55

1203 Kata
TITIK TEMU [55] Hubungan antara... _________________________ Shena bangun dengan mood yang baik. Wajahnya yang biasa mendung berubah menjadi cerah. Bahkan dia lupa mengganti pakaiannya. Padahal, biasanya dia harus menggunakan piyama tidur. Tapi khusus semalam, Shena tidak melakukan hal-hal yang biasa dia lakukan. Mungkin benar adanya, melakukan sesuatu yang berbeda tidak sepenuhnya buruk. Shena menikmati waktunya bersama dengan Albi, semalam. Menikmati malam, ralat, tengah malam bersama, duduk bersama, bercerita, saling berbagi kesedihan, berpelukan, berboncengan, dan ... menguatkan. Bukankah orang yang paling tahu perasaan kita adalah orang yang sama-sama merasakan penderitaan seperti kita? Sama halnya dengan Shena yang merasa bahwa Albi memang mempunyai perasaan terluka yang sama seperti dirinya. Hanya saja, kasus dalam kehidupan mereka berbeda. Albi mengatakan kepada Shena tentang rasa lelah—Shena pun merasakannya. Kadang dia juga merasa sangat lelah tanpa alasan. Bahkan dia bisa marah kepada siapapun, padahal mereka tidak bersalah. Setelah selesai bersiap-siap, Shena berjalan ke arah meja makan. Untuk bertahun-tahun lamanya, baru hari ini Shena datang sendiri ke meja makan untuk sarapan bersama. Cewek itu menarik salah satu kursi yang berhadapan dengan Melia—membuat perempuan itu bingung melihat tingkah laku sang putri. Tidak biasanya Shena mau duduk dalam satu meja bahkan berada dalam satu ruangan dengannya. Biasanya Shena akan menghindarinya atau sesekali mengusirnya walaupun secara halus. Erlangga pun sama, dia menatap Shena dengan tatapan tidak percaya. Karena Shena duduk bersama dengan mereka adalah sebuah hal yang cukup mustahil. Mengingat bagaimana keras kepalanya Shena dan rasa tidak suka Shena kepada Melia, membuat hal ini terasa tidak mungkin. Padahal, Shena harus dipaksa terlebih dahulu baru mau makan bersama, itu saja dengan wajah terpaksa. Namun hari ini, mereka melihat wajah Shena yang cerah dan sikapnya yang hangat. "Mau sarapan apa, Nak?" Tanya Melia memecahkan keheningan diantara mereka semua. Melia hanya sedang berusaha untuk menjadi ibu yang baik untuk putrinya, putri sambung. Shena menatap Melia, "nasi goreng telur mata sapi." Baik Erlangga dan Melia, mereka sama-sama kaget dengan jawaban Shena yang tiba-tiba. Bahkan Shena mau menjawab pertanyaan Melia. Dan hal sekecil itu, mampu membuat Melia tersenyum. Dia benar-benar bahagia hanya karena Shena mau menjawab pertanyaan. "Hm ... boleh Bunda yang buatkan sarapannya?" Tanya Melia dengan hati-hati. Shena mengangguk kecil. "Oke ... Bunda akan buatkan. Sebentar!" Jawab Melia dengan perasaan yang membuncah. Dalam sejarah, belum pernah Shena mau dibuatkan makanan atau apapun oleh Melia. Shena tidka mengijinkan Melia memberikannya makanan dan minuman. Walaupun kadang-kadang, Melia datang ke kamar Shena dan membawakannya s**u. Sayangnya, Shena tidak selalu meminumnya. Kecuali jika untuk memaksa Melia segera pergi dari kamarnya. Tentu saja Shena akan langsung meminum habis susunya sambil mengusir Melia dengan halus namun menusuk. Beberapa pelayan yang menyiapkan sarapan pun menuangkan air putih di gelas Shena. Menatap Nona mereka yang tumben-tumbenan sarapan pagi ini. Namun mereka merasa senang karena Shena akhirnya mau kembali seperti dulu. Walaupun masih ketus dan kadang suka marah-marah. Tapi, dengan adanya Shena di meja makan pagi ini, seperti keajaiban yang dari dulu mereka tunggu. Karena terakhir kalinya Shena mau duduk bersama dengan Erlangga, secara sukarela—adalah sepuluh tahun yang lalu. Sebelum Shena kehilangan Ibu kandungnya. "Hari ini Shena enggak mau diantar sama Simon. Shena juga enggak mau Papi nyuruh orangnya Papi untuk membuntuti Shena kemana-mana." Tandas Shena dengan menatap Erlangga yang sibuk dengan ponselnya, memantau sesuatu. Erlangga meletakkan ponselnya di atas meja, "hm ... baiklah! Papi akan mengijinkan kamu hari ini saja untuk bebas. Tapi setelah hari ini, seperti biasanya; Simon mengantarkanmu kemana-mana." "Setuju!" Jawab Shena dengan menampakkan senyumannya. "Hm ... Papi senang kamu banyak berubah setelah pindah ke sekolah yang baru. Apalagi kamu mau bawa teman-teman sekolahmu ke rumah. Papi rasanya jauh lebih lega dan bisa sedikit tenang karena anak Papi akhirnya punya teman juga." Ucap Erlangga yang membuat Shena memfokuskan pandangannya pada Papinya itu. "Papi juga sudah dengar dari Simon kalau kamu berhenti sementara dari Watching untuk membuat video. Papi cuma mau bilang, lebih baik kamu kerjakan semua pekerjaan kamu sekarang dan benar-benar berhenti besok. Karena ini bukan masalah uang. Tetapi masalah tanggungjawab. Jangan mencoreng nama baik kamu sendiri." Sambung Erlangga serius. Shena menghela napas panjang, "ini semua demi reputasi Papi? Supaya anak Papi tidak dikatakan sebagai orang yang tidak bertanggungjawab dan tidak profesional dalam bekerja. Iya, 'kan? Kenapa tidak diselesaikan dengan uang? Seperti biasanya? Bukankah itu cara kerjanya? Shena membuat masalah dan Simon akan maju memberikan sejumlah uang untuk membersihkan nama Shena. Ralat, nama Papi." Erlangga memegang pundak Shena sambil tersenyum, "walaupun cara Papi salah, tapi tidak ada orang tua yang akan membiarkan anaknya mendapat masalah. Papi hanya berusaha untuk menyelesaikan masalah-masalah yang nantinya berpotensi menghancurkan nama baik anak Papi. Hanya itu! Karena sejahat-jahatnya orang tua, mereka selalu punya insting untuk terus melindungi anak mereka." "Papi melindungi Shena?" Tanya Shena dengan wajah sinisnya. "Lalu, memisahkan Shena dengan Mami dan Kak Rey itu sebuah cara melindungi Shena?" Sambung Shena menatap Erlangga dengan tajam. Erlangga mengelus kepala Shena dengan pelan, "terkadang ... orang tua akan melakukan kesalahan. Namun, menyelamatkan anak dari kesalahan orang tua itu adalah keharusan. Papi enggak akan memberitahumu atau membela diri, karena lebih baik seperti ini. Yang jelas, Papi tidak pernah melakukan apapun yang ada di dalam pikiran kamu. Bunda pun tidak terlibat dalam permainan ini, Shen." "Kenapa Papi bilang ini sebuah permainan?" "Lalu ... Papi harus menyebut ini sebagai apa?" Tanya Erlangga dan kembali mengambil ponselnya. "Ini pembahasan yang sulit dan runyam. Lebih baik kamu belajar tentang anatomi tubuh manusia dan juga aljabar, daripada memikirkan tentang hubungan Mami dan Papi yang sudah lama tidak terjalin." Sambungnya dengan wajah sedih. "Lalu bagaimana dengan Kak Rey? Mungkin hubungan Papi dan Mami bisa berakhir dengan perceraian. Tapi hubungan antara aku dan Mami, atau antara Papi dan Kak Rey, tidak akan terputus. Apalagi hubunganku dan Kak Rey. Kami berdua bersaudara, bagaimana bisa kalian memisahkan kami?" Tanya Shena menahan air matanya. "Kenapa Papi diam aja? Kenapa enggak bisa menjawab apa yang Shena tanyakan? Bagaimana bisa kalian berdua memisahkan aku dan Kakakku sendiri? Bahkan aku enggak tahu bagaimana wajah Kak Rey lagi. Aku enggak tahu harus mencarinya di mana..." Ucap Shena terbata-bata. Erlangga menarik Shena ke dalam pelukannya. Mengelus kepala sang anak dengan lembut. Bahkan sudah lama mereka tidak berpelukan seperti ini. Karena terlalu panjang benteng pertahanan diantara mereka, sehingga tanpa sadar membuat jarak yang besar. "Apa yang harus aku lakukan, Pi? Setidaknya pertemukan aku sekali saja dengan Kak Rey. Bukankah Papi bisa menemukan semua orang yang Papi inginkan dengan bantuan dari orang-orang Papi. Jadi ... tidak sulit untuk menemukan Kak Rey, 'kan? Kalau memang Papi tidak bisa lagi kembali dengan Mami, enggak pa-pa. Yang paling penting, aku bisa ketemu sama Kak Rey. Boleh ya, Pi?" Rengek Shena seperti anak kecil yang meminta dibelikan balon. Erlangga menghela napas panjang dengan menatap Shena, "maafkan Papi. Papi tidak bisa melakukannya. Walaupun Papi bisa menemukannya, Papi tidak akan mengijinkan mereka bertemu dengan kamu. Maafkan Papi, Shen." Erlangga meninggalkan meja makan begitu saja. Meninggalkan sang putri yang masih menangis sesenggukan sambil menatap kepergiannya. "Shen, kamu kenapa?" Tanya Melia sambil menatap Shena yang sedang menangis sendirian. Shena tidak menjawab, cewek itu memilih mengambil nasi goreng yang dibuatkan Melia dan memakannya dengan lahap. Shena sadar satu hal; masakan Melia adalah masakan terenak yang pernah dia makan. Rasa seperti ini adalah rasa makanan yang memang dibuat oleh Ibu. Rasanya berbeda dengan yang lainnya. •••••
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN