Menjadi Penguat Dira

1698 Kata
Dira sudah dipindahkan ke ruang perawatan biasa. Namun, ia masih belum juga siuman. Di samping Dira, Reyhan terdiam tanpa suara. Digenggamnya jemari mungil nan lentik milik Dira dengan lembut. ia tidak tahu, apa yang harus ia lakukan setelah mengetahui istinya mengidap penyakit yang mematikan. "Apa yang harus kulakukan saat ini ya Allah? Mengapa Engkau memberikan cobaan padaku seberat ini? Aku belum siap kehilangan istriku. Kehilangan ma'mum terbaikku. Dia adalah tulang rusukku Tuhan. Wanita yang terbaring tak berdaya ini, dia adalah sosok penopang pada setiap kerapuhanku. Aku tak sanggup melihatnya seperti ini Tuhan. Kumohon, jangan dulu kau ambil dia dariku," batin Reyhan. Reyhan saat ini merasa tubuhnya rapuh karena tulang rusuk yang selama ini menopangnya, kini terbaring tak berdaya di ranjang rumah sakit dengan berbagai macam warna infus dan alat-alat penunjang hidup yang menempel di beberapa bagian tubuhnya. "Dira Sayang, buka matanya dong? Seneng banget ya, lihat aku jadi laki-laki cengeng kayak gini? Aku rindu pelukmu, Dir. Aku masih belum siap ditinggal kamu. Cuman kamu bidadari surgaku, Dir. Cuman kamu yang pantas menjadi surga untuk anak-anakku kelak. Ayo dong, Sayang, buka matanya. Kalau kamu tidur lama kayak gini terus, nanti kalau udah buka matanya, bakalan aku hukum loh," ucap Reyhan lirih di samping Dira. Tidak ada respon sama sekali dari Dira. Reyhan semakin erat mengaitkan jemarinya dan Dira. Dikecupnya pelan puncak kepala Dira. Sebisa mungkin, ia tahan air matanya agar tidak menetes keluar. Reyhan tidak ingin Dira sedih melihatnya seperti ini. Tiba-tiba, jari Dira bergerak. Perlahan ia mulai membuka matanya. "Mas Reyhan," panggil Dira lirih. Hampir tak terdengar. "Sayang, kamu sudah bangun? Lama bener sih buka matanya? 'Kan aku kangen," Dira tersenyum masam. "Ih, apaan sih, Mas Reyhan. Lebay deh, kamu! Pingsan gak sampai sehari aja, udah bilang kangen." "Siapa bilang sehari? Orang kamu dah tidur seminggu." Reyhan memang jahil. Hobi banget bohongin istri. "Hah? Serius?!" tanya Dira tak percaya. "Ya 'kan sehari bagi aku itu lama kalo melaluinya gak sama kamu." Reyhan pinter banget gombalnya. "Gombal!" tukas Dira dengan senyum malu-malu. "Dih, kok dibilang gombal?" "Eleh, udah deh, gak usah mulai." Reyhan langsung cemberut. Tanpa pikir panjang, ia memeluk Dira penuh sayang. "Mas," panggil Dira. "Iya?" "Kamu udah mandi belom?" tanya Dira. Reyhan cengengesan. "Hehe, belom. Kenapa emang?" "Pantes, bau!" ledek Dira. Sebenarnya, ini hanya Alibi Dira untuk mencairkan suasana. Ia sangat yakin, Reyhan pasti sudah tahu mengenai penyakit yang ia sembunyikan sejak lama. Reyhan memegang ketiaknya lalu menempelkan tangannya ke hidung Dira. "Tuh, cium. Masih wangi gini dibilang bau." Reyhan tak terima dikatain bau. "Ih jorok banget! Pulang dulu sana, terus mandi biar wangi. Kalo udah wangi, entar ke sini lagi." Dira pura-pura mengusap hidungnya seolah Reyhan beneran bau. Padahal, aroma tubuh Reyhan begitu memabukkan. Seperti candu bagi Dira. "Dih! Jahat banget sih, Yang? Suami sendiri diusir. Dikatain bau lagi. Mau aku selipin di ketek aku, Hem?" "Gak mau! Ketek kamu bau." "Eleh, nih cium." Reyhan mengangkat tangannya tinggi-tinggi. "Ogah!" Dira pura-pura menutup hidungnya. "Harusnya, kamu tuh bersyukur punya suami yang setia nemenin kamu. Nanti kalau aku tinggal, kamu entar kangen, hayooo .... " "Ngapain kangen? Kalau kangen ya gampang. Entar tinggal cari suami baru. Hahaha .... " ujar Dira dengan tawa lepasnya. "Berani cari suami baru?" tantang Reyhan. "Siapa takut." "Oh, gitu? Tenang saja, pistolku masih sanggup kok buat bunuh suami barumu!" ancam Reyhan. "Waduh, ampun Komandan. Ngeri amat." Dira pura-pura ketakutan. "Mau cari suami baru? Tak bunuh suamimu! Hehe .... " "Udah, ih! Mala bercanda." Dira sedikit sewot. "Aku beneran loh. Kamu cari suami baru, jangan harap bahagia," ucap Reyhan serius. Dira menatap Reyhan tak kalah serius. "Mas, mungkin kamu sudah tahu soal penyakit aku dari dokter yang merawat aku. Aku minta maaf ya, Mas. Aku sudah menyembunyikan penyakit ini dari kamu dan Aliana. Sekali lagi, maafin aku. Aku sengaja menyembunyikan ini semua karena aku gak mau melihat kalian khawatir, dan mungkin juga aku gak bisa bersamamu terus, Mas. Aku merasa umurku sudah tidak lama lagi. Reyhan menyentuh bibir pucat Dira. "Husssttt!!! Kamu gak boleh bicara seperti itu, Sayang. Umur itu milik Allah. Kita gak ada yang tahu kapan kita akan kembali pada-Nya. Kamu harus optimis! Kamu pasti bisa sembuh." Reyhan mendekap Dira dengan penuh kasih sayang. Hanya itu yang bisa Reyhan ucapkan pada Dira. Ia tidak tahu harus berbuat apa. Namun, satu yang ia tahu kalau penyakit kanker itu sangat sulit disembuhkan. Aliana masuk ke ruang inap Dira setelah ia mengurus beberapa administrasi yang harus diselesaikan. "Assalamualaikum," Aliana memberi salam. Ia langsung berjalan masuk menghampiri Dira dan Reyhan. "Wa'alaikumussalam," jawab Reyhan dan Dira bersamaan. "Mbak Dira mau makan?" tawar Aliana yang dibalas dengan gelengan Dira. "Nggak, Al. Mbak belum lapar," tolak Dira halus. Aliana tersenyum manis, lalu ia duduk di sofa yang tersedia di sana. Ia menyandarkan tubuh lelahnya pada sandaran kursi yang empuk. Dipejamkan mata itu dalam-dalam. Rasanya, kepalanya begitu pusing. Ingin sekali ia meringankan beban berat dalam kepalanya. "Al?" panggil Reyhan. Mau tidak mau, ia harus membuka matanya kembali. "Iya, Mas?" sahut Aliana. "Gimana administrasinya? Udah beres?" tanya Reyhan. "Alhamdulillah, sudah selesai semua. Sudah aku deposit juga. Jadi kalau ada obat yang harus ditebus, bisa langsung suruh petugas buat ambil," jelas Aliana. "Terima kasih banyak, Al. Maaf, kalau Mbak sudah merepotkan kamu." Kini giliran Dira yang menimpali. Aliana menggeleng pelan. senyumnya terulur tulus agar sang kakak tidak merasa dirinya direpotkan."Mbak Dira gak boleh bicara gitu. Mbak Dira gak pernah ngerepotin Aliana sama sekali." Dira tersenyum tulus. Aliana pun membalas senyuman itu tak kalah tulus. "Mas Reyhan, kamu pulang dulu gih. 'Kan sekarang sudah ada Aliana di sini yang jagain," ujar Dira pada Reyhan. Ekspresi Reyhan terlihat masam. "Ngusir nih?" Dira mencebikkan bibirnya sesaat, kemudian menarik napas dalam-dalam. "Enggak gitu maksudnya," elak Dira. "Iya, iya. Ya sudah, kalau gitu aku pulang dulu. Kalau ada apa-apa langsung kabarin aku." Akhirnya Reyhan menyerah dan menuruti apa yang Dira mau. "Siap, Komandan," jawab Dira dan Aliana kompak. "Titip Dira ya, Al?" "Iya, Mas. Mas Reyhan pulang dulu. Gak usah khawatir. Ibu Negara aman di sini." "Aku pulang, Assalamualaikum," pamit Reyhan. "Wa'alaikumussalam." Setelah Reyhan pergi, Aliana duduk di samping Dira. Ia menarik kursi yang Reyhan tempati tadi. "Mbak Dira, apa yang dirasain? Mbak mau sesuatu? Mau makan buah, bubur atau apa gitu?" tanya Aliana dengan rerentetan pertanyaan. "Enggak, Al. Mbak gak butuh apa-apa. Cuman kepala Mbak sedikit pusing aja." Capek rebahan, Dira menarik bantal dan menaruhnya di sandaran brankar. Aliana membantunya merubah posisi. "Ya sudah kalau gitu, Mbak Dira harus banyak istirahat," pungkas Aliana. "Nggak, ah! Capek. Dari tadi tidur mulu. Rebahan memang enak, Al. Tapi, kalau disuruh rebahan terus ya encok," gerutu Dira. "Iya juga sih, Mbak. Hemmm ... biar Mbak Dira gak bosen, Al punya cerita. Mau dengerin, gak?" Aliana terlihat antusias. Aliana memang sengaja tidak ingin menanyakan atau pun membahas tentang penyakit yang Dira derita. Sebisa mungkin, Aliana akan membuat Dira kembali ceria. "Boleh, cerita apa nih? Hayooo ... tentang cowok ya? Apa lagi ada yang mau halalin adek Mbak ini ya?" goda Dira. Kebiasaan Aliana yang Dira hafal adalah setiap ia didekati laki-laki, ia akan selalu menceritakan pada Dira. "Ih, mbak Dira mah. 'kan Al belum cerita," protes Aliana. "Ahahaha ... Iya, iya, emang mau cerita apa sih, Gadis Manis?" tanya Dira penasaran. "Emmm ... Jadi gini, Mbak. Tadi di kampus, Al ketemu sama sosok inspiratif yang sering Al ceritain itu loh. Gak sengaja sih, Al tadi jalan, tapi kurang fokus. Terus, Al gak sengaja nabrak dia. Dia terlihat buru-buru gitu. Awalnya, Al gak tahu dia siapa, soalnya Al lagi fokus ambil buku-buku Al yang jatuh. Setelah Al berdiri, Al baru ngeh kalau dia itu, sosok yang Al kagumin. Dalam hati, Al merasa beruntung banget Mbak, bisa bertemu sama dia." "Cuman gitu?" respon Dira yang acuh, membuat Aliana mengerucutkan bibir. "Belom selesai!" sewot Aliana. Ia terlihat kesal. "Terus?" "Dia ngajakin Al kenalan. Namanya siapa ya tadi?" terdiam sejenak sambil berpikir, membuat Dira gemas. "Lah, kamu nanya sama Mbak, ya mana Mbak tahu, orang yang kenalan juga kamu." Dira memutar bola matanya. "Al inget! Namanya Adzam. Dia mahasiswa kedokteran yang melanjutkan S3-nya di usia muda. Hebat, 'kan?" "Wih, keren dong. Jadi, kesimpulannya, Adek Mbak sekarang lagi jatuh cinta nih? Utututu." "Emmm ... gimana ya, Mbak? Bukan jatuh cinta sih, cuman kagum saja, tapi berharap juga dia bisa jadi jodoh Al kelak. Ya, sebelas dua belas sama Mas Reyhan lah pribadinya. Yang baik, penyayang, sabar dan gak kasar. Untuk saat ini, Al hanya mampu mengaguminya dalam diam, Mbak," terang Aliana. "Iya, Al. Intinya, dapetin dulu cintanya Allah, pasti entar cinta makhluknya juga bakalan ngikut. Kalau memang dia sudah ditakdirkan buat kamu, sejauh apa pun jarak, dan sebesar apa pun halangannya, jodohmu akan tetap menjemputmu diwaktu yang tepat. Tidak terlalu cepat, dan tidak terlalu lambat." Nasihat Dira. "Siap, Mbak. Al juga masih mudah, 'kan? Jadi gak buru-buru." "Eh, nikah mudah enak loh, Al," goda Dira. "Ah, Mbak Dira mah racun." Setelahnya, mereka saling lempar senyum. Senyum yang sama-sama manis dan mampu meneduhkan hati. Aliana senang melihat Dira kembali ceria. Meskipun ia tidak tahu, apakah keceriaan yang Dira tunjukkan itu murni, atau hanya kepura-puraan semata agar Aliana tidak sedih dengan kondisinya saat ini. Namun yang jelas, Aliana akan berusaha memberikan yang terbaik untuk kakaknya. Aliana akan membuat Dira bahagia di sisa hidupnya. Aliana tidak akan menyerah. Aliana percaya, mukjizat Tuhan itu nyata. "Al," panggil Dira membuat Aliana terperanjat. "Eh, iya mbak?" jawab Aliana gelagapan. "Kamu melamun, Dek? Ada masalah apa?" tanya Dira khawatir. "Eh, emmm ... anu, Aliana gak papa. Cuman tadi sedikit melamun, kapan ya Aliana lulus." Aliana terpaksa berbohong. Ia tidak ingin Dira tahu apa yang sebenernya mengganjal di pikirannya. "Kok dipikirin sih? Kenapa? Udah pengen nikah?" goda Dira. Aliana pura-pura tersipu agar Dira semakin percaya. "Ih, mbak Dira apaan sih." "Ya kamu. Ngapain mikirin lulus. Jangan dipikirin, dijalanin aja." "Iya, Mbak. Iya," final Aliana. "Emmm ... Aliana" Dira tampak serius. "Iya? Mbak butuh sesuatu?" tanya Aliana. Dira menggeleng." Enggak. Mbak cuman mau bilang, kalau Mbak udah gak ada, Mbak nitip Mas Reyhan." Dira meraih tangan Aliana. "Aliana membalas genggaman tangan Dira. "Husttt! Mbak Dira gak boleh bicara seperti itu. Sekarang Mbak istirahat, ya. Aliana temenin." "Tapi, Al?" "Mbak Dira istirahat, biar bisa cepat pulang," perintah Aliana. "Iya, Mbak istirahat." Dira mengalah. Ini belum saat yang tepat untuk berbicara pada Aliana perihal pembahasan sensitif itu.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN