Bagian 2

1148 Kata
Menjadi dewasa bukanlah hal yang mudah bagi banyak orang. Menjadi dewasa akan membuat kita dipaksa untuk berpikir dewasa. Tidak mudah, apalagi ketika dirimu dipaksa untuk menjadi orang tua tunggal sejak dini. Aku Arya, selama tujuh belas tahun aku hidup berdua dengan malaikat kecilku. Dia tidak kecil seperti dulu, tetapi aku selalu menatapnya seperti putri kecilku. Aku berharap dia bisa tumbuh menjadi wanita dewasa yang cantik dan memiliki masa depan yang lebih baik dibandingkan diriku. *** Seorang pria baru saja keluar untuk membuang sampah. Peluh membasahi dahinya, sisa-sisa tenaga masih coba ia kumpulkan meskipun fisiknya merasa kurang sehat hari ini. Berbekal memikirkan masa depan putri tercinta, dia rela melakukan segala pekerjaan yang dianggap melelahkan ini. “Arya, cepat kemarilah. Bantu yang lain di dalam,” titah seorang pria berkemeja dengan lengan yang ditekuk hingga siku. Pria yang tadi membuang sampah itu pun segera masuk kembali masuk ke dalam kafe lagi. Dilihatnya memang keadaan kafe sedang ramai pengunjung hari ini. Arya bergegas mencuci tangannya, dan menemui beberapa pengunjung yang baru datang. Beginilah keseharian pria itu, selain menjadi orang tua tunggal, dia juga harus tetap memastikan jika masa depan putrinya terjamin. Bahkan tidak hanya satu pekerjaan yang dia lakukan. Terkadang dia juga bekerja sebagai pelayan minimarket, jadi tidak heran jika dirinya selalu pulang larut. “Arya jangan melamun,” tegur seorang pria bertubuh sedikit gempal itu. Arya mencoba lebih fokus dengan pekerjaannya saat ini. Sambil menunggu pesanan yang sedang dibuatkan oleh pekerja di bagian dapur, Arya memperhatikan seisi kafe. Sudah tiga tahun lamanya dia bekerja di sini setelah berhenti dari sebuah pabrik besar. Tidak banyak hasil yang dia dapat, maka dari itu dirinya mencari pekerjaan paruh waktu yang berbeda shift dengan kafe ini. Melihat banyaknya pengunjung yang didominasi anak muda selalu mengingatkan Arya dengan sang putri. Pasti gadis itu sedang belajar di sekolah saat ini. “Ada yang mengganggumu?” tanya pria bertubuh gempal tadi. Arya menggeleng. “Tidak ada.” Pria itu adalah Beni, teman sekaligus pekerja di sini sama seperti Arya. “Sudahlah, aku tau pasti ada yang mengganggumu. Ceritakan. Setidaknya kita masih memiliki beberapa menit kosong,” desak Beni, keduanya masih menunggu pesanan datang dari meja dapur. Arya mengembuskan napasnya pelan. “Hani. Sebentar lagi dia akan ulang tahun,” tutur Arya dengan raut wajah sedihnya. Beni yang mendengarnya pun terlihat bahagia. “Selamat, berapa umurnya?” “Tujuh belas.” “Masih sangat muda. Lantas, apa yang kamu pikirkan saat ini?” tanya Beni melihat raut wajah temannya yang tidak mengenakkan. Arya memandang temannya itu, kemudian menerawang menatap kerumunan anak muda di sudut kafe sana. “Aku tidak tau harus memberinya hadiah apa,” terangnya. Apalagi dia belum mendapat gaji, setidaknya gajinya akan keluar sekitar dua minggu lagi, dan itu sudah lewat dari hari kelahiran putrinya. Beni menepuk pundak temannya itu dengan wajah tersenyum. “Pakai saja uangku dulu,” katanya membuat Arya sudah tidak bisa berkata apa-apa lagi. Beni memang teman terbaik yang selalu membantunya di saat kesusahan seperti ini, apalagi jika itu berurusan dengan uang. “Apakah tidak apa-apa? Bagaimana dengan istrimu?” tanya Arya balik. Beni memang memiliki istri, tetapi dia belum dikarunia buah hati hingga sekarang. Katanya kandungan sang istri bermasalah sejak dulu. “Tidak apa-apa. Nanti aku yang aku bilang kepadanya,” balas pria itu. Arya bersyukur memiliki teman seperti Beni yang selalu mendukungnya penuh. Pembicaraan mereka terhenti ketika pesanan yang akan Arya antar sudah siap. Beni pun menatap kepergian temannya itu dengan wajah prihatin. Sungguh pria yang kuat menurut Beni sendiri. Di saat pria yang sedang sendirian berbondong-bondong mencari wanita, Arya malah mati-matian untuk bekerja demi memenuhi kebutuhan putrinya, terlebih lagi dia menekan segala keinginannya demi sang anak. Sungguh pria dan ayah yang luar biasa. *** Malam datang begitu cepat. Sekitar pukul sepuluh malam Arya baru saja pulang. Dia pulang bersama Beni yang selalu mengantarnya pulang. Arya setiap pagi akan mengendarai bus untuk menuju ke tempat dia bekerja, sedangkan saat malam tiba, Beni akan mengantarnya. Awalnya Arya merasa tidak enak dengan temannya itu, tetapi Beni selalu saja memaksanya. “Ayah,” panggil sebuah suara yang selalu menemani hari-hari pria ini. Setelah menanggalkan sepatu miliknya, Arya berjalan menuju ke tempat putrinya berdiri. “Berhenti!” kata gadis itu dengan tangan yang bersidekap. Langkah Arya pun terhenti dan mengernyit bingung. “Kenapa Ayah melakukan itu lagi?” tanyanya dengan nada dan raut wajah yang menuntut. Di sekitar dahinya timbul kerutan kecil yang menandakan jika sang putri sedang kesal. Apalagi yang Arya lakukan kali ini? “Maksud kamu apa, Hani?” tanya Arya. Gadis bernama Hani itu mengentakkan kakinya dengan keras, mencoba menyalurkan kekesalannya saat ini. Kemudian dia berjalan menuju ke depan pintu kamar miliknya. “Lihat! Apa yang Ayah lakukan dengan meja belajarku?” tuntutnya sambil menujuk ke meja belajar yang tepat terletak di sudut kamar gadis ini. Tidak ada yang aneh, kamar gadis itu sangat rapi, bahkan meja belajarnya pun juga. Arya tersenyum. “Ayah hanya membereskan kamarmu saja,” jelas pria itu. Terdengar jika putrinya mendengkus keras, pertanda tidak baik. “Sudah Hani katakan untuk jangan pernah memegang barang-barangku terutama kamarku,” seloroh gadis itu. Pria berumur 38 tahun itu memandang sang putri dengan sendu. “Ayah hanya ingin membantu, Nak,” tuturnya. Percayalah, dia hanya ingin anaknya nyaman belajar di rumah. Hani memanglah seorang anak perempuan, tetapi gadis ini tidak serta merta bisa melakukan segalanya sendiri. Terkadang Arya akan membantunya. Tidak banyak yang bisa dia bantu. Membuat sang putri nyaman belajar di rumah adalah hal yang bisa dia lakukan untuk saat ini. “Berhentilah membantuku. Berhentilah, Yah,” balas gadis itu menatap sang ayah dengan serius. “Berhentilah melakukan segalanya untukku. Berhentilah mencoba untuk membuat segalanya berjalan normal. Berhentilah,” pintanya dengan tatapan merananya. Arya tertegun, “Ayah hanya ingin membuatmu nyaman belajar. Maaf jika apa yang Ayah lakukan salah,” balasnya. Dia tidak menyangka jika apa yang ia anggap benar ternyata salah bagi anaknya. Hani berdecak kesal, kemudian dia berlalu masuk ke dalam kamarnya dengan pintu yang ia banting keras, membuat Arya yang berdiri di tempatnya pun terkejut. Pria ini menatap nanar pintu kamar sang putri. Dia sudah gagal menjadi seorang ayah. Sedangkan Hani di dalam kamar menumpahkan kemarahannya dengan memukul-mukul bantal, benda mati itu selalu menjadi sasarannya tatkala dia kesal pada sang ayah. Dia menatap meja belajarnya yang sudah rapi, padahal dia mengingat jika kertas-kertas bertumpukan di atas sana tadi pagi. Dia kesal karena Arya masuk ke dalam kamarnya dan lancang membersihkan kamar dan meja belajar miliknya. Dan pada akhirnya kertas berisi tugas-tugas Hani sulit untuk ia temukan. Hal inilah yang semakin membuat gadis ini kesal. “Bu, kapan penderitaanku berhenti?” tanya Hani kepada potret sang ibu yang ia letakkan di meja belajar miliknya. “Din, aku sudah gagal menjadi ayahnya,” lirih Arya di dalam kamarnya kepada foto mendiang sang istri. Beginilah kehidupan yang Hani dan Arya jalani. Selalu ada perbedaan pendapat di antara keduanya. Hani yang selalu menentang Arya, sedangkan Arya yang selalu ingin membuat putrinya bahagia. Tidak ada yang bisa membuat keduanya berdamai selayaknya ayah dan anak, kecuali ada sosok wanita yang hadir di antara keduanya. Sedikit sensitif kalau buat cerita tentang orang tua dan anak seperti ini. Ya sudah, silakan lanjut baca. Terima kasih sudah mampir ^^
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN