Pilihan Yang Sulit
“Cepat buka sekarang!”
Sonya segera membuka setiap kancing bajunya sembari melihat ke arah anaknya yang masih tertidur. Baru saja dia akan bangkit dari tempat tidur untuk mulai membuatkan sarapan, namun tangan suaminya dengan cepat menangkap tubuhnya hingga kembali terbaring.
Tangan Andra dengan cepat bergerilya begitu kancing-kancing baju Sonya terbuka. Andra begitu menikmati setiap jengkal tubuh indah wanita yang sedang berada di bawahnya itu. Namun ketika kenikmatan itu hampir saja memuncak, suara seorang anak terdengar menggelegar di ruangan kamar mereka.
“Ck!” Andra berdecih kesal sambil mengepalkan tangannya.
Sonya sontak melihat ke arah anak mereka yang terlihat gelisah dan menangis.
“Abaikan anak itu. Aku sudah sangat nanggung!” cegah Andra.
“Tapi, Mas..”
“Puaskan aku dulu, Sonya!” hardik Andra yang sudah menggeram karena hasratnya yang belum tuntas.
Sonya memilih menurut dari pada Andra mengamuk, memukulinya dan memaki anaknya lagi seperti biasa.
Raungan Reyna terdengar semakin menjadi. Wajah Reyna sampai memerah dan bergetar. Sonya segera mengambil anaknya dan mengabaikan Andra.
“Sebentar, Mas. Aku tenangkan Reyna dulu. Kasihan dia histeris. Takutnya malah jadi demam,” ucap Sonya.
“Dasar anak cacat pembawa sial!” umpat Andra tanpa rasa bersalah. Emosi sudah menguasainya.
Andra segera melangkahkan kakinya masuk ke dalam kamar mandi meninggalkan Sonya yang terdiam membeku.
Ucapan suaminya barusan bagaikan petir yang menyambar langsung ke hatinya. Dengan cepat di tenangkannya anaknya itu sembari memakai kembali pakaiannya.
Andra Gilang Artawilaga, suami yang menikahinya empat tahun itu berubah drastis sejak Sonya melahirkan buah cinta pertama mereka. Dia semakin kasar dan penuh rahasia.
“Mana sarapannya, Dek?” teriak Andra dari ruang makan yang berhasil membangunkan kembali anak mereka yang tadinya berhasil kembali tertidur.
Sonya segera menggendong kembali anak mereka sebelum tangisannya kembali terdengar dan membuat Andra marah.
“Maaf, Mas. Aku belum sempat masak. Reyna rewel dari tadi.”
“Letakkan anak sial itu dan lakukan kewajibanmu!”
“Mas, berhentilah menyebut kata itu pada Reyna. Dia anakmu, Mas!” Sonya tidak tahan dengan hinaan yang di tujukan pada anaknya itu.
“Dia aib. Aku tidak ingin punya anak seperti itu!” amarah Andra membuncah. Dia mengamuk sejadi-jadinya bahkan melemparkan apapun yang ada di dekatnya ke arah Sonya yang sedang menggendong Reyna.
Setelah puas melampiaskan amarahnya, Andra segera pergi dari rumah itu bersama mobilnya. Sonya menutup matanya. Air matanya tumpah seiring dengan suara tangisnya yang sebisa mungkin di tahannya.
Banyak yang mengatakan bahwa Sonya dan Andra merupakan pasangan yang begitu serasi. Cantik dan tampan. Pekerjaan Andra sebagai petinggi sebuah perusahaan membuat harga diri mereka semakin bergengsi. Siapa yang tahu banyak hal tragis dan menyedihkan di balik itu semua.
Sonya segera menghapus air matanya. Sebuah senyum terukir di wajahnya sambil menatap wajah anaknya yang tergugu. Wajah mungil itu terlihat lelah karena menangis kuat tadi. Tak lama kemudian mata mungil itu kembali tertidur dalam dekapan Sonya.
Dengan pelan Sonya melangkahkan kakinya kembali ke dalam kamar dan membaringkan anaknya kembali di atas tempat tidur. Menatap wajah mungil nan polos yang sedang tertidur itu membuat air mata Sonya kembali menganak sungai.
Tak berselang lama, Sonya mendengar derap langkah kaki masuk ke dalam rumahnya. Dengan cepat di hapusnya jejak air mata yang ada di pipinya kemudia berjalan keluar dari dalam kamar.
“Adek lagi ngapain? Sudah makan?” tanya Andra yang datang mendekati Sonya.
Sebuah ciuman hangat mendarat di puncak kepala Sonya.
“Mas bawa makanan kesukaan adek.” Andra meletakkan makanan itu diatas meja.
Sonya menatap Andra lama. Seakan bingung siapa yang sekarang ada di hadapannya.
“Kok diam aja sih dek? Ini makan dulu selagi Rey tidur.”
Sonya mengambil piring yang ada di atas meja dan menyalin makanan yang tadi di bawa oleh suaminya.
“Setelah ini kita jalan-jalan ya. Kamu gak usah masak. Kita makan di luar saja,” ucap Andra.
Sonya masih terus terdiam. Andra memang selalu begitu. Sikapnya akan kembali manis seakan tidak ada hal buruk yang telah terjadi. Dia tidak akan merasa bersalah telah menorehkan luka yang hampir setiap hari di lakukannya.
“Hari ini Rey ada jadwal konsul dengan dokter spesialis anak, Mas,” ucap Sonya singkat.
“Mas tidak ikut ke dalam?” tanya Sonya sambil melepaskan seatbelt yang terpasang di tubuhnya begitu mobil yang dikendarai oleh suaminya berhenti tepat di depan rumah sakit.
Sonya sebenarnya sudah tahu apa yang akan menjadi jawaban dari pertanyaanya. Dia hanya berharap tiba-tiba datang keajaiban dalam hati suaminya saat itu.
“Tidak. Mas banyak pekerjaan. Kalian pulang dengan taksi saja. Mas tidak bisa menjemput kalian nanti,” jawab Andra. Sangat pas dengan dugaan Sonya.
Sonya menganggukkan kepalanya. Tidak ada raut sedih ataupun protes yang keluar dari dalam mulutnya. Dia sudah terbiasa dengan hal itu. Malah dia akan sangat terkejut jika yang terjadi adalah hal yang sebaliknya.
“Kami pergi dulu, Mas,” ucap Sonya sembari menengadahkan tangan kearahnya untuk meminta tangannya.
Andra mengulurkan tangannya tanpa melihat ke arah Sonya yang sedang menggendong Reyna. Begitu selesai mencium tangan suaminya, Sonya segera keluar dari mobil.
Sonya menatap mobil yang bergerak menjauh, meninggalkan tempat dimana dia berdiri. Anak yang ada dalam gendongannya menggeliat, menyadarkannya dari lamunannya yang melayang.
“Oke, Sayang. Kita masuk sekarang ya. Ketemu dengan Dokter Ryan lagi. Kamu pasti senang kan?” Sonya tersenyum ke arah anaknya.
Sonya melangkahkan kakinya masuk ke dalam Rumah Sakit itu. Langkahnya terhenti begitu tiba di depan sebuah ruangan yang bertuliskan Poli Spesialis Anak.
“Selamat siang, Suster. Saya ingin berkonsultasi dengan Dokter Ryan hari ini. Saya sudah melakukan pendaftaran sejak tiga hari yang lalu,” ucap Sonya pada perawat yang bertugas di depan ruangan itu.
Perawat itu menatap Sonya beberapa saat.
“Mohon maaf, Bu. Dokter Ryan sudah meninggal dua hari yang lalu karena kecelakaan.”
Sonya tercekat mendengar ucapan dari perawat itu.
“Dokter Ryan meninggal?” tanya Sonya lagi seakan tidak percaya dengan apa yang didengarnya barusan.
“Benar, Bu. Tapi hari ini dokter spesialis anak yang akan menggantikan Almarhum Dokter Ryan sudah datang. Apa ibu bersedia untuk tetap berkonsultasi dengan dokter spesialis anak yang baru?”
“Innalillahiwainnailaihirojiun.”
Sonya terdiam beberapa saat. Padahal Reyna sudah sangat cocok dan dekat dengan Dokter Ryan. Sonya menganggukkan kepalanya. Tidak ada salahnya mencoba. Semoga Reyna juga cocok dengan dokter spesialis anak yang baru ini.
“Baik, Ibu tunggu antrian di sana. Nomor antrian ibu ke 15.”
“Terima kasih, Suster.”
Sonya berjalan menuju ke sebuah kursi panjang yang ada di depan ruangan poli anak itu dan menunggu gilirannya.
“Reyna,” panggil perawat yang baru saja keluar dari dalam ruangan periksa.
“Ya!” Sonya bergegas menggendong Reyna yang tertidur di dalam pelukannya dan berjalan mendekati pintu pemeriksaan.
Seorang perawat membuka lebar pintu ruangan itu agar Sonya bisa masuk ke dalamnya.
“Silahkan duduk,” ucap dokter spesialis anak yang akan memeriksa Reyna sambil tetap menunduk membaca rekam medis yang ada di tangannya.
Sonya berjalan menuju ke kursi yang ada di depan dokter itu dan menunggu sampai dokter itu selesai membaca rekam medis itu.
“Maaf, saya tadi sedang membaca rekam medis anak anda. Saya dokter spesialis anak yang baru menggantikan Profesor Ryan.” Dokter itu baru menyadari bahwa pasiennya sudah menunggunya sambil tangannya meletakkan rekam medis yang tadi di angkatnya untuk membaca lebih jelas.
“Perkenalkan nama saya Dokter David,” ucap Dokter itu tersenyum melihat ke arah pasien yang ada di depannya.
Tiba-tiba senyumnya memudar. Wajahnya berubah menegang bersamaan dengan ekspresi terkejut yang ditunjukkan oleh Sonya.
“David?” batin Sonya.
Mereka saling bertatapan beberapa saat sampai rengekan Reyna menyadarkan mereka berdua. Sonya spontan berdiri dari tempat duduknya dan menggendong Reyna.
David masih terus melihat ke arah Sonya. Tatapannya berubah melembut namun tersirat amarah di dalamnya. David menghembuskan napasnnya kemudian berdiri dari tempat duduknya.
“Boleh saya menggendongnya sebentar?” tanya David pada Sonya yang kelihatan kewalahan menenangkan Reyna.
“Dia sulit ditenangkan jika sedang tantrum, Dam,” ucap Sonya. Dia tidak enak jika nanti Reyna membuat David kewalahan membujuknya.
“Tidak apa. Aku sudah sering menangani anak seperti ini.” David bersikeras ingin menggendong Reyna.
Sonya meluluh. Dengan perlahan diserahkannya Reyna dari gendongannya pada David.
David menyambut Reyna ke dalam pelukannya. Dengan luwes dan lembut David mengelus punggung Reyna sambil mendendangkan sebuah irama yang tenang dan merdu.
Hanya dalam hitungan detik, David sudah bisa menenangkan Reyna. Sonya tercekat melihat kelihaian David dalam menenangkan Reyna.
“Anak cantik, dokter periksa boleh?” tanya David dengan lembut sambil terus memeluk dan mengelus pelan punggung Reyna.
Reyna menganggukkan kepalanya perlahan. David tersenyum kemudian membaringkan Reyna di tempat tidur yang biasa di gunakannya untuk memeriksa pasien.
David mulai mengambil stetoscopenya kemudian memeriksa Reyna. Setelah selesai memeriksa detak jantung Reyna, David mengalungkan kembali stetoscopenya.
David mengambil senter kecil yang selalu ada di dalam kantong jasnya dan memeriksa mata Reyna.
“Sudah. Terima kasih Reyna,” ucap David sambil mengusap puncak kepala Reyna dan menggendongnya.
David memberikan Reyna pada Sonya dengan lembut.
“Bagaimana keadaan Reyna, Dam?” tanya Sonya sambil duduk kembali di kursi yang ada di hadapan David.
“Untuk permasalahan mata yang di alami Reyna karena merupakan kelainan yang di bawa sejak lahir, maka satu-satunya solusi yang bisa saya anjurkan adalah transplantasi mata. Dan untuk kebocoran pada jantungnya, kita masih harus pantau kemajuannya. Kebocoran itu tergolong sangat kecil, kita berharap hal itu tidak terlalu mengganggu Reyna,” jelas David.
“Transplantasi?” tanya Sonya.
“Kita harus mencari donor yang tepat untuk Reyna mengenai hal itu.”
“Apa masih ada pertanyaan lagi?” tanya David. Kali ini dia dengan berani menatap mata Sonya.
“Tidak, Dokter. Sudah cukup. Saya permisi.” Sonya berdiri dari tempat duduknya.
“Saya akan meresepkan obat untuk jantung Reyna. Berikan jika gejala jantungnya kumat. Sebisa mungkin hindari apapun yang bisa menyebabkan batuk pada Reyna. Batuk bisa memperberat kerja jantungnya,” ucap David sembari menuliskan sesuatu di layar komputernya.
“Baik, Dokter. Terima kasih.”
“Sama-sama,” balas David sambil terus fokus pada layar monitornya.
Sonya berjalan keluar bersama perawat yang mendampingi David di dalam tadi.
“Dia benar-benar David, mantan kekasihku yang dulu kan?” batin Sonya sembari duduk di depan apotik rumah sakit, menunggu obat Reyna.
“Apa dia tadi tidak mengenalku? Kenapa dia bersikap seakan tidak mengenalku?”
“Dunia benar-benar sesempit ini. Bagaimana bisa kami bertemu kembali setelah dulu aku meninggalkannya begitu saja?”
“Apa dia masih sangat marah padaku?”
“Reyna Putri Artawilaga,” panggil petugas Apotik, menyadarkan Sonya dari lamunannya.
Sonya segera berdiri sambil menggendong Reyna dalam pelukannya untuk mengambil obat Reyna yang tadi di resepkan oleh David.
Setelah mendapatkan penjelasan mengenai etiket minum obat otu dari petugas apotik, Sonya pun berjalan menuju ke lobby rumah sakit untuk memesan taksi pulang.
“Dia datang sendirian? Kenapa tidak bersama suaminya?” gumam David sambil melihat Sonya dari balik dinding ruangan yang baru saja di lewati Sonya.