2 JODOH

1355 Kata
Badai merasa malas. Gerah. Harus menggunakan baju rapi. Kemeja di tambah dengan jas hitam. Pakaian kebesaran kalau harus bertandang ke rumahnya Opa Langit. Tapi mau bagaimana pun juga dia sangat menyayangi dan mengagumi papa dari papanya itu. Meski dia juga sudah tahu cerita yang sebenarnya kalau opa Langit hanya papa tiri. Tapi hal itu malah membuat Badai semakin kagum dengan Opa Langit.   Badai melepas kancing teratas yang menyiksa lehernya. Selama ini dia tidak pernah memakai kemeja. Pakaiannya sehari-hari hanya kaos oblong dan jins belel. Itu sudah nyaman untuknya.   "Assalammualaikum." Badai mengucapkan salam saat akhirnya sudah sampai di ambang pintu rumah keluarga besar Dirgantara itu. Dengan menyandang silsilah keluarga Dirgantara dia memang sebenarnya bangga.   "Waalaikumsalam. Eh cucu paling ganteng Oma udah datang."   Badai langsung tersenyum mendengar ucapan Omanya. Yang meski sudah setengah baya masih terlihat awet muda. Pantas saja opanya sangat memuja Oma Bumi.   "Sehat kan Oma?" Badai langsung mengecup pipi Omanya dan mencium telapak tangan Omanya itu. Kebiasaannya sejak kecil.   "Alhamdulillah. Tumben kamu ke sini. Biasanya juga jadwal kamu padat merayap."   Badai langsung menyeringai mendengar ucapan Omanya. Sambil membuka satu kancing lagi dia langsung memberi tahu Oma kalau dia ke sini atas panggilan Opa Langit.   "Dapat panggilan urgent ini katanya."   Tentu saja sang Oma langsung tersenyum maklum. "Iya bandel sih kamu. Nih rambut masih aja panjang kayak gini."   Omanya menyentuh rambut Badai yang kali ini di kuncir kuda. Badai kembali menyeringai.   "Keren kan Oma? Keren dong cucu siapa dulu. Opa Langit."   Omanya hanya menggeleng-gelengkan kepalanya. Lalu menepuk bahunya dan menunjuk ruangan yang sejak dulu di peruntukkan sebagai ruang kerja opanya itu.   "Oma tapi Badai nerveous nih. Opa gak akan cincang Badai kan?"   Sang Oma kembali tertawa. "Paling juga bakalan motong rambut kamu yang panjang ini."   Badai langsung memegang rambutnya.   "Wah kejem ini."   Oma Bumi langsung mendorongnya untuk melangkah menuju ruangan itu.   "Udah sana. Kamu sudah di tunggu."   Badai hanya kembali menganggukkan kepalanya.   "Doain Badai ya Oma."   Omanya hanya kembali tersenyum dan menggelengkan kepalanya.   Badai berdoa dalam hati sebelum akhirnya melangkah untuk masuk ke dalam ruangan itu. Sungguh, dia takut sebenarnya dengan opanya itu.   "Morning opaku yang ganteng."   Badai mengucapkan itu ketika membuka pintu. Dan mendapati sang opa sedang membaca koran di depan meja kerjanya.   "Badai. Masuk!"   Suara berwibawa opanya membuat Badai menurut. Dia langsung menutup pintu dan melangkah mendekati sang opa yang pagi ini tampak berwibawa. Sungguh opanya itu juga masih terlihat muda daripada usianya kini   "Opa gak ganggu kerjaan kamu kan? Biasanya juga kalau makan malam keluarga satu Minggu sekali kamu ya gak pernah datang."   Badai hanya tersenyum tipis saat di sindir tentang itu. Dia memang tidak pernah hadir setiap kali jadwal makan malam dengan keluarga besar Dirgantara. Soalnya tiap hari Sabtu malam. Dan itu lebih digunakan Badai sebagai acara kencan dengan ceweknya.   "Enggak opa. Kemarin-kemarin kan memang sibuk. Abisnya tiap malam Minggu, kenapa gak malam Jumat aja gitu."   "Badai..Badai.." opanya menggelengkan kepalanya lagi. Menatapnya dan kini menyipitkan mata.   "Itu rambut kamu belum juga di potong? Kamu gak dapat teguran apa dari atasan kamu?"   Badai langsung menyentuh rambutnya dan tersenyum.   "Ini kan jimat opa. Biar Badai selamat terus kalau nyelamatin orang dari kebakaran."   Ucapannya itu membuat opanya berdecak sebal   "Ngeles aja kamu. Paling juga buat jimat biar kamu bisa dapetin cewek. Ya toh?"   "Iihh opa." Badai tidak bisa berkutik kali ini. Dia hanya menyeringai lagi.   Opanya kini bersedekap dan menatapnya.   "Kamu beneran gak mau nerusin perusahaan opa?"   Badai langsung tahu apa yang akan dibicarakan. Pasti opanya mau membujuknya lagi.   "Opa, Badai gak bisa duduk di balik meja. Memegang komputer, atau ngitung macam-macam. Badai nyaman dengan ini opa. Kalau nerusin perusahaan ada yang lebih kompeten opa. Tuh si kembar tuh cerdas mereka." Badai jadi teringat anak-anaknya Tante Bulan dan Om Irgi. Si kembar yang cerdas itu memang cocok.   Sang opa langsung menggelengkan kepalanya.   "Ck ngaco kamu. Mereka mah sekolah aja belum lulus."   Opanya kini menghela nafasnya Tapi kemudian menatapnya dengan serius lagi.   "Ya udah kalau itu memang pilihan kamu"   Badai sudah tersenyum senang.   "Tapi sebagai cucu pria paling tua di sini kamu harus bisa memberi contoh kepada adik-adikmu yang lain. Opa tidak membenci pekerjaanmu Badai. Hanya saja kalau kamu memang tidak mau di arahkan. Setidaknya kamu cari wanita yang bisa kamu nikahi dalam waktu dekat. Setelah kamu menikah, opa akan angkat tangan mencampuri urusanmu. Itu saja. Selama kamu belum menikah opa pasti akan terus memaksamu untuk meneruskan perusahaan opa dan papamu."   ******   Pilihan yang sulit. Badai mengacak rambutnya dan kini menyesap kopi hitam yang ada di depannya. Suara musik menjadi latar belakang tempatnya duduk saat ini.   "Lo libur Dai? Biasanya juga jam segini Lo gak bisa ikut tampil di cafe ini."   Rendi teman satu bandnya langsung menepuk bahunya dan ikut duduk di depannya. Di cafe ini memang biasanya Badai manggung. Salah satu profesi sambilannya. Menyalurkan hobinya.   "Lagi off gue hari ini. Pusing." Badai menyesap kembali kopi hitamnya.   "Udah Lo sana deh. Itu udah mau manggung. Gue gak ikut ya," Badai menunjuk teman-teman lainnya yang kini sudah siap di atas panggung kecil yang ada di pojok cafe ini.   "Iyee tahu gitu kan dari tadi pagi Lo ikut latihan lah. Gue belum bisa gantiin Lo kalau nyanyi nada tinggi nih."   Badai tersenyum mendengar ucapan Rendi. Pria asli Bandung itu memang selalu jadi vokalis pengganti untuknya kalau dia tidak bisa ikut.   "Reeen buruan."   Teriakan Iwan gitaris di bandnya membuat Rendi langsung beranjak berdiri.   "Gue ke sana dulu ya Dai."   Badai mengangguk dan mengacungkan dua jempolnya ke arah Rendi saat pria itu melangkah meninggalkannya.   "Eh masnya boleh minta tolong gak?"   Badai baru saj menunduk dan akan menyesap kopinya lagi saat terdengar suara wanita.   Saat dia mengangkat wajahnya, dia langsung tersenyum ramah. Kebetulan ada wanita yang bisa mengalihkan kekalutannya saat ini.   "Iya nona manis ada apa?" Badai menatap wanita yang cantik dan seksi itu. Dengan rambut panjang sebahu yang tergerai itu. Wanita yang berdiri di depannya itu langsung tersenyum.   "Mau nunggu temen. Tapi pulsa aku habis. Mau nelpon gitu, masnya boleh pinjam pulsa eh ponsel sekaligus pulsanya?"   Badai tersenyum saat mendengar suara wanita yang penuh rayuan itu. Tapi tentu saja dia langsung mengeluarkan ponselnya dan memberikan ponsel miliknya kepada wanita itu.   "Take your time." Badai mengedipkan matanya. Saat wanita itu menerima ponsel miliknya dengan mata berbinar   "Ah masnya baik deh. Bentar ya mas."   Badai mengangguk lagi saat wanita itu sedikit menjauh darinya dan menelepon temannya.   sementara Badai kini mulai mengalihkan tatapannya ke arah panggung. Menikmati penampilan teman-temannya.   "Owh jadi begini ya kelakuanmu."   Tentu saja Badai terkejut saat mendengar suara seorang wanita lagi. Dia langsung menoleh ke arah suara itu dan mendapati Kakaknya Wanda, Embun sudah berdiri di depannya dengan tatapan galak.   "Memangnya kenapa? Bukan urusan Lo juga kali."   Badai kini mengangkat bahunya. Kesal dengan sikap Embun. Musuhnya selama hampir dua Minggu ini.   Embun terlihat sangat konvensional. Kali ini bahkan penampilannya makin membuatnya bosan. Dengan blouse yang longgar dan rok span yang menutupi lutut. Dan sepatu pantofel khas wanita pekerja. Rambutnya yang hanya di kuncir rapi itu makin membuat Embun terlihat tua dan membosankan.   "Owh bagus ya. Sementara Wanda di rumah sedang terbaring sakit, Lo di sini enak-enakan sama cewek lain. Bagus Lo.  Cari mangsa lagi buat ngehamilin anak orang?"   Badai langsung meradang mendengar tuduhan Embun. Ini sudah  diluar batas. Dia langsung beranjak berdiri. Menjulang di depan Embun yang hanya setinggi dadanya saja.   "Mulut tuh di jaga ya. Asal Lo tahu, gue belum pernah nyentuh adek Lo. Apalagi sampe buat dia hamil"   Badai langsung menunjuk Embun dengan kesal Tapi wanita di depannya ini terlihat sangat marah.   "Mas...maaf ini ponselnya ya."   Di tengah-tengah itu, wanita yang tadi meminjam ponselnya langsung mengembalikan ponselnya. Badai tersenyum manis kepada wanita itu. Yang di balas dengan senyuman genit. Tapi wanita itu sepertinya takut dengan Embun yang masih berdiri mengancam di depannya.   Badai langsung mengerang saat wanita itu langsung berpamitan. Hilang sudah kesempatan untuk merayu wanita itu.   "Nyesel mangsanya ilang?"   Ucapan sinis Embun membuat Badai kini mengalihkan tatapannya lagi kepada Embun yang kini tampak mengambil sesuatu dari tasnya.   "Lo gak bisa ngeles lagi kali ini. Gue nemuin ini di dalam tasnya Wanda semalam."   Badai langsung menatap benda yang di berikan kepadanya. Badai sampai mengerjap beberap kali saat benda itu sudah di pegangnya.   "Ini apaan? Bukankah ini alat tes kehamilan?"   Tentu saja Embun langsung mengangguk   "Dia positif hamil."  
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN