Waktu menunjukkan pukul 7 malam. Hari sudah begitu gelap. Di sisi lain, Dira masih berada di klinik tempatnya bekerja. Ia melepas jas putih kebanggaannya, dan bersiap untuk pulang.
Dira keluar dari klinik menuju parkiran tempat mobilnya terparkir. Tidak berlama-lama, ia langsung masuk ke dalam mobil lalu melajukan mobilnya dengan kecepatan sedang. Ia sudah tidak sabar untuk segera tiba di rumah. Bertemu dengan keluarga kecilnya, dan memasak untuk mereka, sudah cukup ampuh sebagai penghilang rasa lelah.
20 menit kemudian, ia sampai di rumah. Ia langsung menuju kamar untuk membersihkan dirinya. Setelah rapi dan wangi, Dira berjalan menuju dapur untuk menjalankan rutinitasnya sebagai ibu rumah tangga.
Dira menyiapkan makan malam untuk suami dan adiknya. Dira membuka kulkas dan mengambil semua bahan-bahan yang diperlukan. Rencananya, ia akan memasak sup daging dan perkedel kentang yang dilengkapi dengan sambal kecap.
Tidak membutuhkan waktu lama untuk memasaknya, cukup 30 menit saja, bahan-bahan yang tadinya masih mentah, sekarang sudah termasak dengan sempurna. Dira memang ahli kalau soal masak-memasak, tapi masakan Aliana juga tidak kalah lezat.
Dira memindahkan makanan ke piring, dan menatanya dengan sangat cantik. Setelahnya, ia langsung menatanya di meja makan. Namun, tiba-tiba kepalanya terasa sangat pusing. Dira merasa ada sesuatu yang keluar dari hidungnya. Ia pun menyentuh hidungnya lembut. Bau anyir seketika menyeruak dalam indra penciumannya. Cairan kental dengan warna merah segar, mengalir deras dari hidung mancungnya. Tak lama setelahnya, ia terjatuh pingsan bersamaan dengan suara piring yang pecah berserakan.
Dira sebenarnya sudah lama mengidap kanker darah atau Leukimia. Namun, ia tidak pernah mau bercerita kepada siapa pun termasuk Reyhan dan Aliana. Dira menyembunyikan penyakitnya karena tidak ingin melihat orang-orang yang disayanginya menjadi sedih dan khawatir. Entah mengapa, akhir-akhir ini Dira sering mimisan dan mudah merasa lelah. Apakah penyakitnya itu sudah mulai parah? Entahlah, tapi yang jelas, hanya Dira, Dokter dan Tuhan saja yang mengetahui kebenarannya.
Di sisi lain, Aliana masih terjebak macet. Cukup memakan waktu lumayan lama, untuk bisa sampai di rumah.
Taksi bisa melaju lebih cepat saat jalanan mulai lenggang. Tak butuh waktu lama, taksi tiba di rumah megah milik keluarga harmonis itu.
Aliana turun, lalu memberikan dua lembar uang berwarna merah. "Pak, ini ongkosnya." ucapnya sambil menyerahkan uang itu ke sopir taksi.
"Tidak usah, Mbak. Ongkosnya tadi sudah dibayar sama masnya." jawab sopir itu jujur. Ia menolak uang pemberian Aliana.
Aliana tersenyum. Pasti Mas Ferdhy. Batinnya.
"Sudah, Pak. Ambil saja. Anggap saja, ini rezeki dari Allah buat anak dan istri bapak. Mohon diterima ya, Pak." Aliana menyodorkan uang itu kembali.
"Alhamdulillah, terima kasih banyak ya, Mbak. Semoga Allah melipat gandakan rezeki Mbak sekeluarga." Sopir taksi itu menerima uang pemberian Aliana dengan wajah sumringah. Doanya begitu tulus.
"Aamiin Allahumma Aamiin," Aliana turut mengaminkan doa sopir taksi itu.
"Sekali lagi, terima kasih banyak, Mbak. Saya permisi dulu, mau cari penumpang lagi," pamit sopir taksi.
"Sama-sama, Pak. Hati-hati di jalan." Aliana tersenyum tulus ke arah laki-laki setengah baya itu.
"Assalamualaikum."
"Wa'alaikumussalam." Setelahnya, mobil melaju dengan cepat.
Aliana membalikkan tubuhnya. Ia mengetuk pintu gerbang, sebelum masuk ke dalam rumah. Pak satpam pun keluar dan membukakan gerbang sambil tersenyum ramah ke arah Aliana.
"Selamat malam, Non." Pak Sarip menyapa Aliana ramah.
"Malam juga, Pak Sarip. Saya permisi masuk duluan ya, Pak?" balas Aliana sopan.
Pak Sarip adalah satpam yang berjaga di rumah. Beliau sangat ramah dan jujur. Mungkin, usianya sekitar 50 tahun, tapi masih memiliki jiwa semangat muda yang sangat tinggi.
"Assalamualaikum. Aliana pulang." Aliana mengucap salam, tapi tidak ada yang menjawab salamnya. Aliana merasa heran karena tidak ada sahutan dari dalam. Padahal, mobil Dira sudah terparkir rapi di depan rumah. Mungkin, Dira sedang memasak. Itu 'kan yang menjadi kebiasaan Dira setelah pulang kerja. Begitulah pikir Aliana.
Aliana berjalan menuju dapur. "Astaghfirullahaladzim. Mbak Diraaa!!!" teriak Aliana histeris saat mengetahui Dira terkulai di lantai.
Aliana berlari menghampiri Dira. Dengan cepat, Aliana merogoh tasnya dan mengambil HP yang ada di dalamnya. Ia mencari nomor seseorang yang disimpannya dengan nama Kakak Ipar.
"Assalamualaikum. Hallo, Mas Reyhan," sapa Aliana dengan nada khawatir saat telepon sudah terhubung.
"Wa'alaikumussalam. Ada apa, Al? Tumben kamu telepon jam segini?" tanya Reyhan di seberang sana.
"Mbak Dira, Mas ... Mbak Dira pingsan."
"Apa?!"
"Iya ... aku sekarang mau bawa ke rumah sakit. Nanti kita ketemuan di sana. Aku tutup dulu teleponnya. Assalamualaikum."
"Baik, Al. Mas segera menyusul. Wa'alaikumussalam.
Tut!!! Tut!!! Tut!!
Sambungan terputus!
Aliana langsung bergegas membawa Dira ke rumah sakit dengan bantuan Pak Sarip. Aliana bernapas sedikit lega karena jalanan tidak semacet biasanya.
"Pak Sarip, bisa lebih cepat lagi?" ujar Aliana tidak sabaran. Dengan peluh yang membanjiri wajah cantiknya, Aliana memandang iba wajah Dira yang memucat. Ia mengelus puncuk kepala Dira yang berada di pangkuannya. Mulutnya tak henti-henti merapalkan doa yang diamalkannya sedari kecil.
Mbak Dira kenapa, Mbak? Tanyanya dalam hati.
*****
Mobil sudah tiba di rumah sakit. Dengan bantuan para petugas medis, Dira langsung dilarikan ke IGD. Dokter dan beberapa perawat yang berjaga di sana, langsung siaga memberikan pelayanan yang terbaik. Mereka semua sangat cekatan dalam bertugas.
Di lain tempat, Reyhan melajukan mobilnya dengan kecepatan yang tinggi. Jalanan yang tidak terlalu padat, membuat Reyhan bisa leluasa dalam berkendara. Pikirannya saat ini sedang berkecamuk setelah mendapat kabar dari Aliana tadi. Reyhan langsung bergegas menuju rumah sakit.
Pikiran Reyhan tidak bisa tenang. Terbayang sesuatu yang tidak-tidak terjadi pada istrinya.
Ya Allah, ada apa dengan Dira? Kenapa bisa sampai pingsan? Batin Reyhan dalam hati.
Sesampainya di rumah sakit, Reyhan langsung masuk ke ruang IGD. Di sana, sudah ada Aliana yang terduduk dengan wajah cemasnya. Tanpa pikir panjang, Reyhan pun segera menghampiri Aliana.
"Assalamualaikum, Al. Gimana keadaan Dira?" tanya Reyhan pada intinya. Ia tidak bisa untuk sekedar berbasa-basi. Pikirannya sudah dipenuhi dengan kemungkinan-kemungkinan yang tidak pasti.
"Wa'alaikumussalam. Aliana juga belum tahu, Mas. Mbak Dira masih ditangani dokter di dalam sana." Aliana menghembuskan napas berat.
Reyhan tidak tahu harus bagaimana. Ia memijat pelan dahinya yang terasa berdenyut.
Tak lama, dokter cantik berkerudung maroon lengkap dengan jas putih polosnya, keluar dari dalam IGD. Dokter itu menghampiri Reyhan dan Aliana yang berada di ruang tunggu.
"Apakah di sini ada keluarga pasien atas nama Dira?" tanya Dokter cantik itu.
Reyhan berdiri mendekati dokter itu diikuti Aliana. "Saya suaminya, Dok. Ini Aliana, adik dari istri saya." Reyhan menunjuk dirinya sendiri dan Aliana.
Dokter itu tersenyum manis. "Baik, kalau begitu silahkan Mas dan Mbaknya ikut ke ruangan saya sebentar," ajak dokter cantik yang diketahui bernama Zalfa. Terlihat pada name tag yang tertulis di bagian atas jas putihnya.
Mereka berjalan menuju ruangan Dokter Zalfa. Dokter Zalfa langsung masuk dan mempersilahkan mereka untuk duduk.
Dokter Zalfa mengambil cek medis dari Dira, lalu memberikannya pada Aliana. "Dari hasil pemeriksaan lengkap terhadap pasien, kami dapat mendiagnosa, bahwa pasien mengidap kanker darah atau leukimia." Dengan berat hati, Dokter Zalfa harus memberitahukan kabar tidak baik ini pada pihak keluarga.
"Apa,Dok? Leukimia?!" ucap Aliana tak percaya.
"Iya, Mbak. Mbak bisa cek sendiri hasil dari tes laboratorium."
Dengan hati-hati, Aliana membuka kertas yang ada di tangannya. Ia baca perlahan sampai pada pernyataan yang menunjukkan jika Dira mengidap leukimia.
Aliana menjatuhkan kertas itu di atas meja. Air matanya tumpah seketika. "Tapi itu gak mungkin, Dok. Setahu saya, orang yang mengidap leukimia, sedikit banyak pasti mengalami gejala. Entah itu mimisan, sering pingsan atau mudah lelah. Kakak saya sama sekali tidak pernah menunjukkan gejala itu, Dok." Aliana masih belum percaya dengan ini semua. Mana mungkin? Mana mungkin kakaknya menutupi ini semua dari dirinya?
"Mbak Aliana yang sabar. Dari hasil lab memang menunjukkan seperti itu keadaannya, Mbak. Mungkin, pasien sudah tahu tentang penyakitnya sejak lama, tapi pasien menyembunyikan penyakitnya karena tidak ingin membuat keluarganya khawatir." Kemungkinan, apa yang dibilang Dokter Zalfa memang benar.
Reyhan tidak bisa berkata-kata lagi. Diambilnya kertas yang dibaca Aliana tadi. Dengan perlahan, ia membaca kertas itu dengan teliti. Dadanya sesak membaca kenyataan pahit yang tertulis pada hasil pemeriksaan itu.
"Dengan berat hati saya beritahukan bahwa penyakit pasien sudah ada pada tahap stadium lanjut." Pernyataan dari Dokter Zalfa membuat air mata Aliana mengalir semakin deras.
Reyhan yang sedari tadi berusaha tegar, akhirnya membiarkan cairan bening itu keluar dari sudut matanya. Buru-buru ia menghapus air mata itu kasar. Ia harus kuat. Jika dirinya lemah, lalu siapa yang akan menguatkan Dira untuk berjuang melawan penyakitnya?
Aliana pun permisi keluar dari ruangan Dokter Zalfa. Ia berlari ke toilet dan menangis sejadi-jadinya di sana. Sungguh, dirinya masih belum bisa menerima ini semua.
"Mbak Dira," ucapnya menahan sesak.