62

1120 Kata
TITIK TEMU [62] Semua baik-baik saja _________________________ Albi keluar dari sebuah tempat bimbel dengan wajah lelah. Namun tatapannya jatuh kepada seorang cewek yang sedang duduk dengan santai di taman depan sambil melambaikan tangan ke arahnya. Bagaimana Shena tahu di mana dirinya sekarang? Mungkin itulah pertanyaan yang ada di dalam kepala Albi sekarang. Namun daripada sibuk menebak hal yang tidak bisa dia jawab, Albi pun memilih berjalan mendekat ke arah Shena. Dengan perlahan, Albi duduk disamping Shena yang kembali tersenyum lebar ke arahnya. Padahal, Albi sudah berjalan pergi menjauh sejauh mungkin dari Shena untuk sementara waktu. Bukannya apa-apa, namun Albi malu kepada Shena karena cewek itu sudah tahu betapa rusaknya keluarganya. Albi juga tidak tahu apa tanggapan Shena tentang dirinya sekarang. Albi hanya takut jika Shena akan meninggalkan dirinya suatu saat nanti karena kondisi keluarganya. Shena menyodorkan sebuah burger yang masih dibungkus rapi kertas makanan. Cewek itu membuka pembungkus burger-nya dan memakannya. Shena tidak bicara sama sekali, menunggu Albi untuk membuka percakapan. Bagaimana juga, Shena membutuhkan sedikit penjelasan dari Albi. Cowok itu bahkan meninggalkannya di rumah sakit sendirian tanpa mengatakan apapun. Sekarang, mereka duduk berdua pun, Albi masih tidak mau bicara. "Lo ... tahu gue di sini dari mana?" Tanya Albi sambil memakan burger yang diberikan Shena padanya tadi. Shena menoleh ke arah Albi, tidak langsung menjawab. Cewek itu mengambil tisu dari dalam tasnya, lalu mengelap saus yang tercecer disudut bibir Albi sampai bersih. "Kenapa datang kesini?" Tanya Shena dengan penasaran. "Gue bingung cari Lo di mana-mana enggak ada. Terus gue punya firasat kalau Lo ke tempat bimbel. Jadi, gue telepon Nandan dan sampailah gue di sini. Nemuin Lo..." Sambung Shena dengan wajah cemberut. Albi tersenyum tipis, lagi-lagi tidak menjawab pertanyaan Shena. Cowok itu lebih memilih kembali menikmati makanan yang Shena bawakan tadi. Albi tahu Shena sedang menunggu penjelasannya, namun tidak semua pertanyaan harus dijawab, bukan? Toh, Albi tidak meminta Shena datang menemuinya hanya untuk bertanya tentang mengapa Albi berada di sini. "Habis ini, Lo pulang ya!" Pinta Albi kepada Shena. Tentunya pernyataan itu membuat Shena hanya terdiam—merasa aneh dengan permintaan itu. Shena menatap Albi, "gue ... ada salah sama Lo? Gue enggak bakal mutusin gue gara-gara gue datang kesini, 'kan? Gue cuma mau ban~" "Udah ya ... gue mau sendiri! Kalau misalkan Lo enggak mau balik, biar gue yang pergi." Sambung Albi yang terdengar jahat, di telinga Shena. Shena tidak tahu mengapa Albi bersikap demikian kepadanya. Tapi, mungkin benar, Albi ingin sendirian sekarang. Shena tidak akan bertanya macam-macam lagi dan memilih untuk beranjak pergi. Shena bingung harus bagaimana, namun bukankah Albi baru saja mengusirnya? Disisi lain, Albi menatap kepergian Shena yang tampak kesal kepadanya. Lagipula cewek mana yang tidak kesal jika disuruh pulang, bahkan dijuteki ketika mendatangi cowoknya?  Shena sudah berbaik hati, 'kan? Meluangkan waktu jika bukan untuk orang yang penting, tidak akan pernah dilakukan oleh siapapun. Shena sudah begitu peduli kepada Albi, namun balasan Albi terkadang tidak sesuai dengan harapan. Lalu, apakah semua cowok begitu? Melakukan hal yang kadang melenceng dari harapan cewek? Ya, mungkin saja karena ekpektasi si cewek saja yang terlalu tinggi. Namun, apakah itu adil? Shena naik ke dalam mobilnya dengan wajah kesal, tangannya mengepal kuat dan berulangkali memikul setir dengan sekuat tenaga. Padahal dia sudah berusaha untuk datang, mencari informasi di mana Albi berada, bahkan membelikan makanan. Shena sudah berusaha menjadi pacar yang baik walaupun tidak diinginkan. Namun, apakah Albi tidak bisa menghargai sesuatu yang diberikan oleh lawan bicaranya. Paling tidak menghargainya sebagai seorang pacar di depan semua orang. Namun tiba-tiba, ditengah ributnya isi kepala Shena. Albi datang sambil mengetuk kaca pintu mobil cewek itu pelan. Albi tersenyum tipis dan memberikan isyarat bibir dengan mengatakan kata 'buka pintunya sebentar'. Dengan raut wajah yang malas dan kesal, Shena akhirnya membiarkan Albi untuk masuk ke dalam mobilnya. Yang terdengar sekarang hanyalah suara mesin mobil Shena yang dihidupkan. Tetapi beberapa saat kemudian, Shena mematikannya. Menunggu Albi bicara seperti menunggu hal yang sulit atau tidak akan pernah datang. "Lo marah?" Hanya itu yang keluar dari bibir Albi. Tidak adakah sebuah penjelasan yang masuk akal atau paling tidak mudah untuk Shena pahami ketimbang harus bertanya tentang; marah kah dirinya sekarang. Shena menghela napas panjang dan menatap Albi serius, "gue mau tanya sama Lo! Pertanyaan yang sejak tadi seharusnya gue tanyakan. Jadi ... apa yang membuat Lo pergi ninggalin gue di rumah sakit sendirian. Lo langsung ngilang gitu aja!" Karena tahu Albi sepertinya tidak akan membahasnya, maka dari itu biarkan Shena yang memulainya lebih dulu. Toh, wajah Shena bertanya demikian. "Huft..." Albi hanya bisa menghela napas panjang. "Lo tadi sempat tanya sama gue, kenapa gue enggak kasih tahu teman-teman gue yang lain soal keadaan Ibuk, 'kan?" Sambung Albi yang mendapat anggukan kecil dari Shena. Albi tersenyum kecil, berusaha untuk merangkai kata demi kata agar tidak ada kesedihan yang menderanya dan berakhir dengan air mata seperti kemarin. Masalah hidup, bukan miliknya saja. Jadi ... mengeluh tidak akan menjadi apa-apa! "Enggak semua anak itu beruntung! Kebanyakan orang tua akan bangga pada anaknya kalau anaknya punya teman banyak. Orang tua mereka akan menganggap anaknya sebagai seseorang yang mudah beradaptasi dengan lingkungannya. Tapi, semua itu enggak berlaku untuk gue, Shen." Ucap Albi tersenyum. "Lo bahkan mendengar sendiri pertengkaran antara Ibuk dan kakak gue, yang Ibuk pikirin itu cuma otak kami... bukan jiwa kami." Sambung Albi dengan tersenyum kecut. Shena hanya diam, dia benar-benar memahami Albi walaupun Papinya tidak pernah memaksanya untuk mendapatkan nilai yang bagus atau mendapatkan juara di sekolah. Tapi, mendengar cerita Albi saja, sudah membuat Shena mengerti bahwa perasaan tertekan yang diberikan oleh orang tua—bukan hanya terjadi kepadanya saja. "Ibuk enggak suka gue punya teman. Dengan alasan yang menurut gue sama sekali enggak masuk akal. Ibuk enggak mau gue terlalu banyak bermain sama teman-teman gue, mengikuti alur dan lupa belajar, makanya Ibuk selalu membuat gue sibuk dengan kegiatan-kegiatan bimbel enggak jelas kaya gini. Jadi, gue berusaha melindungi teman-teman yang lain supaya enggak bertemu langsung sama Ibuk. Gue enggak mau melibatkan mereka atau Lo dalam kerumitan hidup gue." Tandas Albi serius. Shena melirik ke arah Albi, "sorry ... gue maksa Lo." Albi menoleh ke arah Shena karena kaget dengan kata 'sorry' yang keluar dari bibir cewek itu. Tidak biasanya Shena mengatakan hal seperti itu kepada siapapun termasuk Albi sendiri. "Mau jalan-jalan, enggak? Gue bisa supirin Lo selama beberapa jam ini, sebelum gue benar-benar balik dan dijaga ketat sama bodyguard yang menyebalkan. Mau enggak?" Tawar Shena kepada Albi yang masih terdiam disampingnya. "Mau," jawab Albi seadanya yang membuat Shena melebarkan senyumannya. Ada beberapa orang yang tidak beruntung pada keluarga, namun sangat beruntung mendapatkan seseorang yang bersamanya. Salah satunya adalah, Albi. Tidak semua kesedihan yang dimilikinya hanya menjadi kesia-siaan. Karena saat ini, ada Shena yang mau bersamanya, menghiburnya, dan membuatnya tersenyum kembali walaupun hanya sementara. •••••
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN