54

1103 Kata
TITIK TEMU [54] Pendapat Albi __________________ Jika Indi perhatikan, Albi memang sudah banyak berubah. Tidak hanya berubah padanya—namun berubah segalanya. Bahkan sikap, sifat, dan pemikiran pun, Albi sudah banyak berubah. Indi lupa bahwa Albi yang dirinya kenal dulu adalah anak kecil berumur 10 tahun yang masih suka bermain bola di lapangan sampai petang, yang selalu menggandeng tangannya dengan riang, yang sering tersenyum ketika mendapatkan kaos bola, dan yang matanya berbinar ketika dibelikan es krim. Albi yang sekarang, bukanlah Albi yang dulu. Albi yang sekarang sudah tumbuh menjadi remaja seutuhnya; jarang tersenyum, irit bicara, mudah marah, cuek, dan terkadang menyebalkan. Indi kehilangan banyak momen bersama dengan Albi. Dan tiba-tiba, sekarang Albi sudah tumbuh dengan baik. Cowok itu lebih tinggi daripada dirinya, badannya pun bagus, dan mungkin disukai banyak cewek karena pesonanya. Indi bahkan bisa membayangkan bagaimana banyak orang menatap adiknya yang begitu dingin namun sangat mempesona. Walaupun begitu, Indi tidak bisa menggapai Albi untuk lebih dekat dengannya seperti dulu. Bukankah semua ini salahnya? Maksudnya, dia yang menghancurkan kepercayaan Albi selama ini. Apalagi mendengar kejujuran Albi tentang; Ibunya yang telepon hanya untuk memarahi soal bimbel. Membuat Indi merasa sangat terpukul. Dia pernah berada di posisi itu—terpaksa mengikuti kegiatan yang tidak disukainya. Ibunya memang ambisius sejak dulu, menentukan apapun dan mengatur seenaknya tanpa bertanya apa yang benar-benar anaknya sukai. Dia pikir, Ibunya sudah berubah. Namun ternyata malah menerapkan semuanya kepada Albi, menggantikan dirinya! Dulu ... Indi adalah sebuah kebanggaan bagi orang tuanya. Indi sangat cantik, pintar, selalu menjadi kesayangan guru. Indi sangat sering mengikuti olimpiade dan selalu keluar sebagai juara. Begitupula dengan Dean—suaminya sekarang. Mereka pernah dijuluki sebagai best couple pada jamannya. Mereka berdua dijadikan icon tentang berpacaran sehat. Keduanya yang sama-sama ambisius untuk mengejar cita-cita dan sering mengikuti lomba apapun secara bersama. Sehingga mereka dianggap sebagai pasangan yang ideal. Jika mengingat semuanya, Indi merasa sangat menyesal. Andaikan waktu bisa diputar, andaikan semua bisa diulang. Sayangnya, waktu tak pernah bisa diputar mundur. Selalu ada konsekuensi dari apa yang telah diperbuat. Termasuk Indi dan Dean yang memutuskan mencoba untuk melakukan s*x sebelum menikah. Mereka mencobanya sekali dan menyesal seumur hidup. Tidak membutuhkan waktu lama, Indi dinyatakan hamil. Tidak hanya mereka berdua yang tahu—namun satu sekolah tahu. Tepat beberapa bulan sebelum ujian nasional dilakukan. Baik Indi maupun Albi masing ingat saat itu; saat di mana kedua orang tua mereka bertengkar hebat. Hari itu adalah pertama kalinya Albi sangat kecewa kepada Indi. Hari itu juga adalah hari di mana semuanya berakhir dengan menyesakan d**a. Albi yang tidak bisa berbuat apapun karena masih kecil, hanya bisa termangu sambil menyaksikan pertengkaran kedua orang tuanya. Albi pikir, semua itu karena Indi. Kakak yang dibangga-banggakan dirinya, mencoreng nama keluarga mereka yang sudah hancur. Mungkin, hari itu adalah hari yang panjang untuk Albi. Karena paginya, dia harus merelakan bahwa Ayahnya meninggal bunuh diri. Ibunya terus menyalahkan diri sendiri. Kakaknya, Indi, yang memilih untuk berlindung bersama dengan Dean di rumahnya. Semuanya menghilang dalam hidup Albi dalam waktu semalam. Albi sendirian, tidak ada yang menemani dirinya. Bahkan dia masih seorang anak kecil yang begitu membutuhkan uluran tangan orang dewasa untuk menenangkannya. Sayangnya, tidak ada orang dewasa yang mau sebentar saja mengulurkan tangannya. Mereka terlalu sibuk mengurus diri dan hati masing-masing. Tanpa peduli bahwa dirinya juga manusia. "Kamu dari mana aja kemarin? Ibuk telepon kamu berulangkali, enggak diangkat sama sekali." Tanya Ibunya yang sudah siuman sejak tadi pagi—sekarang sedang Albi suapi. "Jenguk Rilo," jawab Albi dengan singkat, padat, dan jelas. Indi ingin beranjak dari duduknya, namun Dean menahannya. Dia tidak mau Indi membuat keributan yang akan memancing emosi Albi lagi. Apalagi semalam mereka sempat berbincang sedikit, memberitakan tentang masa lalu dan mungkin ... Dean memahami apa yang Albi rasakan sekarang. "Kamu berangkat bimbel, 'kan?" Tanya Ibunya sambil menatap Albi dengan wajah penasaran. Bahkan dalam keadaan seperti ini pun, Ibunya masih bertanya tentang bimbel. Benar-benar tidak bisa dipercaya! "Harusnya kamu enggak perlu bolos sekolah. Nanti kamu ketinggalan pelajaran. Kalau sampai kalah lagi sama yang lain gimana?" Albi meletakkan mangkuk bubur yang dipegangnya di atas meja lalu fokus menatap Ibunya, "Albi enggak mau berdebat, Buk! Kenapa masih sempat mikirin bimbel dalam kondisi seperti ini? Albi bakalan bimbel kalau Ibuk udah sehat." "Enggak!" Tandas Ibunya dengan melipat tangannya di da-da. "Kamu harus berangkat nanti sore. Lagipula ada Indi, Dean juga ada. Mereka bisa jagain Ibuk di rumah sakit dan kamu berangkat bimbel! Ingat, Ibuk sudah membayar biaya bimbel kamu itu mahal banget. Sampai Ibuk harus ngutang dulu." Sambung Ibunya dengan penuh penekanan. "Hm ... Albi 'kan cuma pengen jagain Ibuk. Bimbel 'kan bisa besok-besok lagi, Buk. Siapa tahu kalau dijagain kita berdua, Ibuk bakalan cepat sembuh." Ucap Indi menengahi keduanya sebelum terjadi perdebatan. "ENGGAK!" Bentak Ibunya sambil menatap keduanya—Indi dan Albi—secara bergantian. "Ibuk udah sehat, kok! Lagipula pendidikan itu lebih penting daripada segalanya. Kalau Albi enggak bimbel dan nilainya rendah lagi, mau jadi apa? Di dunia ini, hanya orang-orang nomor satu yang akan diakui dan mempunyai masa depan yang jelas. Ibuk enggak mau Albi kaya kamu ... Indi. Ibuk enggak mau dia gagal seperti kamu." Sambung Nikmah pedas. Seketika hening, tidak ada yang menjawab ucapan Nikmah baru saja. Apalagi semua yang dikatakannya memang melukai perasaan Indi. Namun Indi berusaha mengerti, Ibunya benar-benar sangat kecewa padanya. Walaupun sudah berusaha menerima keadaan, namun tetap saja ada yang mengganjal. "Aku mau keluar!" Pamit Albi yang berjalan ke arah pintu. Menggeser pintu itu tanpa menunggu jawaban dari siapapun yang ada di dalam ruangan. Albi benar-benar keluar dari ruang rawat Ibunya. Berjalan menyusuri lorong dan masuk ke lift. Sepertinya, aroma kopi bisa menolongnya dari badmood ini. Meninggalkan ruangan Ibunya memang sangat tepat—dia tidak mau terlibat dengan drama yang membuatnya muak. Tentang Indi atau Ibunya, sama-sama bukan urusannya. Walaupun Albi berusaha tidak peduli, sesekali dia akan sangat peduli kepada nasib keduanya. Ibunya yang sakit dan Indi yang terpenjara. Albi keluar dari lift, berjalan keluar menuju taman rumah sakit yang ditumbuhi pohon-pohon besar—tempat di mana dia merasakan sebuah kenyamanan yang sudah sangat lama tidak dirasakannya. Bahkan Albi tidak percaya bahwa dirinya memeluk Shena, cewek yang sangat dibencinya dulu. Cewek yang hampir membuat usahanya bangkrut dan cewek yang sombong, namun menjadi pacarnya. "Shena lagi ngapain, ya?" Tanya Albi pada dirinya sendiri ketika dirinya menduduki kursi yang sama seperti yang mereka duduki semalam. "Dia pasti baru sekolah! Gue kirim pesan aja deh." Sambung Albi dan menarik ponselnya dari dalam saku. Sayangnya ponsel itu sudah mati, karena kehabisan baterai. "Ah, kurang ajar! Baru juga penting, malah mati." Gerutu Albi sambil menatap ponselnya. Albi mulai merindukan Shena? Entahlah! Tetapi mungkin saja itu karena mereka pacaran, bukan? Sebuah formalitas! •••••
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN