Gibran menganga mendengar ucapan Samuel. Sepertinya mereka beranggapan kalau kunciran itu milik Berly, lalu menanyakan kepastian kepadaku. Dasar, bisa-bisanya mereka curiga ini milik korba. Omong-omong, mengapa kunciran ini sama mereka? Berarti polisi tadi tidak tahu kalau ada kunciran di sana?
“Dari pada buang waktu, mending kita ke mobil Marko! Yang lain udah pada nungguin lo, Jes” Gibran berdiri lau meninggalkan kami berdua.
Yang lain menungguku? Apa maksud Gibran itu Marko dan Willy? Kini aku kembali gugup di hadapan Samuel. Astaga! Mengapa jantungku tidak mau tenang setiap Samuel menatapku? Perasaan apa ini? Sungguh, rasanya aku ingin sekali berteriak kencang!
“Kenapa harus di mobil Marko, sih?” tanya Samuel heran. Sepertinya Samuel lebih senang posisi ini, aku juga. Lebih nyaman duduk di sini, banyak angin yang masuk dari luar ruangan. Apa lagi di depanku ada Samuel. Namun, kalau dipikir-pikir memang tidak bagus juga membicarakan hal sensitif di ruang terbuka.
“Mungkin menghindari telinga liar yang mengintai kita. Ayo!” Aku mengajak Samuel berdiri lalu menghampiri teman-temannya di mobil Marko.
Kejadian beberapa hari ini benar-benar di luar dugaan. Siapa sangka kalau seorang Jesika bisa berdekatan dengan cowok-cowok populer di SMA Angkasa? Hatiku benar-benar bahagia rasanya, sampai-sampai senyuman di bibir tidak pernah luntur. Aku berjanji akan memasukkan pengalaman ini ke dalam buku diary nanti. Agar suatu saat aku bisa membacanya kembali dan merasakan kesenangan yang sama pula.
Setelah tiba di mobil, aku langsung membuka pintu tengah. Aku langsung duduk di belakang kursi Gibran, sedangkan di sampingnya ada Marko si playboy SMA Angkasa.
“Hai, Nona Cantik! Kita ketemu lagi!” sapa Marko dengan senyuman manisnya.
Seperti biasa, dia menggoda perempuan lagi. Sudah aku bilang, dia itu ahlinya dalam menggoda. Kalau saja aku memang cantik, pasti Marko akan menjadikanku target mainannya.Baru saja aku ingin membalas, Samuel malah menyela omonganku. “Apa-apaan cantik-cantik?! Diem lo!” katanya dengan nada kesal.
Mengapa Samuel kesal kalau diriku dibilang cantik? Apakah Samuel menganggapku jelek? Kalau begitu, harapan untuk lebih dekat dengan Samuel akan sirna. Aku jadi malu berdekatan dengan mereka yang keren. Aku langsung menunduk malu dengan jari yang saling terpaut. Siapa saja tolong berbicara, jangan biarkan keheningan menyelimuti dalam mobil.
“Jadi itu bukan jepitan rambut si Berly, ya?” tanya seseorang di belakangku, ternyata Willy. Aku sampai kaget, aku kira itu hantu. Habisnya tidak terlihat sama sekali dari posisi tengah kalau ada orang di belakang.
“Maaf, Jes! Willy emang suka ngagetin!” ujar Marko.
Tidak masalah, seharusnya aku bisa lebih teliti dengan keadaan mobil. Tidak sepenuhnya salahku juga, keadaan mobil yang gelap juga menjadi salah satu penyebabnya.
“Ehem!” pekik Samuel nyaring, “Bukan! Sepertinya punya orang lain. By the way, itu kunciran rambut, bukan jepitan.”
Aku ingin tertawa mendengar ucapan Samuel. Jadi, mereka berempat menganggap itu jepitan? Astaga, aku tidak habis pikir. Siapa sangka kalau mereka berempat tidak mengenali yang mana jepitan yang mana kunciran? Seketika mobil ini penuh dengan gelak tawa mereka.
“Jes! Berly telepon lo untuk minta jemput?” tanya Gibran. Mengapa Gibran mengetahui kalau Berly menelponku semalam? Apa Samuel sudah menceritakan kepada mereka? Biarlah, aku sudah menceritakan pada Samuel juga, tidak masalah kalau mereka tahu.
“Iya, Gib, dia minta jemput dari apotek jam sebelas malam. Dia bilang ngerasa nggak enak di jalanan sendirian, kayak ada yang ikutin, tapi gue nggak ada motor untuk jemput. Nggak bisa bantu, deh. Padahal gue udah bilang untuk nungguin sampe motor dateng, si Berly nggak mau,” paparku.
“Jujur aja, Jes. Kita nggak ada info lain selain jepitan dan kutukan. Kita harus apa, dong?” Marko mulai membalikkan badannya ke arah kami.
“Tanya aja sama Loli, siapa tahu dia kenal kunciran itu milik siapa!” Mereka semua menatapku dengan heran. Padahal, aku hanya mengutarakan pemikiran di kepala. “Ada apa?”
“Kenapa kamu mikir gitu?” tanya Samuel dengan nada rendah.
Astaga, aku kelepasan berbicara. Aku tidak boleh asal bicara kalau curiga sama Siska. “Kunciran itu pasti milik perempuan, siapa tahu aja Loli mengenali pemilik kunciran itu.” Aku berusaha menutupi kecurigaanku dengan berdalih. Tidak mungkin kecurigaanku dibeberkan sekarang, bisa geger mereka.
“Jangan-jangan lo mikir kalau pelaku pembunuhan itu Siska?” tanya Willy dengan suara berbisik. Sekarang aku yang kaget karena tebakan Willy. Mengapa anak itu selalu bisa membuatku diam tak berkutik?
“Eh, nggak gitu, Wil!” sanggahku.
“Tenang aja, lo nggak sendirian curiga sama dia, Jes. Gue juga curiga sama dia sejak tadi pagi. Cuma orang di sekitar kita nggak cukup pinter buat mikir ke Siska,” sahut Willy.
“Benar juga. Siapa lagi yang bisa dicurigai selain pelaku pengutukan itu sendiri? Kenapa gue nggak kepikiran sama Siska, ya?” Marko menganggukkan kepala, setuju dengan pemikiran Willy.
Sepertinya tidak akan bisa menjaga rahasia kalau dengan mereka. Willy selalu punya cara untuk membongkarnya. Dasar cowok pendiam dan pemikir, bisa gawat kalau begini.
“Mar, lo—“
“Gue tampol ya, Sam!” sanggah Marko.
Waduh, kenapa Marko jadi menarik kerah Samuel? Seram sekali dia, matanya melotot dan tangannya sudah mengepal. Marko menyeramkan kalau sedang marah. Namun, apa penyebab dia marah? Padahal Samuel belum selesai berbicara. Tetap saja, tatapan marah Marko membuatku bergidik ngeri. Tidak sangka, seorang Marko yang terkenal karena humor dan keramahannya bisa semenyeramkan itu.
“Maaf ...,” tutur Samuel dengan wajah memelas. “lo udah dapet jawaban dari Loli belum?” sambung Samuel.
“Tenang aja! Loli udah balas tadi, tapi dia nggak bisa malam ini. Paling-paling besok malam katanya,” jawab Marko yang mulai kembali tenang. Astaga! Anak itu cepat sekali merubah suasana hatinya.
“Bagus, deh! Gue mau anterin Jesika balik dulu!” Samuel menatapku, “Yuk, Jes!”
Kemudian kami berdua keluar dari mobil untuk pindah ke mobil Samuel. Aku tidak mengerti jalan pikiran mereka. Kalau memang ingin mengajakku untuk gabung ke tim penyelidik, seharusnya mereka bisa menelponku saja.
Aku dan Samuel mulai berjalan menuju mobilnya. Dia tetap menggandeng tanganku. Anehnya, mengapa aku membiarkan dia menggandengku? Seharusnya aku bisa menepis, bukan? Sudahlah, aku bingung dengan diri sendiri.
“Maaf, ya, udah nyita waktu kamu malam ini!” tutur Samuel sambil membukakan pintu mobil. Dia kelihatan tulus dalam berbicara saat ini. Sepertinya dia mengetahui apa yang aku rasakan. “Padahal kamu bisa maskeran di rumah atau luluran badan.”
“No problem! Lagi pula aku senang bisa ketemu kalian! Aku nggak pernah maskeran dan luluran, Sam,” sahutku yang dijawab dengan mata Samuel yang terbelalak.
“Kenapa kulit dan wajah kamu mulus banget?” tanya Samuel.