Chapter 2

2145 Kata
*POV JINAN* Sampai hari ini aku tidak berusaha mencari tahu kabar apa pun dari kampungku. Aku tidak tahu apa orang-orang di kampungku mencariku atau tidak. Sebelum aku lari dari rumah hari itu, aku hanya meninggalkan pesan pada secarik kertas yang kuletakkan di dalam kamar bertuliskan, "Ayah, maaf aku pergi tanpa pamit. Tidak usah repot-repot mencariku. Yang penting doakan aku baik-baik saja di manapun aku berada. Aku pergi dari rumah tidak dengan tangan kosong. Aku membawa uang tabungan ibu, serta uang hasil dari menjual perhiasan ibu yang diberikan oleh ibu untukku sebelum beliau bunuh diri. Terima kasih sudah merawatku selama 18 tahun ini. Aku tidak akan melupakanmu." Sudah dua minggu ini, aku tinggal di kosan Irza tanpa melakukan pekerjaan apa pun. Pekerjaan yang dijanjikan oleh Irza untukku ternyata sudah diisi oleh orang lain. Aku kalah cepat datang ke Jakartanya kata Irza. Namun, aku tidak berkecil hati. Aku tetap berusaha mencari lowongan pekerjaan lewat koran yang aku beli di toko alat tulis tidak jauh dari kosan Irza ataupun dari internet yang diakses lewat handphone Irza. "Duit lo tinggal berapa, Nan?" tanya Irza saat kami sudah menghabiskan nasi bungkus murah meriah yang dibelikan oleh Irza sepulang dia kerja. "Sekitar dua juta. Kenapa Ir? Kamu butuh uang? Maaf ya, jangan diminta dulu. Aku numpang dulu di sini. Nanti kalau aku sudah nemu pekerjaan, aku janji gaji pertamaku buat kamu semua untuk membayar hutangku selama numpang gratis di sini." "Lo ngomong apa, sih? Santuy aja kali ama gue. Maksud gue tuh, sisa duit yang lo bawa dari kampung itu kenapa nggak dibeliin smartphone kayak punya gue, nih, yang lebih murah ada kok, banyak malah. Mau yang baru ada, yang bekas juga ada. Pokoknya tuh ya, yang penting lo bisa teleponan dan internet-an sendiri tanpa mesti nunggu-nunggu gue pulang kerja. Gimana?" Awalnya aku ragu dengan saran yang diajukan oleh Irza. Namun, aku tidak punya pilihan lain selain mengangguk dan mengikuti langkah Irza yang akan membawaku untuk membeli ponsel pintar seperti milik Irza. Mungkin dengan begini memudahkanku memperoleh pekerjaan tanpa perlu merepotkan Irza lebih banyak lagi. *** Keesokan harinya Irza libur kerja. Dia mengajakku ke pasar kemudian menuju toko handphone kenalannya. Kami menggunakan angkutan umum sebagai sarana transportasi menuju pasar. Motor yang pernah digunakan oleh Irza untuk menjemputku waktu itu ternyata milik teman kosnya yang lain. Sayangnya motor tersebut sedang digunakan oleh pemiliknya saat Irza hendak meminjamnya semalam. Sesampainya di toko handphone tujuan Irza, aku melihat banyak sekali merek dan jenis yang sama sekali tidak pernah aku ketahui letak perbedaan masing-masing barang tersebut di mana. Tokonya juga jauh lebih besar dari toko handphone yang ada di desaku. Sekitar setengah jam kami berada di toko ini, Irza mendapatkan handphone yang sesuai dengan kebutuhan dan kondisi keuanganku. Irza akan mengajariku mengoperasikan benda pipih ajaib tersebut setelah kami pulang ke kosannya. Setelah selesai Irza tidak mengajakku langsung pulang ke kosan. Dia mengajakku makan siang terlebih dulu di warteg masih di sekitar pasar lalu mampir ke warnet tidak jauh dari gang tempat kosan Irza berada. Di warnet Irza terlihat serius menatap layar monitor di hadapannya. Sesekali dia menggigit kuku jarinya. Membuat aku mulai jijik dengan kebiasaannya yang satu itu. "Jorok, Ir," ujarku menarik jari telunjuk Irza dari bibirnya. Dia hanya menyeringai lalu fokus kembali pada komputer. Aku tidak banyak bertanya pada apa yang tengah dilakukan oleh Irza saat ini. Dia hanya bilang kalau sedang menyebar lamaran pekerjaan di perusahaan yang membutuhkan tenaga kerja berpengalaman seperti Irza. Namun entah kenapa dia tidak menawariku melakukan hal sama yang tengah dia lakukan saat ini. Mungkin pekerjaan itu tidak sesuai dengan kemampuan, pengalaman serta jenjang pendidikanku. Begitu pikiran sederhanaku. "Kenapa foto yang dikirim mesti pakai baju-baju seksi gitu?" tanyaku ketika Irza mengunggah fotonya sedang mengenakan rok mini separuh pahanya dan baju model kemben yang hanya menutupi p******a hingga punggungnya saja. "Ya biar perusahaan yang sedang membutuhkan SDM kayak gue tertarik. Penampilan itu penting di bidang ini," jawabnya lalu tersenyum sambil mengerlingkan sebelah matanya. "Apa aku perlu membuat foto seperti kamu supaya diterima bekerja di perusahaan-perusahaan tempat aku mengirim lamaran pekerjaan ya, Ir? Menurutmu bagaimana? Selama ini kan aku cuma mengandalkan foto ukuran postcard dengan gaya standar foto KTP." Irza terbatuk, mengibaskan jemarinya ke udara lalu berkata, "nggak perlu lah. Kecuali kalau lo mau melamar pekerjaan di perusahaan seperti gue sekarang ini." "Apa aku boleh melamar di tempat kamu melamar pekerjaan juga, Ir?" "Jangan, Jinan! Nanti kalau udah kepepet, lo nggak dapat pekerjaan, dan duit tabungan lo habis, baru gue perkenalkan lo sama perusahaan ini." Aku hanya mengangguk paham. Irza tidak lagi mengajakku membicarakan soal perusahaan tempatnya melamar pekerjaan tersebut. Lima belas menit berlalu, Irza sudah selesai lantas mengajakku pulang ke kosannya. Kami hanya membutuhkan waktu sekitar sepuluh menit dengan berjalan kaki melewati gang-gang sempit, rumah-rumah yang saling berhimpitan, dan jembatan dengan sungai keruh di bawahnya untuk sampai ke kosan Irza. *** "Siapa orang pertama yang pengen lo hubungi saat ini?" tanya Irza setelah handphone baru milikku sudah bisa dioperasikan. Aku berpikir sejenak. Memangnya ada orang yang ingin aku hubungi saat ini? Orang rumahku tentu tidak mungkin. Menjilat ludah sendiri namanya kalau sampai menghubungi salah satu orang yang bisa membantuku memberi kabar pada Ayah dan Bibiku di kampung tentang kondisi dan keberadaanku saat ini. Akhirnya aku hanya menggeleng lemah lalu meminta handphone-ku pada Irza. "Lo yakin?" Irza memastikan. "Cowok yang waktu itu ngebantuin lo? Siapa deh namanya? Dani ya?" tanya Irza lagi. "Aku nggak punya nomor handphone cowok itu." "Gue masih nyimpan nomornya," jawab Irza antusias. Aku menahan senyum kemudian mengangguk senang. Seperti kerbau dicucuk hidungnya aku menurut begitu saja semua hal yang disarankan oleh Irza. Untuk saat ini hanya Irza yang aku punya, dia satu-satunya yang bisa aku percaya. Dia lebih dari sekadar dewi penolong bagiku. Dia malaikatku. Biarlah meski dikata aku terlalu hiperbola. Karena kenyataannya memang seperti itu. Aku tidak tahu bagaimana jadinya aku tanpa Irza. Hidup di kota sebesar Jakarta hanya sebatang kara. Hal yang aku suka dari Irza dia tidak memaksakan diri supaya aku menuruti semua sarannya, dia juga tidak ingin tahu terlalu jauh soal kehidupanku dan aku juga tidak terlalu ikut campur urusan dia. Sampai hari ini kami berusaha saling menjaga privasi masing-masing. Meskipun tidak dapat dipungkiri kadang hatiku suka tergelitik untuk berpikiran apa tujuan Irza sebenarnya sampai bersikap begitu baik padaku. Dia rela membagi penghasilan dan tempat tinggalnya denganku yang notabene hanyalah orang asing yang menumpang hidup padanya. Memang aku tidak tinggal gratisan banget juga. Aku membantu Irza dengan selalu memastikan kamar kosannya  dalam keadaan rapi dan bersih. Di mana sebelum aku datang, kamar kos Irza ini termasuk kotor, berantakan dan jorok. Selain itu aku juga membantu Irza meringankan biaya pengeluaran untuk makan sehari-hari. Caranya dengan memasak menu makanan rumahan untuk kami berdua setiap harinya. Kata Irza dia bisa menghemat hampir setengah dari biaya makannya selama seminggu sejak ada aku di kosnya, sebagai juru masak untuk kami berdua. "Nggak diangkat, nih," kata Irza setelah dua kali menghubungi nomor handphone Dani. "Tidur mungkin, atau sedang sibuk," jawabku. "Lagi sama ceweknya kali ya, jadi takut terima telepon dari nomor asing," ujar Irza lalu tertawa. "Atau mau coba pakai hape gue? Kali aja doi masih nyimpen nomor gue?" sarannya setelah tertawa. "Coba deh." Irza kemudian meraih handphone-nya sendiri dan mulai menghubungi Dani. Benar saja, baru nada sambung panggilan pertama masuk, suara berat Dani sudah memenuhi kotak pengeras suara handphone. Hal itu tiba-tiba membuatku tersenyum tersipu. Irza yang melihatku hanya mengernyitkan alisnya lalu tertawa kemudian. "Ada apa, Nan? Kamu nggak kenapa-kenapa, kan?" tanya Dani dari panggilan telepon saat dia menyapa hallo, tapi tidak ada jawaban dari aku maupun Irza. Aku masih mencoba menata irama detak jantungku setelah mendengar suara berat Dani yang tenyata masih menyimpan nomor Irza sebagai kontak nomor handphone-ku. Menahan tawanya Irza menyerahkan handphone-nya kepadaku. Aku menerima sambil menahan senyum tanpa alasan. "Barusan aku telepon kamu. Pakai nomor handphone aku sendiri. Tapi kamu ndak nerima panggilan teleponku," ujarku setelah menerima handphone dari Irza. "Oh, jadi kamu yang barusan telepon. Sorry, aku jarang terima panggilan telepon dari nomor asing. Baguslah kalo kamu sudah punya handphone sendiri. Nanti aku simpan nomor kamu," jawab Dani. Aku malah mengangguk tanpa berkata apa pun. Irza yang melihat tingkah bodohku melempar wajahku dengan handuk, lalu mendelik kesal padaku. Aku hanya balas dengan mengedikkan kedua bahuku. "Aku tutup telponnya ya. Soalnya handphone Irza mau dipakek sama yang punya." "Iya tutup aja. Nanti malam aku telepon balik, boleh?" "Boleh-boleh aja, makasih." Dani malah tertawa dari seberang telepon. "Lucu deh, kamu. Bye Jinan," ujarnya lalu sambungan telepon diakhiri sendiri oleh Dani. "Kayaknya lo suka sama cowok yang namanya Dani itu. Ganteng nggak?" tanya Irza padaku. "Kalau kataku ganteng, kan Dani cowok. Kalau cantik, cewek dong kayak kita-kita ini," jawabku apa adanya. Irza menggeleng lalu mengusap wajahnya. Dia memilih bergegas mandi daripada meladeni aku dan keluguanku. *** *POV AUTHOR* Dani menahan senyum setelah menerima panggilan telepon dari Jinan. Laki-laki di samping Dani, yang merupakan sahabatnya merinding dan mengedikkan bahu beberapa kali melihat Dani yang terus tersenyum sambil menatap layar ponselnya. "Sakit lo?" tanya Sagara, sahabat Dani itu sambil menempelkan punggung tangannya di depan kening Dani. "Anjir! Gue sehat walafiat, Sagara," jawab Dani seraya menepis tangan Sagara dari keningnya. "Habis telepon siapa lo?" "Ada lah. Lo nggak boleh tau." "Urusan lintas kelamin nih kayaknya." "Bangkeee! Lintas kelamin lo bilang? Nggak ada istilah lain apa?" "Bereaksi kan lo? Berarti gue bener. Siapa tuh? Cantik nggak?" "Bukan tipe lo yang jelas." "a***y! Lo tau tipe gue, emang?" "Iya lah. Tuh, tipe lo yang kayak begitu," ujar Dani lantas menunjuk salah satu dosen perempuan yang baru saja keluar dari mobilnya, berpenampilan modis, terkenal killer, dan sudah berkeluarga, sedang melangkah anggun menuju ruang dosen. Sagara hanya tertawa lepas lalu menonjok bahu Dani. Sampai dosen tersebut menghilang di balik pintu ruang dosen, Sagara terus tertawa seolah sedang membenarkan ucapan Dani soal tipe perempuan favoritnya. "Kalau yang begitu gue cuma kagum doang, boy! Kalau yang sampe naksir belum ada." "Ya tapi kan tetep aja yang modelnya seperti itu demenan lo. Yang lebih dewasa dari lo, ya kan? Mending suka sama dedek gemes kayak itu, Ga! Cute dan manis. Apalagi pas lagi ngerengek manja, dan merasa sangat membutuhkan kita," ujar Dani lantas menunjuk kumpulan mahasiswi, adik tingkat mereka yang sedang berkumpul, mengobrol dan bercanda entah membahas apa. Namun tawa Dani seketika pecah melihat ekspresi jengah yang ditampilkan oleh wajah Sagara. "Segitu nggak sukanya lo sama dedek gemes, Ga?" tanya Dani di sela tawa lepasnya. Sagara berdecak kesal setelah sadar sahabatnya itu sedang mengejeknya. "Ribet kalo urusan sama bocah. Mending sama yang udah berpengalaman. Kita nggak perlu repot-repot mengurus dan membimbing. Malah kita nanti yang diurus dan dibimbing. Enak kan?" Dani kembali terbahak kemudian beranjak dari duduknya. Membahas soal perempuan yang tipenya berbeda dari laki-laki seumurannya seperti Sagara memang tidak akan ada habisnya. Dani lebih memilih menghentikan pembicaraan ini daripada nantinya meluber ke mana-mana. Meski telah berteman cukup lama, Dani dan Sagara memang memiliki standar berbeda dalam memilih tipe perempuan yang mereka suka. Dari kampusnya, Dani menyempatkan diri mampir ke toko kue milik mamanya, kebiasaannya sebelum pulang ke rumah. Dia disambut dengan senyum sumringah oleh Ana yang tahu jadwal Dani menghampirinya di toko. "Mau cake? Donat?" tawar Ana menyebut camilan manis kesukaan Dani, sambil mengajak Dani duduk di salah satu sofa pengunjung yang ada di sudut ruangan. Dani menggeleng seraya mengusap perut datarnya. Ana hanya balas dengan senyum keibuan seraya mengusap rambut anak laki-lakinya itu. Dani sama sekali tidak merasa risih jika di usia yang sudah memasuki angka 21 itu masih diperlakukan semanja itu oleh Mamanya. Bahkan dia tidak peduli meski kedua tantenya kerap mencibir sikap manja Dani yang tidak tahu waktu dan tempat itu. "Ramai hari ini, Ma?" tanya Dani. "Seperti biasa aja. Ramai bangetnya kalau weekend." Dani ragu ingin bertanya soal lowongan pekerjaan yang sedang dipusingkan oleh Jinan pada Mamanya. Saat perjalanan dari kampus menuju Ana's Bakery, toko kue milik Mamanya, Jinan sedikit mengeluh melalui chat kalau sedang membutuhkan pekerjaan. Dani yang memiliki sifat dasar mudah iba pada orang lain, tentu saja ikut berpikir saat ada orang yang ia kenal sedang dilanda kesulitan hidup. "Kenapa, Dan? Tumben tanya toko ramai atau enggak?" tanya Ana menepuk wajah Dani saat mendapati putranya itu malah bengong. "Oh, itu, Ma. Eummh...," Dani makin ragu dan gelisah. "Ada apa, Dani?" "Ada temen Dani lagi cari kerjaan. Di sini masih ada lowongan kerja nggak?" Ana menghela napas lega kemudian menjawab, "Mama butuhnya pegawai perempuan tapi loh. Kalau cowok nggak butuh." "Ya emang yang mau cari kerjaan ini cewek, kok, Ma," jawab Dani semringah. "Bukan pacar kamu, kan?" "Ya bukan lah, Ma. Kenalan biasa." "Besok suruh aja ke sini. Mama mau lihat dulu seperti apa orangnya." Dani lantas tersenyum lebar, tangannya terulur untuk memeluk Mamanya. Ana tak tinggal diam, ikut membalas pelukan Dani. Pegawai Ana's Bakery yang kebetulan ada di luar dapur ikut tersenyum melihat interaksi hangat ibu dan anak di hadapan mereka. Beruntung toko sedang sepi dan belum ada pengunjung, sehingga adegan antara Dani dan Ana ini tidak seperti adegan sinetron yang terkesan berlebihan tetapi masih menarik minat penontonnya. ~~~ ^vee^
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN