Beratnya tanggung jawab ketika dewasa terkadang membuat para remaja takut. Tidak sedikit dari mereka untuk mengakhiri semuanya sebelum kata ‘dewasa’ itu datang. Namun, aku tidak ingin menjadi remaja yang gagal. Aku ingin melewati 'dewasa' dengan semua kekuatan yang kupunya.
***
Pemuda yang sudah terbujur kaku di tempatnya serta telah siap dikebumikan itu membuat orang-orang bersedih. Tidak terkecuali teman-teman sekelasnya. Hani dan siswa lainnya tidak menyangka jika Bagas mengambil jalan pintas seperti ini. Hani sendiri merasa terpukul mengetahui temannya itu telah tiada. Terlebih alasan Bagas mengakhiri hidupnya sungguh tidak bisa diterima oleh semua orang.
“Apa?” tanya Rara.
“Bagas. Dia ....”
“Anak-anak tolong perhatiannya sebentar.”
Perkataan Hani terhenti ketika Bu Sinta masuk secara tiba-tiba ke dalam kelas. Semua anak pun berhambur duduk di tempat mereka masing-masing. “Ibu tau pasti kalian semua terkejut mendengar hal ini. Bagas, teman baik kalian telah pergi meninggalkan kita semua. Ketika Ibu mendengar kabar ini tadi pagi, sungguh Ibu tidak menyangka jika dia dengan nekat melakukan itu. Tetapi, Ibu berharap dengan kejadian ini kalian harus berpikir rasional dalam melakukan tindakan apa pun. Tidak segala hal bisa selesai hanya dengan mengakhiri kehidupan ini.”
“Bu,” panggil salah satu anak menyela perkataan guru itu. “Apakah benar rumor yang beredar jika Bagas melakukan itu karena tertekan?”
Pertanyaan bagus, semua orang sepertinya bertanya-tanya apa hal yang mendasari pemuda itu. “Ibu tidak bisa memastikan itu benar atau tidak, yang jelas Ibu berharap kalian tetap fokus ke ujian dan belajar.”
“Mengingat kita sedang berduka, jadi kalian diharap bersiap-siap. Kita semua akan berkunjung ke rumah duka, menyampaikan belasungkawa. Bagi yang memiliki kendaraan silakan membawa kendaraan masing-masing, dan bagi yang tidak memiliki bisa naik bus sekolah,” ujar guru itu.
“Ingat! Setelah melayat, kalian harus kembali ke sekolah. Tidak ada yang boleh membawa tas. Tas tetap diletakkan di kelas atau loker masing-masing,” sambungnya sambil melirik seorang pemuda yang duduk di bangku belakang pojok kanan—Jo. Bukan rahasia lagi jika pemuda itu kadang membolos pelajaran sesuka hatinya.
“Kasihan Ibunya, pasti dia sangat kehilangan,” bisik Rara kepada Hani. Dengan sorot matanya, mereka melihat dan mendengar tangisan orang tua dari teman mereka. Bagas dikenal sebagai anak yang rajin, sering ke perpustakaan, serta pendiam. Meskipun tidak terlalu dekat dengannya, Hani juga merasa sedih jika salah satu temannya pergi, apalagi melalui hal seperti ini.
Bahkan ketika jenazah itu dikuburkan di liang lahat, tangis sang ibu tidak pernah berhenti. Tidak ada yang paling menyedihkan bagi orang tua selain kehilangan anak mereka satu-satunya. Ya, Bagas adalah anak tunggal, itu artinya hanya dia satu-satunya harapan orang tuanya. Sayangnya harapan itu kini terkubur di dalam tanah dan tidak bisa terwujud sampai kapan pun.
“Jo, bagaimana menurut lo?”
“Cupu. Sesuai sama bentukannya, kurang berani, dan pasti payah.”
Hani yang berada di barisan paling belakang ketika berada di makam pun mendengar cemoohan Jonathan dan teman-temannya. Dia tidak menyangka jika hati nurani pemuda itu telah hilang, bahkan melihat teman mereka tiada saja dia tidak menunjukkan kesedihan. Maklum, Bagas juga sering menjadi target perundungan di sekolah.
Hani melirik segerombol pemuda di sana dengan tatapan sinisnya. Jika dia bisa memberontak, maka dia sudah memberi pelajaran kepada pemuda itu. Sayangnya dia masih ingin sekolah hingga lulus di sana, jadi dia tidak akan membuat masalah kepada Jo.
“Udah gue bilang, kan, Han untuk cepetan ke toilietnya,” keluh Rara yang terus-terusan membicarakan kesalahan yang Hani buat. Hani tadi sungguh tidak bisa menahan untuk ke toilet, maka dia pun memaksa Rara untuk menemaninya. Dan sialnya adalah bus sekolah sudah pergi duluan, menyisakan beberapa siswa yang tidak keduanya kenal.
“Terus gimana kita kembali ke sekolah? Nggak mungkin jalan kaki, kan?” tanya Rara. Hani pun tidak tahu juga bagaimana cara mereka pulang. Jika dia memakai uang yang ia pegang saat ini untuk naik bus umum, maka nanti pulang sekolah dia harus jalan kaki yang mana jarak rumahnya jauh.
“Maaf, Ra,” ujar Hani merasa bersalah.
“Mau bagaimana lagi. Mau tidak mau kita jalan kaki. Semoga aja ada anak sekolah yang baik hati mau memberi tumpangan ke kita,” balas Rara. Keduanya pun mulai berjalan menyisiri jalanan yang memang sedikit jauh dari sekolah mereka. Keduanya tidak memiliki pilihan lain, terlebih lagi Rara lupa membawa uang yang ternyata ia tinggal di dalam tas sekolahnya.
“Ra, sebentar lagi, kan, ulang tahun kamu. Bagaimana kalau kita jalan-jalan seharian penuh?” tawar Rara yang mengingat jika temannya itu akan genap berusia tujuh belas tahun. Hani mengangguk setuju. Seperti sebuah kebiasaan rutin, kedua gadis ini akan seharian penuh menghabiskan waktu berdua ketika salah satunya sedang berulang tahun.
“Baiklah. Tahun ini aku ingin ke kebun binatang,” ucap Hani tiba-tiba yang seketika membuat tawa Rara membuncah keluar.
“Kebun binatang? Serius? Untuk apa kamu ingin ke sana? Tidak mungkin sedang mengunjungi saudara, bukan?” kata Rara bermaksud menggoda gadis di sebelahnya.
Hani memukul lengan Rara dengan pelan. “Jangan gila! Aku hanya ingin,” balasnya dengan raut wajah sendu di sana. Rara pun seketika terdiam, dia mengikuti langkah temannya yang terlihat melamun.
Tiba-tiba Hani mengingat sesuatu yang membuat langkahnya terhenti, Rara pun sama ikut berhenti dan memandang temannya itu dengan pandangan menuntut. “Ra, sehari sebelum ulang tahunku, bisakah kamu ikut denganku? Aku ingin ke makam Ibu,” pinta gadis itu.
Rara terlihat bingung, pasalnya sehari sebelum dia merayakan ulang tahun Hani, dirinya ada acara keluarga yang tidak bisa dibatalkan. “Maaf, Ra. Di hari itu ada acara keluarga dan orang tuaku memintaku untuk hadir,” terang Rara menunjukkan raut wajah tak enaknya. Hani pun tersenyum dan mengangguk mengerti.
“Baiklah, tidak apa-apa, Ra. Aku akan datang sendiri.”
Keduanya kembali berjalan menuju ke sekolah mereka. Agar perjalanan yang jauh tidak melelahkan, keduanya membicarakan banyak hal. Dari pembicaraan itu Hani tahu jika Rara akan melanjutkan pendidikannya. Sedikit iri karena temannya itu sudah memiliki tujuan, sedangkan dirinya masih bimbang tentang langkah apa yang akan dia ambil untuk masa depannya.
Kebimbangan untuk anak kelas 12 seringkali terjadi. Dulu, aku juga begitu. Bagi kalian yang berada di tingkat akhir, aku sarankan untuk banyak-banyak mengobrol dengan orang tua dan guru. Untuk kamu yang merupakan orang tua, sering-seringlah membangun pembicaraan dengan anak. Karena tanpa kalian sadari hal ini akan saling menguatkan ikatan antara orang tua dan anak.