Bagian 3

1550 Kata
Berusahan agar menjadi ayah yang baik untuknya selalu aku lakukan. *** Arya sedang menyiapkan sarapan roti untuk Hani. Bertepatan dia telah selesai menyiapkan makanan itu, Hani baru saja keluar dari kamarnya. Gadis itu melengos dan enggan menatap ayahnya. Arya tersenyum maklum, pastinya putrinya masih kesal kepadanya akibat kejadian kemarin. “Makanlah dulu, Nak,” tuturnya kepada Hani yang sibuk memasang sepatu sekolahnya. Apakah gadis itu akan berangkat tanpa sarapan? “Aku tidak lapar. Ayah makanlah sendiri,” jawab Hani yang kemudian bergegas menuju ke sekolah. Arya meletakkan s**u yang tadi dia buat khusus untuk putrinya. s**u itu tidak terminum lagi, sama seperti kemarin. Dan sama seperti kemarin, Arya kali ini sarapan sendirian di rumah. Hani bergegas mengejar bus sekolah yang hampir saja meninggalkan dirinya. Di sekolahnya memang disediakan bus bagi siswa. Tentunya Hani harus bangun pagi-pagi jika ingin ikut bus itu. Kalaupun dia terlambat, maka mau tidak mau Hani harus menggunakan kendaraan umum. Hani menempati bangku penumpang dua dari belakang. Dia duduk tepat di dekat jendela, posisi yang sangat ia sukai. Dengan earphone yang melekat di dua telinganya, gadis itu menatap setiap pengguna jalan yang bus ini lewati. Banyak juga pekerja yang berangkat pagi-pagi seperti ini. Mungkin untuk menghindari macet. Hani merasakan pergerakan di bangku sebelahnya, lantas dia menoleh dan mendapati teman sekelasnya duduk di sana. “Hai,” sapa Dean yang baru saja duduk. Pemuda itu lagi-lagi tersenyum kepada Hani. Hani sendiri merasa terintimidasi dengan lesung pipi pemuda ini. “Ha-i,” balas gadis itu sedikit canggung. Hani melihat masih ada beberapa bangku yang kosong, tetapi kenapa Dean malah duduk di sebelahnya? Seperti yang banyak orang ketahui jika Hani selalu menjadi target perundungan di sekolah mereka, maka tidak ada yang berani dekat-dekat dengan gadis itu kecuali Rara yang pada akhirnya mendapat perundungan juga. “Kamu sedang dengarkan musik apa?” tanya Dean tiba-tiba membuat gadis ini terkejut. “Hanya beberapa lagu bertempo pelan saja,” jawab Hani yang dia maksud adalah lagu galau berbahasa korea yang sering dia dengarkan. Dean mengangguk mengerti. Pemuda itu mengeluarkan buku miliknya. Hani pun tertegun, sudah dia duga jika Dean selalu fokus dengan belajarnya. “Aku sedang belajar untuk tes kampus nanti. Apakah kamu juga menyiapkan itu juga?” tanya Dean tanpa berpaling dari bukunya. “Ha? Oh. Emm, belum. Aku belum menyiapkannya,” jawab Hani. Dia belum tau akan ke kampus mana, lagi pula dia sendiri tidak yakin jika Arya bisa menguliahkannya. Dan tentunya Hani terlalu malas jika berdiskusi hal seperti ini. Hani memiliki rencana kecil di kepalanya. Dia akan mencari pekerjaan di luar kota, setidaknya dia harus mandiri dan mulai menjauh dari sang ayah. “Aku sarankan jika kamu ingin masuk kuliah, mulai sediakan semuanya dari sekarang, terutama soal-soal untuk tes nanti,” jelas Dean yang diangguki oleh gadis di sebelahnya. Dean pun beralih melirik Hani yang hanya mengangguk. “Kamu ... apakah tujuanmu setelah lulus nanti adalah kuliah?” tanyanya. Hani menoleh kepada pemuda ini, bingung harus menjawab apa. Kemudian dia menampilkan senyum yang ia paksa. “Aku ... aku belum tau,” tuturnya. Dean pun tersenyum maklum, pemuda ini kembali fokus dengan bukuya. “Tidak apa-apa. Diskusilah dengan orang tua agar mereka bisa memberimu saran terbaik. Aku memakai cara ini. Memang mungkin akan timbul sedikit perbedaan pendapat, tetapi itulah yang membuat kita tahu bagaimana pandangan orang tua tentang masa depan anaknya.” Hani mengangguk. Dean kembali sibuk dengan bukunya, dan Hani kembali sibuk memperhatikan pengendara. Kembali gadis ini tersenyum miris ketika menyadari hidupnya tidak seberuntung anak lain. Mereka semua bisa bertukar pendapat dengan para orang tua, sedangkan dirinya tidak pernah bisa. Tidak mungkin juga Arya yang memiliki jawaban yang baik tentang kegelisahannya saat ini. Bus berhenti tepat di depan sekolah. Baik Dean, Hani, serta siswa lainnya segera turun. Hani turun lebih dulu, gadis ini terlihat tergesa-gesa. Dean yang melihat tingkah aneh Hani pun mengernyit bingung. Bukan tanpa alasan Hani bergegas masuk ke sekolah. Dia hanya ingin memastikan jika kertas yang berisi tugasnya berada di loker bukan di kamar miliknya yang kemarin Arya bereskan. Dan Hani bernapas lega ketika mendapai kertas-kertas itu. Dengan cepat ia masukkan ke dalam tas ransel miliknya. Ini adalah hadiah ulang tahun yang Arya berikan setahun yang lalu. Tidak ada hal yang bisa Hani banggakan ketika umurnya bertambah setiap tahunnya. “Kau,” panggil suara berat dari samping loker milik gadis itu membuatnya nampak sedikit terkejut. Seorang pemuda dengan baju yang sudah keluar dari tempatnya padahal ini masih pagi. Pemuda berpenampilan tidak rapi itu menatap Hani dengan tatapan menuntutnya, dan jangan lupakan dua antek-antek yang selalu mengikuti pemuda di sana. “Kemarilah,” perintahnya. Dengan perlahan dan kepala yang menunduk, Hani menuju ke tempat pemuda itu berada. “Bawakan tasku ke kelas. Ingat! Jangan sampai ada yang lecet,” ujarnya yang langsung melempar tas ransel miliknya kepada Hani. Gerakan refleks yang pemuda itu lakukan membuat gadis ini terkejut, apalagi dia langsung ditinggal tanpa bisa menyuarakan penolakannya. s**l! Hal ini sudah sering dia rasakan, tentu saja Hani tidak bisa membantah pemuda yang ditakuti di sekolah ini sekaligus teman sekelasnya juga. Jo, begitulah panggilan akrabnya. Dan jangan lupakan fakta tentang dia adalah anak dari direktur sekolah ini semakin membuat Hani tidak bisa berbuat apa-apa. Hani berjalan menuju ke kelas dengan menenteng tas milik Jo tadi. Dan dia semakin lelah ketika dipertemukan dengan Jeni dan antek-anteknya. Sama dengan Jo, gadis ini adalah wujud pemuda itu dalam versi perempuan. Tidak jauh beda perlakuannya dengan pemuda tadi. Banyak rumor yang mengatakan jika Jeni dan Jo dijodohkan. Hani sendiri tidak heran, keduanya memiliki sifat yang sama ternyata. Dan sudah sepantasnya bersatu, bukan? “Kenapa lo bawa tas Jo?” tanya Jeni dengan raut wajah kesalnya. “Dia yang menyuruhku membawakan tasnya,” jawab Hani. Jeni pun tidak bertanya lagi. Hani segera meletakkan tas Jonathan di tempatnya, dan gadis ini menuju ke kursinya sendiri yang tepat berada di baris kedua dari depan. Bukannya Hani tidak dengar ketika Jeni dan teman-temannya membicarakan dirinya. Dia hanya pura-pura untuk tidak terpengaruh dengan segala perkataan yang mereka utarakan. Tentang dirinya yang tidak memiliki ibu, serta pekerjaan ayahnya juga. Dia sudah hapal dengan segala bentuk intimidasi seperti ini. “Gaes, kita diminta untuk berkumpul di lapangan,” teriak salah satu teman kelas Hani yang membuat beberapa siswa yang sudah hadir mengernyit bingung. Siswa pun berhambur keluar menuju ke lapangan, begitu juga dengan Hani. Gadis itu mencari keberadan Rara yang tidak kunjung ia lihat sosoknya. Di podium yang menjadi tempat biasa pembina upacara mengatakan wejangannya, berdiri kepala sekolah yang menunggu para siswanya berbaris rapi. Hani tidak mengerti apa yang terjadi, apalagi bel masuk belum berbunyi, dan juga ini bukanlah hari senin di mana upacara diadakan. Kepala sekolah menatap para siswanya, menunggu keadaan menjadi hening. Wakil kepala sekolah mengangguk, memberi kode kepada pria paruh baya yang berdiri di sana. “Selamat pagi anak-anak. Pertama-tama Bapak ingin meminta maaf karena sudah mengumpulkan kalian semua dengan tergesa-gesa seperti ini. Ada satu pengumuman yang ingin Bapak sampaikan kepada kalian semua,” ujar kepala sekolah. Sepertinya beliau ingin mengumumkan sesuatu yang serius. “Kami baru mendapat kabar dari salah satu teman kalian. Kita mendapat kabar duka, tepatnya dari kelas dua belas. Salah satu teman kalian meninggal dunia kemarin malam.” Timbul beberapa bisikan dari para siswa, Hani pun terkejut mendengar berita ini. Siapa siswa yang meninggal itu? “Bapak tau kita semua terkejut. Semua guru juga terkejut karena mendengar berita ini. Bapak mengumpulkan kalian semua hanya untuk mengatakan jangan terpengaruh dengan berita ini. Meskipun ada alasan di balik teman kalian yang merenggut nyawanya sendiri, Bapak berharap kalian fokus untuk belajar, terutama kelas dua belas,” nasihat pria paruh baya itu. “Di keadaan seperti ini, perbanyaklah dekat dengan dengan orang tua dan guru. Konsultasikan segala permasalahan kalian dengan orang terdekat, dan jangan sekali-kali melakukan jalan pintas yang merugikan diri kalian sendiri. Mungkin hanya itu yang bisa Bapak sampaikan. Untuk kelas dua belas, pagi ini akan melayat ke rumah duka. Doakan teman kalian agar tenang di sana. Sekian terima kasih.” Pidato ditutup dan dengan segera timbul bisikan-bisikan dari para siswa. Dan di saat itu Hani melihat sosok Rara yang terlihat baru datang yang menenteng tas miliknya sendiri. “Ada apa, Han?” tanya gadis itu segera. “Salah satu anak kelas dua belas meninggal,” jelas Hani yang mendapat tatapan keterkejutan bagi temannya itu. “Innalillahi. Siapa dia?” “Aku kurang tau. Yang jelas semua anak kelas dua belas akan melayat ke rumah duka sebentar lagi.” Rara mengangguk mengerti. Keduanya pun berjalan menuju ke kelas mereka. Di sepanjang lorong sekolah siswa-siswa sibuk membicarakan siswa yang meninggal itu. Baik Hani dan Rara bertanya-tanya siapakah orang itu. Hingga keduanya masuk ke dalam kelas, teman-teman mereka membicarakan siswa itu. “Aku tidak menyangka jika dia nekat bunuh diri.” Hani mencuri dengan pembicaraan segerombol siswa di kursi paling belakang. “Kalian masih ingat saat dia tanya kepada Bu Sinta tentang seberapa sulit menjadi dewasa? Apakah itu pertanda jika sebenarnya dia tertekan?” Hani semakin mengernyit ketika wali kelas mereka disebutkan. Dan mengingat pertanyaan itu, hanya satu orang yang bertanya saat itu. Bagas. Bola mata gadis ini membulat sempurna. Hani segera menyenggol Rara yang duduk tepat di sebelahnya. “Apa?” tanya Rara. “Bagas. Dia ....” Menurutku kasus seperti ini pernah terjadi juga atau mungkin tidak menjadi sorotan. Tidak banyak anak muda yang memilih untuk mengakhiri hidupnya dengan satu alasan di mana mereka mungkin tertekan akan beratnya menjadi dewasa. Tak jarang juga murid tingkat akhir dalam hal ini adalah kelas 12, mereka memilih mengakhiri hidup. Kelas dua belas aku rasa masa paling riskan bagi seorang anak. Tentunya peran orang tua dan guru sangat penting di sini.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN