Prolog
"Awas kapal oleng. Si Babon lagi lewat."
"Lo montok kebablasan amat sih."
"Itu pipi atau tumor? Gede amat."
"Bon... Babon!"
Kalimat ejekan dan ledekan itu terasa begitu akrab di telingaku. Mungkin bibir mereka memang merasa biasa melontarkan kalimat itu, tapi tidak denganku. Sekalipun telingaku cukup sering mendengar kalimat cibiran yang dibungkus dengan bahan candaan itu, tapi hatiku tak akan pernah merasa terbiasa. Karena kalimat itu bukan hanya masuk ke telingaku, tapi juga menusuk hatiku hingga terasa begitu sakit.
Aku juga tak pernah menerima kalimat kekaguman atau pujian akan parasku. Mungkin pesonaku sebagai gadis memang telah tertutupi dengan besarnya ukuran ragaku. Mereka tak bisa melihat cantiknya hatiku, apalagi merasakan betapa baiknya kepribadianku. Aku tersisihkan, bahkan sebelum mulai mendekati mereka.
"Gue takut gak punya pacar nih," gumamku dihadapan Renata, sahabatku.
"Yah selama lo gendut, menurut gue sih gak bakalan ada yang mau sama lo."
Aku terdiam mendengar ucapan asal Renata itu. Namun diamnya aku bukan karena sakit hati akan perkataan sahabatku itu. Aku tau Renata tak memiliki niat jahat. Ia hanya langsung menyampaikan apa yang ada dikepalanya tanpa pikir panjang. Aku diam karna apa yang diucapkannya mungkin saja benar. Aku memang gendut dan mungkin karna itu aku tak terlihat memiliki daya tarik di mata para pria.
Namaku Bonita Hosiana. Namun sekarang aku hampir lupa dengan nama itu. Semua orang lebih memilih memanggilku babon, daripada menyapa dengan nama asliku, Bonita.
"Bon..." Ya, sapaan Bon itu sekarang terasa lebih terdengar seperti kata babon, daripada Bonita. Aku hampir tak bisa membedakan mana orang yang sedang tulus memanggilku dengan namaku atau yang sedang meledekku dengan kata babon.
Penderitaan karena ukuran tubuhku memang seringkali menjadi bahan humor orang-orang disekelilingku. Misalnya saat aku sedang terengah-engah di pelajaran olah raga, mereka justru mentertawakanku. Mungkin bagi mereka itu lucu saat aku mulai kepayahan berlari setelah satu menit. Namun bagiku tawa mereka justru membuat langkah kakiku terasa lebih berat untuk berlari.
Siapakah aku? Seorang pelajar atau justru sebenarnya seorang badut? Mengapa mereka selalu mengomentari gerak-gerikku, bahkan sampai mentertawakannya dengan keras. Sebegitu lucunya kah gerak-gerik orang gendut, hingga mereka tertawa terpingkal-pingkal ketika melihat caraku berjalan.
Aku sampai berpikir kalau menjadi gendut adalah sebuah kejahatan besar. Mereka seakan sedang memberikanku hukuman sosial yang tak mengenal jangka waktu. Apakah ini rasanya hukuman penjara seumur hidup? Jika iya, mungkin hukuman mati terasa lebih manusiawi untukku. Aku tak perlu merasa tersiksa seperti ini, setiap detiknya...
Bagaimanakah rasanya menjadi gadis langsing? Bagaimana rasanya menjadi gadis yang tak perlu bertanya bagaimana rasanya menjadi gadis langsing?