Joana memang kecewa akan Jonathan, sayangnya dirinya hanya mampu berpasrah saat ini. Rasa kesal yang menggebu di d**a serta pikiran Joana hanya membuat Joana bersabar. “Huh,” ucapnya ketika menaiki taksi. Dengan pandangan yang menatap pemandangan sepanjang Kota New York. Joana mengusap kedua matanya.
“Apa anda menangis nona?” Tanya supir taksi dengan melihat kaca spion. Dirinya melihat Joana yang tengah menangis. Sungguh lucu hubungan yang sudah ia bangun, selama ini Jonathan memiliki istri dan berselingkuh dengannya.
Joana hanya mengusap kedua kelopak mata, “Tidak apa-apa. Aku hanya kelilipan.”
Joana masih meracau disana, dirinya sudah terlanjur kecewa akan Jonathan, bisa-bisanya seorang Jonathan membohonginya selama ini. Sungguh miris, terlebih Joana selalu membantu keuangannya dikala ia bekerja paruh waktu disebuah toko dan beberapa café.
Perjalanan menuju Cherry Valley Rd,NYC hanya beberapa menit. Joana yang merasakan getir dengan terkejut hanya mampu pasrah hingga dirinya menyewa taksi untuk pulang. Joana memberikan beberapa lembar uang untuk pembayaran, langkah kakinya memasuki rumah dengan cat berwarna putih, suara pintupun terdengar. Madam Kenellyn pun sedang bersiap-siap menuju Toko Bunga Joana di Kota New York. “Kau sudah pulang rupanya?” tanyanya dengan singkat. Madam Kenellyn memang sengaja membuka toko bunga untuk kehidupan ekonomi keluarga kecilnya. Dari kecil Joana memang di asuh dan mendapatkan biaya dari usaha toko bunga tersebut.
Joana menghampiri Madam Kenellyn dengan mencium kedua pipinya, “Ibu, aku akan dirumah hari ini. Mungkin besok baru bisa menemanimu menjaga toko bunga. Aku tidak enak badan,” jawabnya dengan pelan. Dengan meraba-raba seluruh tulang-belulang tubuh dan menggerakkan kepala yang memutar. Joana memang merasa tidak enak badan.
“Apa kau sakit?” Tanya Madam Kenellyn dengan cepat, tangan kanannya menengadah ke kening Joana dengan cepat, memeriksa anak asuhnya sedang sakit atau tidak.
Tentunya Joana hanya tersenyum, “Sudahlah ibu, aku tidak apa-apa.”
Madam Kenellyn kembali menarik tangan kanannya disana. Dirinya memegang kedua punduk Joana dengan tersenyum, “Yasudah jika kau tidak apa-apa, tapi sebaiknya kau minum obat. Ibu akan ke Toko bunga untuk memeriksa beberapa keuangan. Sepertinya mulai besok tidak akan ada assistant, jadi jika tidak keberatan kau mulailah menetap bekerja di Toko bunga milik kita. Kau tidak usah bekerja di café lagi.”
Joana hanya menyimak sesekali, ia sangat mengerti apa yang dirasakan Madam Kenellyn ibunya saat ini. Yang ia inginkan adalah anaknya bisa bekerja dengannya di tempat usaha miliknya. Lagipula, Joana adalah anak satu-satunya. Madam Kenellyn hanya tinggal sendiri dengan Joana. Sudah beberapa tahun ini kehidupan ekonomi mereka memang sedang mengalami kesulitan. Toko bunga mulai agak sepi karena memang ada saingan di dekat toko mereka. Madam Kenellyn sengaja menginginkan anaknya bekerja di tempat usahanya karena wajah Joana tidak hanya cantik, tapi penampilannya memang menarik.
“Jika kau sudah sembuh, besok bekerja dengan ibu di Toko bunga kita.”
Madam Kenellyn menyiapkan jaket mantel miliknya, dirinya mulai bersiap untuk keluar rumah dengan menaiki mini bus ke arah Kota New York. Joana yang melihat ibunya hanya tersenyum dan melambaikan tangan.
“Hati-hati ibu, nanti malam aku akan membuatkan makanan untukmu. Aku ingin beristirahat sebentar saja,” ujarnya dengan menyaksikan Madam Kenellyn yang sudah berjalan keluar rumah. Joana yang melihatnya hanya mampu menghela napas panjang. Kedua matanya kembali berair, ia sendiri saat ini dirumah.
Mengingat Jonathan yang membohonginya selama ini membuatnya kembali sakit, Joana mengusap kembali kedua matanya dengan berjalan menuju dapur rumah, mengambil gelas kaca dari lemari kecil dan menuangkan air minum kedalam gelas lalu meminumnya dengan beberapa tegukan.
“Semoga kau bahagia Jon, aku sangat kecewa akanmu.”
Ucapan Joana lirih dengan menaruh gelas minuman bekas miliknya diatas meja dapur. Dirinya kembali menaiki anak tangga dengan membuka pintu kamar, suara ringkikan pintu kayu terdengar dengan pelan, Joana membaringkan tubuhnya diatas ranjang. Sungguh hari yang melelahkan, ia sangat sering melayani Jonathan, sudah setia bersama Jonathan dan ternyata Jonathan memiliki istri, ada suara ringtone ponsel miliknya yang berbunyi. Joana merogoh kantung celana miliknya. Sebuah nama yang masih terlihat di layar ponselnya, Jonathan meneleponnya.
Bahkan, sudah ada dua puluh pesan dari Jonathan yang belum Joana baca, sungguh miris melihatnya. Joana mematikan ponsel miliknya saat ini karena dirinya ingin beristirahat. Joana membenarkan posisi tubuhnya, kedua matanya melihat langit-langit tembok kamar dengan beberapa kali helaan napas.
“Sepertinya aku memang sudah harus bekerja di Toko milik ibu. Ibu memang membutuhkan seorang pelayan toko yang cantik dan menarik. Aku saja yang membantu ibu, lumayan uangnya untuk kehidupan kita,” tuturnya dengan meregangkan kedua tangan ke atas, menjulurkan serta memainkan layaknya gerakan anak angsa.
Kedua mata Joana sangat mengantuk lantaran dirinya menangis sepanjang pulang dari rumah Jonathan. Masih ada beberapa jam untuk dirinya tertidur hingga ia harus masak makan malam ketika Madam Kenellyn pulang dari Toko bunga, “Mungkin beberapa jam istirahat cukup untukku.”
Tak berselang lama, tubuh Joana spontan terlelap. Dirinya beristirahat beberapa jam, hingga angka jam sudah menunjukkan pukul 17.00 sore waktu NYC. Suara alarm pun berbunyi cukup keras, sehingga kedua mata Joana menyipit dengan menatap kabur arah jam kamar miliknya di kamar.
“Jam lima sore,” ucap Joana dengan suara datar. Kedua matanya menyipit dengan tubuh terbangun. Ia harus menyiapkan makanan makan malam karena ibunya pulang pukul 19.00 malam ini.
Joana yang terbangun langsung menguncir rambutnya, dirinya menuruni ranjang dengan selimut yang masih acak-acakan tak terarah. Joana menuruni anak tangga dengan mulai membuka kulkas dapur disana, mengambil sekaleng mackerel dengan dua buah telur ayam dan juga beberapa cabai merah untuknya membuat omellete daging. Hanya sedikit yang Joana bisa lakukan, memasak omellete salah satunya yang paling mudah dan paling bisa ia lakukan. “Sungguh miris, anak gadis yang belum mahir memasak. Semoga saja suamiku kelak yang memberikanku banjir kebahagiaan dengan tidak menuntut apapun dariku. Dasar Joana payah!” ketusnya dengan memakai celemek disana. Joana mulai menggerakkan gagang pisau dengan memotong-motong beberapa iris cabai ke dalam mangkuk.