentang kehidupan Lo! Gue pacar Lo dan gue mau dukung Lo terus. Siapa sih yang enggak suka sama orang kaya gue? Gue cantik, baik, sopan~" "Sopan?" Ulang Albi. "Iya," ucap Shena dengan percaya diri. Albi mengusap wajahnya kasar, "dari mananya Lo sopan, Shena? Semua orang juga tahu kalau Lo enggak punya sopan santun. Bilang terima kasih, tolong, yang sesederhana itu, Lo enggak bisa!" "Bisa!" Bentak Shena dengan wajah kesal. Albi melipat tangannya di depan da-da, "ya udah, gimana ngomong kata terima kasih dan tolong? Biar gue dengerin." Shena diam saja! Bukan tidak bisa mengatakannya, namun Shena tidak tahu harus berterimakasih atau minta tolong untuk apa. Sejak kecil, Shena memang sudah mendapatkan apa saja yang dia inginkan. Bahkan tanpa menggunakan kedua kalimat itu. Setelah lift terbuka, Albi langsung menarik tangan Shena untuk keluar. Entah sejak kapan Albi sudah sangat handal dalam menggenggam tangan cewek—apalagi ini tangan Shena yang konon sangat dibencinya. Albi tidak lanjutkan ucapannya lagi. Cowok itu memilih diam sambil menatap ke depan. Shena pun merasakan detak jantungnya berdegup dua kali lipat dari biasanya. Bukankah dirinya yang memaksa untuk datang menemui Ibunya Albi, lalu mengapa dia juga yang merasa gugup? Tepat ketika mereka sampai di depan ruangan Nikmah—Ibu Albi—tidak sengaja mereka mendengar suara perdebatan. Sontak langkah kedua remaja itu terhenti. Albi masih menggenggam tangan Shena, namun genggaman itu terasa semakin erat. Shena menatap Albi yang tampak membeku di tempatnya. "Ibu enggak bisa bersikap seperti itu sama Albi! Dia bisa menentukan masa depannya sendiri. Ibuk enggak tahu 'kan rasanya dikurung dalam sangkar kaya gimana? Indi dulu ngerasain apa yang Albi rasain. Makanya Indi jadi kaya gini! Indi tertekan sama Ibuk. Indi enggak bahagia..." Teriak Indi dengan suara serak. "HEH! Orang tua menghidupi anak-anaknya supaya bisa menjadi aset di masa depan. Kamu pikir hidup ini gratis? Ibuk sudah membiayai sekolah kalian berdua dengan susah payah! Ibuk enggak malu ngutang sama saudara-saudara kita yang gayanya selangit, enggak malu juga kerja di mana-mana. Untuk apa? Untuk kalian juga, 'kan? Yang Ibuk minta apa? Kalian sukses, supaya Ibuk enggak sia-sia membiayai kalian. Tapi kamu? Kamu gagal, Ndi. Kamu enggak bisa memenuhi keinginan Ibuk yang sudah susah payah melahirkan kamu. Jadi, salah kalau Ibuk menggantung harapan sama Albi yang bisa Ibuk banggakan sekarang?" Tandas Nikmah dengan emosi yang meluap-luap. "Kami berdua ini manusia! Kami bukan robot yang bisa di-program seenaknya. Nilai kecil atau besar, itu bukan sebuah masalah besar, Buk. Albi sudah menjadi versi terbaik dalam dirinya. Albi bahkan lebih baik dari anak seumurnya. Bukannya itu juga sudah baik, Buk?" Ucap Indi dengan kesal. "Terbaik apanya? Dia belum jadi apa-apa! Kalau dia sudah bisa jadi PNS atau Dokter, itu sudah terbaik!" Jawab Nikmah dengan lantang. Shena merasakan tangannya dilepaskan oleh Albi. Cowok itu berjalan meninggalkannya, terus berjalan menuju ke arah lift kembali. Shena tidak tahu harus berbuat apa, sehingga dia memilih untuk diam beberapa saat dan memperhatikan Albi yang masuk ke dalam lift tanpa berbicara apapun kepadanya. Shena baru paham, kehidupan ruwet yang Albi katakan adalah kehidupan seperti ini. Srett. Pintu ruangan Nikmah terbuka lebar dan memperlihatkan seorang perempuan yang mengusap air mata keluar. Shena dan Indi sama-sama terkejut. Mereka saling bertatapan sebentar dan Shena pun memilih untuk tersenyum. "Maaf, siapa ya?" Tanya Indi seraya tersenyum tipis. Shena membalas senyuman Indi sambil melirik ke arah pintu lift yang telah sepenuhnya tertutup, "hm ... saya sebenarnya mau datang untuk menjenguk teman saya. Ternyata teman saya sudah pulang beberapa hari yang lalu. Jadi, ini saya berikan kuenya untuk Kakak saja." Shena menyodorkan kue itu kepada Indi yang tampak kebingungan dengan pemberian Shena itu. "Tolong diterima ya, Kak. Soalnya mubazir kalau enggak ada yang makan!" Ucap Shena lagi seraya tersenyum. "Saya permisi dulu!" Sambung Shena. "Terimakasih!" Ucap Indi. Shena mengangguk dan berjalan menuju ke lift untuk segera mencari Albi yang pergi entah kemana. Dia tahu sekali rasanya mendengarkan orang dewasa bertengkar karena dirinya, pasti rasanya sakit sekali. Shena berharap bahwa semuanya akan baik-baik saja. Semoga Albi mau mendengarkannya juga, seperti semalam. Semoga saja ... semuanya akan segera berlalu. •••••
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN