Rencana Pertama - Samuel

1111 Kata
“Iya, sih tetapi benar-benar gue nggak bisa mengatakannya. Siska tahu karena dia ada di sana waktu kejadian.” Loli mencoba untuk mengelabui kami lagi rupanya. “Tenang, kami bisa jaga rahasia, kok!” sahut Marko. “Apakah rahasia itu tentang utang lo kepada yayasan sekolah?” Loli gelagapan mendengar jawaban Marko. Omong-omong, mengapa temanku jadi mengetahuinya? Dasar Curut! Dia bisa mengetahui rahasia Loli dengan sendirinya apa dia mendengar itu dari orang lain? Dasar Marko si tukang Gibah! “Kenapa lo bisa ngomong begitu?” tanya Loli. “Gue nggak ada utang sama yayasan sekolah, kok! Jangan nyebar fitnah yang nggak-nggak ya, Ko!” ancam Loli sambil menunjuk wajah Marko. “Oh begitu. Sori, gue pernah denger omongan gitu juga dari seseorang.” Marko menyenderkan badannya ke kursi. Harus aku akui, Marko memang pandai berbicara. “Siapa orangnya?!” tanya Loli. Dia mulai gelisah sekarang. “Kenapa lo jadi panik? Kalau memang itu bukan rahasianya, seharusnya lo nggak—“ “Oke!” Loli menjeda ucapan Marko dengan kencang, untung saja tidak menarik perhatian sekitar. “Memang itu rahasianya. Siapa yang udah ngomong begitu? Apakah itu Siska?” Marko mengangkat kedua bahunya, “Mungkin.” “Marko, jujur sama gue, bisa? Itu rahasia besar, gue nggak mau orang-orang mengucilkan gue.” Loli menggenggam tangan Marko sekarang. Marko melepaskan tangan Loli. “Boleh, asalkan lo juga jujur!” “Apa lagi?” “Apa Siska yang melakukan itu ke Berly?” tanya Marko hati-hati. Loli terkesiap dengan pertanyaan Marko. Sepertinya anak ini tidak mengetahui apa-apa, kelihatan dari ekspresinya. “Kenapa lo bengong?” tanyaku. “Kenapa kalian mengira itu Siska? Siska jahat, sih, tetapi dia nggak akan mungkin berani dengan orang lain kalau nggak sama gue dan Lita. Dia kan berani nindas orang-orang karena dia dibela oleh Lita,” terang Loli. Memang benar, siapa yang berani dengan Lita? Dia kan mantan pemegang medali emas di taekwondo tahun lalu. Wajar saja kalau orang-orang akan takut dengan Lita dan Siska memanfaatkannya. “Karena Siska yang mengutuk Berly.” Aku mulai ambil suara. “Siapa tahu kalau Siska yang melakukannya dan dia menyembunyikannya dari lo.” “Gue bahkan nggak tahu Siska ada di mana sampai sekarang. Hari kejadian juga dia nggak masuk sekolah.” Loli menjelaskan dengan lancar. Menurutku, Loli tidak ada tindak-tanduk pembohong sekarang. Dia terlihat jujur dengan sikap tenangnya. Walaupun begitu, aku harus berhati-hati dengannya. Bisa saja Loli hanya berpura-pura. “Marko, Samuel, sori gue harus pergi sekarang. Habis ini ada pre test Fisika. Kalau gue nggak siap, bisa-bisa nggak boleh ikut kelas. Kalau mau tanya sesuatu lagi boleh, gue siap membantu kalian untuk menyelidiki kasus Berly.” Loli mulai berjalan menjauhi kami berdua. Aku bisa menghela napas dengan lega sekarang. s**l, rasanya bagaikan di tengah laut, terombang-ambing karena banyak kejanggalan yang terjadi. “Men! Rumit, nih kasus!” keluh Marko. Aku tidak bisa menjawab omongan Marko sekarang. Tanganku masih asik mengetik pesan kepada Gibran dan Willy untuk menghampiri kami di ruang ganti klub basket, tidak lupa juga Jesika. Mana mungkin aku melupakan Jesika. “By the way, kenapa lo bisa tahu tentang utang itu?” tanyaku setelah mengantungi ponsel. “Nebak aja.” Marko menyeruput es teh yang ia beli sejak tadi. “Curiga?” “Begitu.” Aku berdiri. “Kirain karena lo tukang gosip!” “Sembarangan! Ayo!” Terkadang, Marko bisa lebih lucu dari seorang badut, walaupun bisa lebih seram dari seorang psikopat. Yah, memang benar sepertinya yang dikatakan orang-orang. Kemarahan seseorang yang suka bercanda memang menyeramkan. Kami langsung berjalan, tentunya dengan langkah besar, karena sebentar lagi bel masuk akan berbunyi. Mudah-mudahan Jesika sudah di sana, aku tidak sabar melihat ekspresinya kalau ternyata kunciran itu bukan punya Siska. Pasti dia kaget, dan itu pasti lucu. Setelah sampai, Gibran, Willy, dan Jesika sedang duduk di bangku depan tribun. Tunggu-tunggu, mengapa ada Fajar juga? Gibran langsung berdiri. “Lo nggak lupa kalau ruang ganti khusus cowok, kan? Masa lo ajak perempuan.” Aku menepuk dahi dengan kasar. Bisa-bisanya lupa kalau ruang ganti khusus cowok. “Sori, Jes! Kebiasaan kalau mau ngumpul ngajaknya ke sini ....” “No problem. Jadi, mau ngomong di mana sekarang?” Jesika tersenyum. Aku pun membalas senyumannya. “Kenapa jadi ada Fajar?” tukas Marko. Aduh, mulai lagi perebutan tahta penguasa di SMA Angkasa. Kalau sampai mereka bertengkar, aku pastikan mereka tidak akan bisa selesai jika belum ada yang menang. “Kenapa? Lo keberatan?” sahut Fajar. Benar saja, Fajar dan Marko sama-sama memiliki temperamen yang keras. Untung ada Jesika yang menenangkan Fajar, tetapi aku jadi cemburu.”Gue mau nemenin Jesika, siapa tahu kalian semua jahat sama dia, gue bisa lindungin dia.” “Nggak akan ada yang nyakitin Jesika, Jar. Santai aja, dong! Lo udah kayak apaan aja ngomong begitu,” sahutku rada sewot. Fajar langsung membalasa tatapanku dengan sinis. Dasar cowok tidak jelas! Awas saja sampai dia berani menyenggolku lagi, akan aku buat perhitungan. Walaupun dia adalah juara silat, aku tidak takut. Bisa saja dia jago di arena, tidak jago di lapangan. “Tadi gue liat si Loli baru tiba di kelas. Kalian dapet apa aja dari dia?” tanya Willy yang memecah suasana. Aku langsung menoleh ke arah semuanya satu per satu. Lalu, aku berkata dengan lantang. “Kunciran itu milik Loli!” ucapku. Semuanya langsung menganga. Aku sudah menebak ekspresi mereka sejak di kantin. Jangankan mereka, aku dan Marko saja setengah mati menahan kejutan itu. Ada Loli di depan kami berdua. Kalau sampai kami terkejut hebat, sudah pasti akan timbul perasaan curiga. “What?! Jadi, Loli pembunuhnya ...?!” tanya Fajar dengan nada yang sangat terkejut. Lho, ini kenapa Fajar langsung menyimpulkan itu semua, sih? Memang benar aku juga memikirkan hal itu, tetapi tidak perlu berteriak. Aku menggeleng dan menyuruhnya untuk diam. “Kunciran itu dipinjam sama Siska. Bisa pelanin suara lo nggak?” Setelah itu, tidak ada jawaban lain. Semuanya kembali diam dengan pikirannya masing-masing. Apa yang sedang mereka pikirkan, ya? Kalau aku sedang memikirkan kemungkinan kalau Siska dan Loli bekerja sama. Apa Lita juga ikut serta dalam kasus itu? “Berarti kemungkinan yang kita bicarain semalam benar?” Jesika berbisik pelan. “Pembunuh itu seorang perempuan. Terus kita harus bagaimana?” “Periksa rumah Siska sampai dapat barang bukti berikutnya?” tanya Marko. Tidak mungkin, alasan apa yang akan kami gunakan untuk mengunjungi rumah Siska. Tidak mungkin juga karena alasan ingin berkunjung, kami kan bukan teman dekat. “Gue punya ide gila. Mau dengar?” tanya Willy. “Sepertinya ide kita sama, Wil!” cetus Jesika. “Apa ide lo?” sahut Willy. Mudah-mudahan bukan penyekapan Siska. Aku tidak mau berurusan dengan dia. Kalau saja nanti dikutuk, bisa-bisa tamat riwayatku. “Buat kutukan baru!”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN