Ketiganya kini tengah bersantai dipinggiran pantai menikmati langit yang mulai menguning sempurna, Naya mulai menyiapkan alat-alat menggambarnya kali ini ia tak memmbawa banyak alat melukis seperti biasanya, karena bisa dibilang iya mendadak mengiyakan ajakan Juna sepulang sekolah tadi. Hany kertas dan pensil ia akan menggambar sketsanya terlebih dahulu.
“Nggak nyangka ya kayaknya baru kemarin kita ketemu, terus temenan karena sering main bareng, masih kecil masih anak-anak yang nangis kalo mainanya rusak,” kata-kata itu keluar dari mulut Zidan, dia memang jarang berbicara tapi sekalinya berbicara ia akan mengeluarkan kata-kata yang mendalam.
“Cepet banget emang waktu berlalu,” ucap Juna kemudian ia merangkul pundak Zidan, Naya sendiri berada sedikit lebih jauh dari keduanya ia tengah berkonsentrasi dengan gambarnya.
“bersyukur banget, bisa ketemu dan menghabiskan banyak waktu bareng kalian.”
“wajib Dan kamu emang musti bersyukur bisa jadi temen aku,” ujarnya menyombongkan diri.
Zidan tertawa, si Juna memang selalu tengil dan kekanak-kanakan ia memaklumi hal itu.
“waktu kita buat bareng-bareng bakalan semakin sedikit, mungkin beberapa taun lagi kita udah mulai sibuk sama urusan kita masing-masing, Naya yang bakalan fokus nglukis mungkin, kamu yang bakalan jadi pemain bola,” wajah Zidan tampak saat serius dan Juna yang tengah asik memainkan pasir itupun mendengarkan dengan sungguh-sungguh.
“wahhh… kok jadi genre melo sih, tapi pas suasananya buat ngomongin hal-hal begituan,” ucap Juna masih dengan bercandanya ia sedikit susah untuk diajak serius, kini ia mengalihkan pandanganya mendegadah melihat langit sore yang semakin cantik.
”dulu, aku kira kita cuma bakalan jadi temen main, tapi ternyata lebih dari itu kamu sama Naya jadi salah satu hal yang berharga dalam hidup aku,”
Juna dibuat melongo ia tak tau harus menjawab apa atas pernyataan Zidan baru saja. Untuk sesaat mereka terdiam. Dan Naya tetap masih asik dengan dunianya.
Juna beranjak dari duduknya ia berjalan mendekat ke bibir pantai kakinya mulai tersapu ombak, ia menikmati suasana ini. Cukup lama Juna berjalan tanpa arah ia sedikit merenungi obrolan dirinya dengan Zidan beberapa saat yang lalu,
Ia juga merasa bersyukur untuk semua yang telah berlalu, bertemu dengan mereka membuat Juna memiliki banyak cerita untuk disimpanya, bahkan untuk hari ini yang juga Juna rasa sangat menyenangkan untuk ia kenang dikemudian hari.
Pikiranya terbang jauh, kembali pada masa-masa ketika pertama mereka dipertemukan.
Siang itu dihari yang sama Juna bertemu dengan Zidan dan Naya, dan sejak hari itu juga mereka berteman.
Saat itu Juna kecil sedang bermain bola seorang diri di lapanga komplek rumahnya, waktu sudah hamper menjelang petak anak-anak seusianya jelas sudah pulang kerumahnya masing-masing, sedangkan Juna yang lupa waktu masih asik dengan bolanya. Dan saat itu bola milik Juna menggelinding jauh masuk ke pekarangan rumah di dekat lapangan dan disana dia bertemu dengan Naya ia melihat Naya jongkok dan tengah menagis dihalam rumah , dengan segan Juna pun mendekat ke arah Naya.
“heh… cengeng, ngapain nangis?” tanyanya ketus saat itu, dan Naya Justru semakin menjadi menangisnya. Juna menjadi iba melihat Naya yang menangis sampai sesegukan, ia pun mendekati Naya dan berbicara dengan lembut, “ kamu kenapa Nangis?” tanyanya mengulang.
Naya masih mengabaikan pertanyaan itu dan masih menangis, Junapun semakin bingung harus berbuat apa.
“ stttt…. Bentar lagi malem , kamu ngapain nangis sendiri disini? Bahaya katanya akan ada moster jahat yang menculik anak-anak jika hari mulai petang.” Ucapnya menipu dengan dalih yang ia karang sendiri.
Naya yang mendengar hal itu seketika langsung berusaha menahan isak tangisnya, ia tetap menangis namun denga lirih.
“sudah nangisnya, mending kamu pulang sekarang!”
“Ku-ci-ng Na-ya.” Ucapnya terbata. Dan Juna tak mengerti apa yang keluar dari mulut Naya karena ia berbicara sambal menangis kata-kata yang keluar dari mulut Naya terdengar samar ditelinga Juna.
“ hah? Apa nggak jelas?”
“kucing Naya, Pino namanya dia hilang belum pulang.” Jelas Naya.
Juna mengangguk, sekrang Juna mengerti ia paham kenapa anak perempuan kecil itu menangis sendirian.
“kucing kamu warna apa?” tanyaya menyelidik.
“hitam,”
“Aku bantuin cari tapi kamu ga boleh Nangis, nanti kalo kamu nangis dan mosternya tau ada anak kecil kita bakal di culik, kamu mau?” ucapnya menakut-nakuti, walau sebenarnya itu hanya alasan yang Juna buat-buat sendiri agar Naya menghentikan tangisanya.
karena Naya kecil percaya dengan dalih yang Juna buat itu ia mencoba sekuat tenaga untuk menghentikan tangisanya.
"siapa nama kucing kamu?" tanya Juna ia lupa padahal sudah Naya beritau diawal nama kucingnya.
"pino." jawab Naya lirih,
sekarang dua anak kecil itu tengah kelimpungan mencari Pino sikucing hitam padahal hari sudah mulai gelap.
"Pino.... pussss...pusss... Pino." seru Juna, berusaha memanggil si kucing berharap jika saja suaranya didengar si kucing, Naya terus berjalan disisi Juna ia mengikuti kemanapun Juna berjalan.
sudah tiga kali mereka mengitari rumah-rumah disekitar lapangan, tapi sayangnya si Pino belum juga terlihat, Naya terlihat sangat letih tapi ia masih gencar mencari si Pino Juna yang sebenarnya pun juga merasa lelah tak enak hati jika menyudahi pencarian si kucing hitam itu, apa lagi jika melihat raut wajah Naya saat ini.
"mau duduk dulu?" tanyanya, Naya menggeleng ia masih ingin menemukan kucingnya. Juna menuruti kata Naya dan mereka tetap melanjutkan pencarianya,
rasa lelah itu tak lagi bisa ditahan Juna nyaris menyerah, udara malam juga mulai membuatnya kedinginan ia menghentikan langkahnya, kemudian disusul Naya yang juga menghentikan langkah kakinya tapi dengan wajah kebingungan.
"nyari Pinonya lanjutin besok, sekarang aku anter kamu pulang,"
Naya mengeleng ia berdiri mematung, tak ingin pulang yang ia mau adalah menemukan kucingnya.
"Mau cari kemana lagi? ini sudah malam,"
"Pi-no." gumam Naya lirih dan ia justru kembali menangis. Dan disituasi itu Juna bingung ia tak tau harus berbuat apa.
"stt.... diam! moster itu nanti datang menculikmu," ucapnya menakut-nakuti tapi hal itu sudah tak berlaku lagi Naya tetap saja menangis.
"bagaimana jika ternyata si Pino sudah pulang dan sedang tidur di rumah,"
mendengar itu Naya jadi berfikir tentang kemungkinan itu.
"kita pulang, kita liat dirumahmu siapa tau pino ada dirumah, kalau tidak ada baru kita cari lagi si Pino, bagaimana?" tawar si Juna dan Nayapun mengangguk setuju.
mereka berjalan pulang ke arah rumah Naya dan di sepanjang jalan menuju rumah Juna terus berusaha menenangkan Naya yang belum juga berhenti menangis, ia melontarkan beberapa gurauan. "Kamu tau kenapa domba bulunya berwarna coklat?"
Juna mencoba mengajak Naya bermain tebak-tebakan,
"nggak tau kan? makanya kamu diem, domba itu jarang mandi makanya coklat, kalau dia rajin mandi pasti putih." lanjutnya belum menyerah meski Naya sangat acuh dengan gurauanya itu.
tak selesai di situ Juna juga bercerita tentang apa yang ia lakukan seharian ini, dan Naya hanya diam mendengarkan atau justru pikiranya hanya dipenuhi dengan pertanyaan 'dimana Pino sekarang.' .
"rumah kamu dimana?"
"itu..." ucapnya menjuk sebuah rumah berwarna putih di depanya.
"oke ayok!!! kita liat Pinomu."