bc

Mahligai Bersamamu

book_age16+
detail_authorizedDIIZINKAN
7.4K
IKUTI
41.5K
BACA
love-triangle
friends to lovers
arranged marriage
scandal
kickass heroine
drama
bxg
city
like
intro-logo
Uraian

Selama tujuh tahun, Azmi Daffa Al Kaivan bertahan menunggu Yasmin sampai sang pujaan hati mendapat gelar dokter. Sayang, setelah gelar dokter Yasmin peroleh, dia meminta Azmi menunggu lagi. Azmi memutuskan untuk menyerah. Dia tidak mau hidupnya hancur hanya demi menunggu seseorang yang belum tentu jodohnya. Azmi pun memilih pulang ke Al-Hikam dan mencoba move on dari Yasmin.

Di sisi lain, Jenar Ayu Kumalasari atau Jeje juga sedang dilanda patah hati. Bagaimana tidak patah jika lelaki yang diam-diam dia cintai dan sudah melamarnya malah memutuskan menikahi wanita lain dengan dalih menjalankan amanah dari sang guru. Dengan separuh hati yang tidak utuh, Jenar memutuskan pergi mondok ke Al-Hikam. Berharap dengan pergantiaan suasana dan tempat baru, Jeje bisa move on dari Arif.

Dua manusia berlainan jenis yang sama-sama mencoba move on dari para mantan bertemu. Pertemuan yang lama-lama menimbulkan getar-getar cinta tanpa mereka sadari. Akankah keduanya berjodoh dan mampu melupakan mantan?

chap-preview
Pratinjau gratis
Patah Hati
Patah Hati Seorang gadis tengah merenungi nasibnya. Hari ini seseorang yang begitu dikaguminya sejak usia 15 tahun akan melangsungkan pernikahan dengan anak seorang kyai. Padahal, seminggu yang lalu sang lelaki telah meminangnya di hadapan kedua orang tuanya dan sang kakak. Pun sang ibu dari si lelaki menyetujuinya. Hanya berselang seminggu, dari acara tembung sang lelaki ternyata sang lelaki malah menikahi ning-nya atas perintah almarhum sang guru. Sungguh miris. Dia kalah karena si gadis hanyalah orang biasa, anak seorang petani. Bahkan dirinya hanya bisa mengenyam pendidikan sampai MA saja. Sangat jauh dibandingkan calon sang lelaki. Sudah bergelar ning, sarjana lagi. Hidup terkadang serumit dan semiris ini. “Nduk.” “Iya, Mbok. Sebentar,” sahut si gadis. Jenar Ayu Kumalasari namanya. Asli Wonosobo daerah Wadas Lintang tepatnya. Dia segera membuka pintu kamarnya. “Pripun, Mbok?” Jenar bertanya kepada sang ibu. “Boleh mbok masuk.” “Silakan Mbok.” Mereka pun duduk berjejeran di tepi ranjang. Si mbok mengelus kepala sang putri yang tertutup kerudung dengan penuh kasih. “Sudah. Dia memang bukan jodohmu. Harusnya kamu bersyukur gak jadi nikah sama dia. Sejak dulu Arif itu anak emaknya. Lihat, ‘kan? Bilang setuju kamu jadi menantunya eh ... malah mau menikahkan sang anak sama putri Kyai Mustofa. Tanpa rembugan tanpa omongan sedikitpun sama kita. Insya Allah kamu akan dikasih jodoh yang terbaik untuk kamu. Dan lebih baik dari Arif. Insya Allah.” “Amin Mbok,” ucap Jenar lalu menampilkan senyum tulusnya. “Nah gitu dong. Ini baru anaknya simbok.” Jenar masih sesenggukan, mau tak mau perkataan ibunya memang benar. Dia harus melupakan dan melepaskan Arif istilahnya move on. “Wis to Nduk, ra usah nangis wae. Sudah cukup air matamu keluar. Buktikan sama Arif kalau kamu cewek yang kuat. Kayak bapak sama simbok itu loh, tetap membantu di rumah tetangga kita. Harusnya kalau mereka punya malu gak mungkin minta tolong sama kita. Buktikan kamu itu gadis kuat.” Cakra kakak lelakinya, menyemangati Jenar untuk tetap tabah. Luar biasa, mungkin dibanding Jenar, Cakra adalah orang yang paling terluka, karena sahabatnya yang ia percaya malah menghancurkan hati adik dan keluarganya. Namun, Cakra walau suka mbanyol, dia sangatlah dewasa. “Eh, denger. Kamu masih muda, baru 20 tahun. Mending kamu ngaji lagi aja. Gak usah ngaji lagi di pondok Kyai Mustofa toh pak kyainya udah gak ada. Dia cuma punya satu putri yaitu Ning Alifah. Yang gantiin beliau paling Arif, gak bakalan maju tuh pondok kalau yang megang Arif. Bukannya mas lagi dendam sama dia, tapi Arif itu orangnya gak bisa tegas. Buktinya sama kamu itu loh. Mancla mencle.” Jenar tertawa melihat ekspresi kakaknya saat menghujat sang sahabat. “Percaya sama mas, kamu justru harus bersyukur gak berjodoh sama orang mancla mencle kayak dia. Nanti mas akan ngantar kamu ke Al-Hikam Purwokerto. Di sana pondoknya bagus, udah ada universitasnya juga. Ada banyak beasiswa untuk santri yang berprestasi kayak kamu. Udah ya jangan nangis.” “Iya, Mas. Jeje gak bakalan nangis lagi kok.” “Bagus. Sekarang siap-siap tunjukkin siapa diri kamu.” “Iya, Mas.” Jenar tersenyum cantik memperlihatkan sebuah lesung pipi di pipi kanan yang semakin menambah kadar kecantikannya. Duh, dasar Arif g****k. Dia telah membuang batu permata yang masih tertutup demi sebuah emas yang kelihatan mentereng padahal belum tentu emas asli 24 karat mungkin 22 karat. Astagfirullah, maafkan Cakra ya Allah. Rupanya dendam dan benci ini masih ada, bisik hati Cakra *** Akad dan resepsi pernikahan antara Ning Alifah dan Arif dilangsungkan di rumah Arif atas permintaan ibunya Arif karena Arif adalah putra tunggalnya. Sedangkan pondok Al-Huda sendiri akan mengadakan resepsi seminggu kemudian. Bu Tuti senang sekali putranya dipilih menjadi mantu almarhum Kyai Mustofa. Dia sungguh tak peduli dengan tanggapan miring warga sekitar, pun dengan perasaan Jenar. Dia menyukai Jenar, namun kalau harus memilih, dia lebih memilih Ning Alifah yang jelas statusnya lebih baik daripada Jenar. Dia pun bersikap cuek meminta bantuan Bu Minah dan suaminya Pak Karmin agar mau membantu di rumahnya. Biarlah terkesan tidak sopan, toh mereka juga mau. Setelah akad nikah, langsung dilanjutkan resepsi. Mau tak mau hampir semua orang mengagumi pasangan pengantin yang sangat serasi. Pengantin yang satu ganteng sedangkan yang satunya cantik. Namun kedatangan Cakra dan Jenar sedikit membuat suasana menjadi sedikit kaku. Apalagi bagi yang punya hajat. Terlihat wajah pucat Bu Tuti dan Arif. Arif menatap nanar pujaan hatinya. Tatapannya kini fokus pada sang pujaan hati. Cantik, walaupun hanya memakai gamis sederhana, Jenar terlihat sangat cantik. Rasa bersalah di hatinya sungguh kian terasa saat melihat Jenar nampak baik-baik saja. Padahal Arif tahu hatinya terluka, hal itu pun karena ulahnya. Penyesalan kini yang dirasakan oleh Arif. Bodoh, kenapa dia harus mengiyakan permintaan gurunya dengan menyakiti banyak orang? Jenar, Cakra, dan Jafar, sahabat karibnya di pondok. Padahal dia tahu Jafar mencintai Ning Alifah. Jafar langsung boyong mengetahui Arif akan menikahi gadis yang dicintainya. Bahkan teman satu kamarnya mendiamkan Arif hingga kini. Beberapa memilih pindah pondok. Sementara dalam benak Bu Tuti, dia sebenarnya mengakui Jenar sangat cantik dan baik, ada sudut hatinya yang merasa bersalah karena menyia-nyiakan gadis sebaik dia. Tetapi sudahlah, toh Alifah tak kalah cantik. Ning lagi, jelas lebih berbobot dibandingkan Jenar. “Arif selamat ya.” Cakra mengucapnya dengan senyum manis tetapi tatapan tajamnya mengintimidasi Arif . “Makasih,” jawab Arif sambil menunduk. Tak ada pelukan ala sahabat lagi diantara mereka. Yang ada hanya canggung dan perasaan bersalah Arif serta perasaan tersakiti di hati Cakra. “Selamat ya Mas Arif juga Ning Alifah semoga samawa,” ucap Jenar dengan senyum merekah. “Terima kasih ya Jeje. Oh iya, saya mau minta tolong sama Jeje. Jeje nanti bantu saya ngajar TPQ ya? Soalnya Jeje disukai anak-anak.” “Ngapunten, Ning. Saya mau melanjutkan ngaji sama mondok.” “Yah! Apa gak bisa ditunda, Je?” “Gak bisa Ning, menuntut ilmu itu kewajiban apalagi membahagiakan orang tua dan kakak. Saya rela kerja jauh di Kalimantan itu demi adik saya biar sekolah tinggi Ning, biar jadi wanita yang berpendidikan, biar gak direndahkan terus sama orang,” celetuk Cakra. Walau diucapkan dengan tenang terlihat sekali menyindir Arif dan sang ibu. “Harus itu Mas Cakra. Ya sudah, nanti saya cari alumni yang lain saja.” “Pangapunten Ning. Mari saya duluan, karena masih banyak yang antri.” Jenar dan sang kakak turun dari pelaminan. Jenar berkumpul dengan teman pondoknya. Sesekali dia tersenyum mendengar guyonan para sahabat. Arif sesekali melirik Jenar, sudut hatinya sangat tak rela kehilangan Jenar. Apalagi sejak tadi beberapa teman satu pondok maupun luar pondoknya banyak yang melirik ke arah Jenar. Mungkin Alifah adalah ratu dalam acara ini. Namun, Jenar adalah sang artis yang keberadaannya menjadi magnet bagi sekelilingnya. Tingkah Arif tak lepas dadi pengamatan sang istri. Sudut hatinya terluka menyadari jika hati sang suami ternyata bukan untuknya. Ah, lebih tepatnya belum. Sebenarnya dialah yang meminta sang abah agar menikahkan dirinya dengan Arif jadi dia akan berusaha membuat Arif jatuh cinta padanya. *** “Ning tidur saja duluan, saya akan menemui tamu dulu.” “Mas tunggu, kita sudah menikah. Alangkah baiknya Mas Arif memanggil saya dengan nama atau dek saja. Kesannya kok aneh ya sudah menikah malah masih manggil saya ‘ning’.” “Maaf Ning, saya belum terbiasa. Saya keluar dulu.” Ambyar. Runtuh sudah air mata Alifah melihat penolakan sang suami. Malam pertama yang begitu diidam-idamkannya sepertinya akan berlalu begitu saja. “Duh Gusti, pangapunten Bah. Alifah ndak manut sama Abah. Padahal Abah kepengin saya sama Jafar, tapi Alifah ngeyel pengin nikah sama Arif. Maaf, Bah. Maaf. Alifah nyesel ndak manut sama Abah.” Malam berlalu begitu saja. Kedua pasangan pengantin baru bahkan tak tidur seranjang, Alifah tidur di kamar Arif sedangkan Arif entah tidur dimana. “Ning,” sapa Bu Tuti ramah. “Alifah saja Bu. Kan saya menantu Ibu.” “Ah! Ndak patut, orang Ning anak junjungan saya. Sudah sini Ning, makan. Arif mana?” “Mas Arif ... Mas Arif ....” Alifah bingung hendak menjawab apa. Tetapi kebingungan Alifah sirna Ketika terdengar suara Arif. “Wonten nopo, Bu?” Arif berjalan menghampiri keduanya. “Eh, Arif. Kamu dari mana?” “Mushola, Bu.” “Oh ... ya sudah, sini makan!” Arif duduk di dekat Alifah. Alifah meladeni sang suami dengan telaten. Di depan sang ibu baik Arif dan Alifah menampilkan kemesraan pasangan pengantin baru. Padahal aslinya hubungan keduanya hambar. *** “Mas ....” “Iya.” “Ehm ....” Jenar bingung mau memulai dari mana. “Tenang, mas gak akan bilang ke siapa pun kalau kamu di Purwokerto. Mas akan bilang kamu di Kediri.” “Makasih, Mas.” Cakra mengangguk. Keduanya memilih diam. Keheningan pun melingkupi keduanya. “Dek,” panggil Cakra. “Iya.” “Betah-betah ya di sana, syukur kamu dapat jodoh juga di sana.” “Dapat gus ya Mas.” “Amin ....” “Hahaha,” baik Jenar maupun Cakra tertawa, menertawakan omongan Jenar yang terlalu menghalu. Padahal omongan terkadang menjadi doa yang akan diijabah oleh Allah SWT. *****

editor-pick
Dreame-Pilihan editor

bc

Sentuhan Semalam Sang Mafia

read
188.6K
bc

TAKDIR KEDUA

read
34.0K
bc

TERNODA

read
198.7K
bc

B̶u̶k̶a̶n̶ Pacar Pura-Pura

read
155.8K
bc

Tunangan Pengganti CEO

read
1K
bc

Dinikahi Karena Dendam

read
233.7K
bc

Hasrat Meresahkan Pria Dewasa

read
30.3K

Pindai untuk mengunduh app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook