Chapter 1

2044 Kata
*POV AUTHOR*   Hari ini adalah hari peringatan kematian mendiang ibu dari pemilik group perusahaan terbesar dan terkemuka di tanah air. Seluruh anggota keluarga Khawas sedang berkumpul di rumah utama pendiri Khawas Group. Masing-masing anggota sudah siap dengan pakaian serba hitam dan membawa rangkaian bunga yang akan diletakkan di atas pusara sang ibu.  Seorang wanita berusia pertengahan 40 tahun terlihat gelisah dalam duduknya. Beberapa kali dia mencoba menghubungi seseorang melalui ponsel pintarnya. Namun, nada sambung sibuk masih tetap dilontarkan oleh operator di seberang telepon.  "Anak itu sudah bisa dihubungi, Ana?" tanya pria berusia sebaya dengannya yang duduk di sampingnya. "Aku udah coba telepon bolak balik, tapi nggak diangkat, Mas." "Acara tidak akan dimulai kalau Dani belum hadir di tengah-tengah kita." "Iya, Mas Luthfi. Aku paham banget soal itu." Pria yang masih kelihatan gagah dan tampan di usia menjelang 45 tahun itu bernama Luthfi Khawas. Dia adalah putra sulung dari keluarga Khawas. Pewaris utama sekaligus pemilik sebagian besar saham Khawas Group. Khawas Group merupakan sebuah group perusahaan raksasa yang bisnisnya bergerak di berbagai bidang seperti pertambangan, pelayaran, kontraktor, perhotelan, dan kelapa sawit. Selain memimpin perusahaan-perusahaan yang didirikan oleh sang Ayah di bawah payung Khawas Group, Luthfi juga membuat perusahaan sendiri dengan nama Elka Group. Perusahaan tersebut bergerak di bidang properti, transportasi, event organizer, dan industri kreatif. Jika dihitung, maka Luthfi telah membawahi 7 perusahaan sejak usianya yang masih tergolong muda waktu itu, 27 tahun. Selain kaya, Luthfi gemar bersedekah. Ia juga mempunyai yayasan bernama Elka Foundation yang fokus membantu anak-anak Indonesia yang membutuhkan bantuan dana pendidikan. Yayasan tersebut dikelola oleh istri dan kedua adik perempuannya. Luthfi memang sangat mementingkan pendidikan. Di usianya yang hampir memasuki 40 tahun kala itu, dia berhasil menyelesaikan program doktornya. Kini putra semata wayang yang sedang dinantinya itu juga sedang menempuh pendidikan jenjang strata satu bidang komunikasi bisnis. Tak kalah tampan dan cerdas, putra semata wayang Luthfi yang bernama Daniyal juga memiliki segudang prestasi, terkenal ramah dan rendah hati. Siapa yang tak kenal Daniyal Wiryasatya Khawas atau yang akrab disapa Dani. Dari kalangan bawah hingga kelas atas mengenal karakternya yang nyaris sempurna. Dani terkenal karena prestasi dan kebaikannya terhadap kaum lemah dan tertindas. Dani kesayangan semua orang. Teman dan keluarganya. Selain baik, Dani juga menyenangkan dan membuat siapa saja betah berlama-lama berada di dekatnya. "Sudah mencoba hubungi temannya?" Luthfi bertanya lagi. Ana menggeleng lemah tak ketinggalan wajah penuh sesal di wajah ayu khas wanita dewasa seusianya. Bedanya wajah Ana belum terlalu banyak keriput karena perawatan intensif yang rutin di klinik kecantikan langganannya. Pakaian yang melekat di tubuh pun bukan pakaian sembarangan, hasil rancangan desainer terkemuka tanah air dan brand terkemuka. Rhiana cerminan wanita kaya yang cantik sempurna tanpa cacat sedikitpun. Namun meski memiliki kesempurnaan yang mengundang iri wanita mana pun di luar sana, di usia pernikahannya yang ke-22 tahun, Luthfi tidak pernah menatapnya dengan mesra dan penuh cinta. "Biar Syfo saja yang mencari anak itu," jawab Luthfi, menyebutkan nama salah satu adik perempuannya, kemudian meninggalkan Ana. Begitulah kehidupan seorang Rhiana atau yang akrab dipanggil Ana. Dia tidak pernah ada benarnya di mata Luthfi bila menyangkut soal Daniyal. Selain tidak pernah menatapnya dengan penuh cinta, suaminya itu juga selalu bersikap dingin padanya. Di mata Luthfi, hanya ada Daniyal dan Khawas Group. Luthfi hanya akan berkomunikasi dengan Ana jika menyangkut soal dua hal tadi. "Si anak mas itu berulah lagi, Kak?" tanya perempuan muda berusia lebih muda dari Rhiana sesaat setelah kepergian Luthfi. "Heh... yang kamu kasih sebutan itu keponakan kamu, Melo. Anak itu sudah janji akan datang. Mungkin saja dia terjebak macet. Abangmu saja yang tidak sabaran menunggu kedatangan anak kesayangannya itu." Perempuan yang dipanggil Melo itu hanya tersenyum tipis kemudian berkata, "bukan nggak sabar, tapi bang Luthfi itu sudah nggak sabar mau pamer anak kesayangannya itu. "Lalu keduanya tertawa kecil kemudian terdiam saat seorang wanita paruh baya berdeham kemudian memberi kode untuk tutup mulut.   *POV JINAN* Aku sampai di Jakarta pukul sembilan pagi. Kata teman sekolahku, kalau aku sudah sampai di terminal harus segera menghubungi temannya itu. Namun, aku bingung dan tidak tahu bagaimana cara menghubungi orang yang namanya tertera di kertas yang ditulis oleh teman sekolahku itu. Aku memang benar-benar orang udik yang tidak memiliki ponsel untuk memudahkanku menghubungi orang bernama Irza tersebut. Mau bagaimana lagi, Ayah memang sangat membatasiku untuk tahu banyak soal teknologi. Sekolah saja cuma sampai tamat SMP. Bisa lulus SMA karena kejar paket C. Itupun karena ada arahan dari kementrian pendidikan soal wajib belajar 12 tahun. Ketakutan mulai menghinggapi perasaanku. Rasanya ingin menangis karena kini aku benar-benar seorang diri di tempat ramai, asing dan menyeramkan ini. Terminal ini tidak aku ketahui nama dan lokasi tepatnya di mana. Aku hanya tahu dari orang-orang hanyalah ini terminal kota Jakarta. Tepatnya Jakarta bagian mana aku benar-benar tidak tahu. Akhirnya aku memutuskan duduk sejenak di bangku tunggu yang masih berada di areal terminal sambil berusaha menenangkan keresahanku dan berdoa semoga ada orang baik yang mau membantu keluar dari rasa takutku ini. Mataku tiba-tiba sangat mengantuk. Penyebabnya karena selama perjalanan sulit memejamkan mata. Aku khawatir tidak bisa sampai di Jakarta, lebih buruknya lagi diturunkan di tempat asing oleh supir bus yang membawaku kemari. Meskipun bus yang aku naiki merupakan bus tiket resmi tapi tetap saja rasa khawatir itu tumbuh secara alamiah. Aku lantas berbaring sambil memeluk tas ransel bulukku, dan menggunakan jaketku sebagai alas kepalaku. Memejamkan mata baru sebentar aku terlelap begitu saja. "Neng, bangun! Kalau mau tidur enak kagak di sini tempatnye. Dekat terminal ada hotel murah noh. Kalau Neng mau bisa aye antar ke sono." Kurasakan seseorang mengguncang tubuhku. Berusaha menyesuaikan diri dengan silau cahaya yang menerpa korneaku, aku bangkit lemas dari bangku panjang yang menjadi tempat tidurku. Entah sudah berapa lama aku tertidur di tempat ini. "Maaf, sekarang jam berapa?" tanyaku pada wanita paruh baya yang tidak aku ketahui namanya itu. "Hampir jam dua belas. Neng dari mane mau ke mane emang?" tanyanya. Aku hanya tersenyum tipis lalu mengatakan sedang menunggu kedatangan teman yang akan menjemputku. Wanita itu kemudian pergi begitu saja dari sisiku. Akhirnya aku memutuskan untuk mencari wartel atau semacamnya yang bisa membantuku menghubungi Irza. Aku terus berjalan meninggalkan terminal besar ini. Kakiku mulai terasa pegal. Kuputuskan berisitirahat sejenak di halte bus sambil mengurut kakiku yang terasa pegal. Kulihat dari ekor mataku ada seorang laki-laki ikut duduk di sampingku. Aku memberanikan diri meliriknya. Dia asyik memainkan ponsel pintarnya. Hingga tidak sadar kalau aku memerhatikannya sejak lima menit yang lalu. Terkejut bukan main saat tiba-tiba laki-laki tersebut menoleh ke arahku dan menaikkan kedua alisnya karena heran. "Ada yang salah? Kenapa ngelihatin mulu dari tadi?" katanya dengan logat Jakarta yang sering aku dengar di televisi. Aku menggeleng kemudian mengalihkan pandanganku ke jalan raya di hadapanku. Aku mendesah pasrah. Pikiranku buntu menghadapi situasi kepepetku saat ini. Aku kembali menoleh pada laki-laki di sampingku ini. Membuang muka saat dia lagi-lagi memergoki aku yang sedang tak putus menatapnya. Akhirnya dengan tanpa rasa malu dan takut akhirnya aku memberanikan diri berbicara pada orang asing di sampingku ini. "Boleh pinjam handphone-nya? Aku mau telepon temanku, tapi aku nggak punya handphone," ujarku ragu. "Hari gini nggak punya handphone?" katanya sembari menahan tawa. "Kamu nggak sedang bercanda kan?" tanyanya tak percaya. Kepalaku mengangguk cepat kemudian menyeringai bodoh. "Aku memang dari desa jadi nggak pernah punya handphone," jujurku kemudian tertunduk malu. "Mana nomor telepon yang mau kamu hubungi," ujarnya. "Beneran? Tarifnya berapa sekali telpon? Kalau mahal ndak jadi. Mending aku cari wartel aja." "Wartel?" "Iya, warung telepon. Tempat untuk menelepon, kalau sudah selesai kita bayar." "Oh, i see. Tapi jaman sekarang ini mana ada wartel. Semua orang sudah pegang handphone. Tukang sayur di kompleks rumahku aja pakai handphone canggih buat manggil ibu-ibu kompleks belanja di gerobaknya." Kami berdua tiba-tiba tertawa bersamaan menanggapi lelucon yang dibuat oleh laki-laki itu. Wajahnya saat tertawa terlihat menyenangkan dan tidak ada kesan sama sekali yang mengarah kalau dia orang jahat. "Di desa itu yang pegang handphone cuma orang-orang kaya dan pejabat desa aja. Kalau orang biasa seperti aku mana mampu beli handphone." Dia kemudian mengangguk dan tersenyum manis sambil menyerahkan handphone-nya kepadaku. "Nih kalau mau telpon teman kamu. Gratis kok." Aku balas dengan memberinya secarik kertas yang berisi alamat serta nomor telepon Irza. Laki-laki itu sepertinya mengerti maksudku kalau aku tidak mengerti caranya mengoperasikan benda pipih berwarna perak mengkilat tersebut. Dia berdecak pelan sebelum akhirnya meraih kertas yang aku sodorkan. Sambil membaca tulisan di kertas yang aku berikan dia menyentuhkan ibu jarinya beberapa kali ke layar handphone. Tak lama kemudian dia memindahkan handphone ke dekat telinganya. Aku terkejut saat laki-laki itu mendekatkan handphone-nya ke telingaku. Aku sempat menarik kepalaku menjauh dari handphonenya. "Ini udah tersambung. Kamu ngomong aja sendiri. Kalau cuma pegang handphone bisa kan?" Aku mengangguk lalu menerima handphone berukuran lebih besar dari telapak tanganku itu dengan perasaan tidak enak karena belum kenalan sudah sangat merepotkan. "Hallo?" jawab orang dari pengeras suara handphone yang ada di tanganku ini. "Ini Irza ya? Aku Jinan temannya Tiwi. Aku sekarang sudah ada di Jakarta. Kata Tiwi kalau aku sudah di Jakarta bisa menghubungi kamu." "Oh iya. Semalam Tiwi udah ngubungin gue. Trus lo sekarang di mana?" Aku celingukan mencari tahu soal keberadaanku. Namun aku tidak menemukan jawaban yang tepat untuk kuberikan pada Irza. Akhirnya laki-laki pemilik handphone mengambil alih handphonenya dan mengganti tugasku menjelaskan pada Irza tentang posisiku saat ini. Keduanya lalu terlibat perbincangan soal lokasi masing-masing. "Udah nih. Teman kamu katanya langsung berangkat jemput kamu. Dia udah tau posisi kamu. Sebelum temanmu itu datang, kamu jangan ke mana-mana dulu. Kalau dari posisi dia sekarang, kemungkinan besar nggak sampai sejam udah nyampe sini kok," jelasnya panjang lebar setelah mengobrol beberapa menit di telepon dengan Irza. "Temanin aku sampai Irza datang bisa ndak? Aku takut." Laki-laki itu menghela napas, melihat ke arah jam tangan yang melingkar di pergelangan tangan kirinya. "Oke, aku temani tapi sepuluh menit aja ya. Sorry, aku bener-bener lagi keburu banget." "Iya, ndak apa-apa. Oiya, kita belum kenalan yo? Namaku Jinan. Mas siapa namanya?" "Daniyal. Panggil aja Dani." Handphone Dani berdering terus. Namun dia tidak menghiraukan sampai dering handphone berhenti dengan sendirinya. Beberapa menit berikutnya berdering kembali. Lagi-lagi dia tak menghiraukan. Begitu terus hingga sepuluh menit telah berlalu. Saat dering yang kesekian kali akhirnya Dani menerima panggilan telepon tersebut. "Iya, iya. Aku nggak ke mana-mana lagi. Teta jemput di lokasi yang aku kirim tadi, oke!" ujar Dani pada orang yang meneleponnya. Kemudian Dani mematikan panggilan telepon tersebut dan memasukkan handphone ke dalam tas ranselnya. "Sekali lagi sorry ya, Jinan. Nanti kalau sudah ketemu temanmu, bilang sama teman kamu itu untuk balik menghubungi aku. Biar aku tenang, oke?"  Aku mengangguk dan dengan berat hati harus membiarkan Dani pergi. Tak lama sebuah mobil mewah berwarna putih berhenti tepat di depan halte. "Aku duluan ya, Jinan. Jangan lupa telpon aku," ujarnya kemudian masuk ke mobil. "Inget ya, jangan lupa telpon balik," ujarnya sekali lagi dari balik jendela mobil, sebelum mobil yang membawa Dani benar-benar bergerak meninggalkan halte bus. Sepeninggal Dani aku berharap Irza segera datang. Aku mulai tak nyaman setiap kali ada orang yang mendekatiku, basa basi bertanya tentang aku dan juga menatap dengan tatapan menyeramkan. Beda sekali dengan tatapan Dani padaku tadi. Tatapan yang menenangkan dan membuatku nyaman berada di dekatnya, meski Dani merupakan orang asing bagiku. Entah menit keberapa aku menunggu kedatangan Irza. Kemudian ada seorang perempuan muda menghampiri dan menepuk pundakku. Semoga bukan orang jahat yang ingin menggenda atau menghipnotisku seperti di acara televisi yang sering aku tonton. "Lo Jinan?" tanya seorang perempuan muda mungkin sebayaku setelah aku menoleh tanpa menatap kedua matanya. "Kamu siapa?" tanyaku ragu. "Gue Irza temannya Tiwi. Langsung ke kosan gue aja ya. Lo udah makan?" Aku sedikit lega, mengangguk kemudian menggeleng menjawab dua pertanyaan yang dilontarkan sekaligus oleh Irza. Aku mengikuti langkah tergesanya. Sama sekali tidak curiga orang ini benar-benar Irza temannya Tiwi atau orang lain yang mengaku bernama Irza. Tiwi belum pernah sekali pun menunjukkan foto Irza padaku. Tiwi hanya menyampaikan ciri-ciri fisik seorang Irza, yang aku yakini bahwa Irza yang sedang menyerahkan helm untuk segera kupakai saat ini adalah memang benar Irza temannya Tiwi. "Kamu beneran Irza kan?" tanyaku ragu sebelum naik ke boncengan motor. "Iya. Ayo buruan! Panas gila!" Setelah aku duduk dengan nyaman di boncengan motor, Irza mulai melajukan motor matic-nya dengan kecepatan cukup tinggi. Sesampainya di kosan Irza, aku dipersilakan untuk mandi dan mengistirahatkan tubuhku yang kelelahan. Belum sempat aku meminta tolong pada Irza untuk menghubungi Dani, dia sudah menghilang dari balik pintu kamar kosnya. ~~~ ^vee^  
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN