Bertemu Loli - Samuel

1085 Kata
Ingin sekali aku menghantam wajahnya dengan balok es yang dijual untuk penjual minuman pinggir jalan. Untuk apa dia mengajakku ke kantin kalau takut ketemuan dengan Loli di kantin? Sangat terlalu marko ini. Aku langsung membuang pandanganku ke arah lain. “Lo yang nyuruh gue ke sini, lo juga yang takut. Maunya apa, sih? Ngeselin banget,” jawabku. “Yah elah, Sam. Itu permintaan si Loli. Kalau gue justru mau di kafe aja biar bisa nyantai sekalian. Kita juga bisa sambil minum kopi,” katanya. Baru ingin aku menjawab ucapannya, Marko langsung menyenggol lenganku dengan keras. “Udah diem, Sam! Si Loli datang!” bisik Marko. Aku langsung gelagapan lantaran belum ada rencana untuk dibicarakan kali ini. Mudah-mudahan saja Marko masih mengingat rencana Willy. Aku jadi tidak terlalu bingung nanti. Loli berdiri di depan kami berdua dengan senyumnya yang sungguh lebar. “Hai, Marko! Ada Samuel juga di sini? Gue kira lo sendirian aja mau ketemuan sama gue,” sapa Loli ramah. Dia tampak gembira kali ini, tumben banget. Biasanya diam tanpa ekspresi. Namun, itu hal yang wajar juga, sih. Siapa yang tidak senang jika bertemu Marko? Bahkan Jesika bertemu Marko juga langsung tertawa. “Hai, Loli! Iya, nih Samuel ikut gue, dia kan nggak bisa jauh-jauh dari Marko.” Langsung saja kusikut badannya, Marko hanya tersenyum menanggapi. “Nggak masalah, kan? Mau ngobrol bareng sama lo doang katanya.” “No problem! Ada apa manggil gue ke sini? Tumben banget manggil gue doang,” kata Loli. Aku menatap Marko dengan tajam. Kurang ajar anak satu ini. Dia bilang Loli yang meminta bertemu. Sekarang, mengapa Loli bilangnya dipanggil? Dasar Anak Curut! Pintar sekali dia berbicara. Lihat saja Marko, aku akan membuat perhitungan nanti. “Lo udah makan? Makan dulu aja kalau lapar!” kata Marko. Aku ikut menganggukkan kepala. Loli langsung pergi ke tempat penjual makanan. Segera saja aku piting kepalanya, “Hei, Curut Playboy—” “Mana ada curut playboy?” “Ada! Lo makhluknya!” sahutku. “Kenapa dia bilang dipanggil, heh?! Jangan-jangan ini rencana lo, ya? Jujur!” Marko berusaha keluar dari jepitan lenganku. Biar saja, biar dia merasakan kemarahanku. Aku kan jarang marah padanya. “Aduh, mati, deh gue lo jepit begini!” Marko mengambil napas berkali-kali. “Kenapa kalian senang banget jepit kepala gue seperti ini, sih?” “Jawab pertanyaan gue, Mar!” “Lo yang gue tampol, ya!” balasnya dengan sengit. Aku lupa dengan larangan sebut namanya. “Iya! Gue yang ngerencanain ini semua, tapi masalah Loli malam ini pergi dengan keluargnya itu bener! Makanya gue minta dia yang ke sini sekarang. Bukannya kita butuh informasi buru-buru?” “Ya nggak di sekolah juga, Marko! Kenapa nggak besok aja? Di sini ramai, Marko!” sanggahku sengit. Marko langsung menyikut lenganku. Astaga, apa Loli mendengar omonganku tadi? “Sori-sori! Lama, ya? Tukang Siomaynya ngantre, gue keselak mulu sama anak yang lain,” kata Loli. “Eh, nggak apa-apa, Loli! Sini makan!” Marko mempersilakan Loli untuk duduk. Aku masih menatap Marko dengan sengit, sedangkan dia malah asik berbicara dengan Loli tanpa hambatan. Loli terlihat gembira sekali sekarang, padahal seisi sekolah sedang ketakutan lantaran kutukan. Apakah dia tidak takut? “Loli! Lo tahu ini punya siapa?” Marko mengeluarkan kunciran yang menjadi barang bukti. Loli langsung melihatnya dengan lekat. Matanya sampai memicing. Lalu dia mengeluarkannya dari dalam plastik. Kami berdua hampir memekik kalau saja Loli tidak menyanggahnya. “Hei! Ini kunciranku, tahu? Kok bisa sama kalian berdua? Kalian nemuin ini di mana, deh?” Oh my God! Ini benar-benar gila! Kami, aku dan Marko langsung bertatapan dengan wajah bingung. Benar-benar tidak terbayangkan sebelumnya. Aku kira itu adalah punya Siska karena tersangka dari kami adalah Siska. Kalau sudah begini ceritanya, aku jadi bingung harus bagaimana sekarang. “Coba lo pastikan sekali lagi, Lol! Siapa tahu punya orang lain, kunciran seperti itu banyak di—“ “Hei! Jangan sembarangan, ya! Ini gue beli di Aussie, tahu?!” Loli membuka plastik yang menutup kuncirannya, membuat aku dan Marko memekik pelan. “Kenapa? Lihat! Ada tulisan made in Australia, kan? Lagipula aku ingat betul kalau kunciran ini milik gue yang dipinjam oleh Siska.” Aku benar-benar bingung dengan yang terjadi sekarang. Awalnya aku mengira kalau Siska bukanlah tersangkanya lagi setelah Loli mengatakan kunciran itu miliknya. Setelah itu pikiranku melayang kalau Loli yang menjadi tersangkanya. Baru saja Loli bilang kunciran itu dipinjam Siska, yang artinya kunciran itu ada di tangan Siska terakhir kali. Berarti, dugaan pertama kami semua benar? Atau jangan-jangan ini ulah mereka yang sengaja mempermainkan kami? “Maksudnya dipinjam apa, Lol? Siska pinjem kunciran ini dari lo? Jadi, terakhir yang simpen kunciran ini si Siska?” tanya Marko, sepertinya dia juga ikut bingung masalah ini. “Jawab dulu pertanyaan gue! Lo nemu di mana kunciran ini?” tanya Loli. Waduh! Marko jadi salah tingkah ditanya begitu. Dia pasti tidak tahu alibi yang harus dikeluarkan. “Kita nemu itu di depan kelas tadi. Terus agak bagus banget keliatannya. Nah, si Marko bilang ini mahal kayaknya, soalnya ada tulisan dari negara sebelah. Makanya kita tanya, siapa tau orang kaya seperti lo tau.” “Seperti itu, ya? Boleh kusimpan kuncirannya? Itu hadiah dari mendiang Ibuku yang sudah meninggal, Marko.” Tentunya Marko tidak memiliki hak untuk melarang Loli menyimpannya, akhirnya dibiarkan. “Iya, simpen aja nggak masalah. Masa punya lo gue larang,” kata Marko menyahuti. “Siska memaksa untuk meminjamnya karena dia suka. Aku awalnya nggak setuju, tetapi dia memaksa dan mengancam kalau tidak dipinjamkan dia akan membeberkan rahasiaku.” Loli menyimpan kuncirannya di kantung. Sudahlah, kalau memang benar itu milik Loli, kami juga tidak bisa berbuat apa-apa lagi. Untung saja ponselku sudah merekam semua percakapan kami. Sewaktu-waktu ada yang berbohong, kami bisa memunculkan rekaman suaranya. “Memang rahasia apa?” tanya Marko, dia mulai lagi dengan rasa keingintahuannya. Aku tidak tahu apa rahasia milik Loli, karena memang rahasia. Namun, ini Marko kenapa justru bertanya rahasia Loli? Tidak jadi rahasia kalau tidak bertanya dan menjawabnya. Dasar Marko, ini dia sepertinya gangguan jiwa karena tidak punya pacar. “kalau dikasih tahu jadi bukan rahasia,” kata Loli. Benar banget jawaban Loli. Sudah aku bilang tadi kalau dia berkata seperti itu jadi bukan rahasia lagi namanya. “Memang bukan. Kalau rahasia kan harusnya lo aja yang tahu, kenapa Siska jadi tahu?” cecar Marko. Astaga benar juga omongan Marko. Kenapa dia sangat pintar jika berdebat, sih? Aku lupa kalau tadi Loli bilang Siska mengetahuinya. Hebat Marko, aku harus belajar darinya nanti. Perhatikan omongan orang lain ketika berbicara, pasti akan menemukan kesalahannya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN