Jadilah Humairahku

1542 Kata
Hari sudah berganti. Embun pagi menyambut hangat sang mentari. Hari ini, Dira sudah diizinkan pulang. Hanya Reyhan yang bisa menemani Dira pulang. Reyhan sengaja ambil cuti, sementara Aliana, pagi-pagi sekali harus pamit untuk pulang karena pagi ini ada UAS, jadi dia harus masuk ke kampus. Di kampus. "Al, gimana tadi? Lancar gak jawabnya?" tanya Rida sedikit kepo. "Alhamdulillah, Rid. Lancar. Kamu sendiri gimana?" tanya balik Aliana. Rida terlihat sedikit lesu. ia merasa kecewa karena tidak bisa memahami semua soal yang ada. "Ada satu nomor yang aku gak paham, Al. Aku masih bingung." Aliana tersenyum. Ia memberi support untuk Rida agar tidak berlarut dalam kekecewaan. Karena semua itu percuma. Semuanya sudah terjadi, mending belajar dari kesalahan daripada meratapi sebuah rasa kecewa dan penyesalan yang berakhir menyedihkan. "Gak apa-apa, Rida. Besok-besok harus lebih meningkat lagi pemahamannya." "Boleh minta bantuan gak, Al?" "Tentu ... kalau aku bisa ya?" "Tolong ajarin materi yang gak aku paham tadi," pinta Rida. "Oalah, itu toh? Ya sudah, ayo ke perpus saja kalau gitu." "Oke deh, siap." Mereka pun berjalan bersama. "Aliana," panggil seseorang dengan suara baritonnya. Aliana pun menoleh ke belakang, dan melihat siapa yang memanggilnya. Suara bariton itu ternyata milik Adzam. Perlahan, Adzam mendekat ke arah Aliana. "Eh, Kak Adzam. Kenapa Kak?" ujar Aliana. "Al, boleh minta waktunya sebentar?" tanya Adzam. "Eh, iya boleh, tapi jangan lama-lama ya, Kak? Gak enak juga soalnya kalau banyak yang lihat kita." Meskipun Aliana berbunga-bunga karena bisa mengobrol dengan orang yang dikaguminya, tapi ia masih bisa menjaga batasan. Ia tidak mau terjebak pada cinta yang sesat. "Iya, bentar saja kok. Lima menit," balas Adzam sambil mengangkat kelima jarinya. "Rida, kamu ke perpus duluan saja, nanti aku nyusul," Aliana menyuruh Rida ke perpus duluan. Sepertinya, ada sesuatu penting yang ingin disampaikan Adzam. Aliana ingin menjaga privasi Adzam. "Oke deh, Al. Ya sudah, kalau begitu aku duluan. Assalamu'alaikum," pamit Rida. "Wa'alaikumussalam." Jawab Adzam dan Aliana kompak. Adzam mengajak Aliana ke tempat yang sedikit sepi. Ia lalu menyuruh Aliana untuk duduk. "Duduk dulu, Al," suruh Adzam. Aliana pun duduk, diikuti Adzam setelahnya. "Jadi, Kak Adzam mau bicara apa?" tanya Aliana pada intinya. Ia tidak suka berbasa-basi. Ditambah, keadaan yang sepi seperti ini. Ia takut tergoda bisikan syaiton. Adzam membenarkan duduknya. Ia menatap Aliana mantap. "Al, jujur, saya dari dulu diam-diam memperhatikan kamu, dan sekarang, saya memberanikan diri buat bicara ini sama kamu. Kamu mau jadi Humairah saya? Jadi surga untuk anak-anak saya kelak dan menjadi pendamping hidup saya?" tanya Adzam serius. Dengan susah payah, akhirnya ia memantapkan hatinya untuk berani berbicara pada Aliana. Aliana menutup mulutnya. Ia terbengong-bengong mendengar pernyataan Adzan. "Kak Adzam gak sedang bercanda, 'kan?" tanya Aliana serius. "Kalau kamu bersedia, izinkan saya menemui walimu, Al. Kamu wanita Solehah, Al. Kamu wanita mulia. Kamu tidak pantas mendapatkan janji-janji manis dari banyak pria. Dan hanya sebuah akad yang pantas kau dapatkan sebagai imbalan atas usahamu menjaga perintah-Nya." tutur Adzam Aliana tertegun. Penjelasan Adzam barusan, membuat Aliana begitu tersentuh. Adzam mampu menghormati wanita setinggi itu? Masyaa Allah. "Masyaa Allah, saya benar-benar sangat terharu. Jarang sekali menemukan pria sepertimu, Kak. Jujur, sejak awal saya bertemu denganmu, saya juga diam-diam mengagumimu, beri saya waktu. Beri saya waktu untuk memberimu jawaban. Saya tidak berani memutuskan ini sendirian. Saya perlu berdiskusi dengan Robb saya. Sangat sombong sekali, andai kata saya tidak melibatkan Tuhan dalam setiap keputusan berat ini. Beri saya waktu," pinta Aliana. Dalam hati, ia begitu menginginkan berucap iya, tapi ia tidak bisa mengambil keputusannya sendiri. Masih ada Allah yang lebih berkuasa atas dirinya. "Baiklah, Al. Mintalah petunjuk sama Allah. Jika memang bukan saya laki-laki baik pilihan Allah, semoga kamu bisa mendapatkan jodoh yang terbaik, yang bisa menyayangimu tanpa syarat, membimbingmu sampai jannah. InsyaaAllah saya ikhlas. Saya tahu, cinta itu tak harus memiliki. Jika saya memaksakan ambisi saya untuk bisa memiliki kamu, itu bukan cinta, Al. Tapi nafsu. Saya tidak ingin mencintaimu karena nafsu. Sungguh biadab saya, jika saya hanya mementingkan nafsu saya. Saya hanya ingin mencintaimu karena Allah, Al. Insyaa Allah." Aliana tersenyum tulus. "Terima kasih, Kak. Untuk pengertiannya. Aliana pamit dulu. Assalamualaikum." "Wa'alaikumussalam." **** Setelah pamit pada Adzam, Aliana menghampiri Rida yang sedari tadi menunggu di perpustakaan. Aliana celingukan mencari sosok perempuan yang bersamanya tadi. Perpustakaan ini memang sangat ramai. Tidak hanya tempatnya yang strategis, tapi juga buku-bukunya yang sangat lengkap, sehingga banyak dikunjungi para mahasiswa yang ingin mengerjakan tugas atau hanya sekedar menambah wawasan. Aliana sedikit kesulitan mencari Rida yang tenggelam dalam kerumunan banyak orang. Tak sengaja, mata Rida menangkap sosok Aliana yang celingukan mencari dirinya. Dengan kilat, Rida langsung melambaikan tangan ke arah Aliana. Tanpa berlama-lama, Aliana langsung menghampiri Rida. "Akhirnya, Rid. Ketemu juga sama kamu." Aliana membuang napas beratnya. "Sabar, Al. Sabar. Kalau jam segini emang rame. Duduk dulu, Al, duduk." Rida melirik kursi kosong di sebelahnya. Aliana yang paham dengan maksud Rida, ia langsung menyeret kursi itu dan mendudukinya. sekali lagi, Aliana membuang napas kasar. "Huffttt." "Habis sport jantung, Buk?" tebak Rida. Heran, tidak biasanya Aliana seperti ini. Aliana langsung berubah aneh, setelah bersama Adzam. "Ini mah lebih dari sport jantung." jawab Aliana jujur. Ini bukan sport jantung lagi namanya, tapi maraton jantung. "Kenapa sih, kenapa?" tanya Rida penasaran. Apa yang sudah terjadi pada sahabatnya ini? "Kepo deh, kamu." "Pake main rahasia-rahasiaan! Eh, BTW tadi Kak Adzam bicara apa sama kamu? Terus dia kok bisa kenal kamu? Kan kalian gak pernah ketemu," tanya Rida penasaran sekaligus heran. "Gak usah kepo!" Ketus Aliana. Aliana pura-pura membolak-balik buku kedokteran milik Rida. "Ih, aku 'kan penasaran, Al. Cerita kek," bujuk Rida. "Dapet apa aku?" tawar Aliana. Mumpung Rida lagi penasaran, ia mengambil kesempatan dalam kesemutan, eh ... kesempitan maksudnya. "Makan sepuasmu!" Mau tidak mau, Rida harus merogoh koceknya dalam-dalam. Tidak masalah lah, yang penting rasa penasarannya tidak menghantui. Bagi Rida, lebih baik ia kehilangan sedikit uangnya, daripada harus menebak-nebak sesuatu yang tidak jelas kebenarannya. "Serius nih?" Aliana terlihat antusias. "Iya." Rida memutar bola matanya malas. "Oke deh, aku cerita," ujarnya antusias. "Kalau dipancing aja cepat!" sewot Rida. Aliana cuman nyengir. "Jadi, tadi itu Kak Adzam ungkapin perasaannya ke aku." "What?! Dia nembak kamu, gitu? Ngajakin kamu pacaran?" tanya Rida tak percaya. Bagaimana mungkin lelaki sealim Adzam ngajakin pacaran? "Bukan nembak sih, Rid. Lebih tepatnya, ngelamar aku. Kamu 'kan tahu sendiri kalau aku gak berani dan gak akan mau diajak pacaran. Makanya, Kak Adzam langsung mau ketemu sama keluarga aku, gitu." "Woww, serius Al? Duh, so sweet banget sih Kak Adzam? Aku juga mau digituin, Al. Terus-terus, kamu terima apa gak?" Rida dibuat semakin penasaran sekaligus iri dengan Aliana. "Nah 'kan. Jadi makin kepo deh kamu." Aliana memutar bola matanya "Kan penasaran, Alianaaaaa! Kalo cerita jangan setengah-setengah Napa?!" sewot Rida. "Emmm ... ya, aku sih belom jawab apa-apa, Rid." Aliana berkata jujur. "Kenapa gak langsung kamu terima sih, Al? Kak Adzam laki-laki baik loh. Cocok sama kamu. Aku kalau jadi kamu, pasti langsung mau." Rida merasa gregetan. Ia begitu gemas dengan temannya yang satu ini. "Ya, aku gak berani ambil keputusan sendiri lah, Rid. Aku juga harus melibatkan Allah dalam setiap mengambil keputusan yang berat. Lagian, nikah juga butuh kesiapan mental. Harus belajar juga soal parenting. Jangan asal nikah aja. Jangan cuman lihat uwu-uwunya aja." "Emmm ... Iya sih, Al. Ya udah deh, aku cuman bisa mendoakan yang terbaik buat kamu," ujar Rida tulus. Ia hanya bisa mendoakan Aliana. "Makasih ya, Ridakuuuu." "Sama-sama Alianakuuu." Mereka pun saling berpelukan. Tak lama, Rida mengurai pelukannya, setelah ingat tujuan mereka datang ke sini. "Udah, ah! Inget, tujuan kita datang ke sini tadi apa?" "Ngajarin kamu, Rid. Salah kamu sendiri sih, ngapain bahas-bahas Kak Adzam, jadi lupa, 'kan?" jawab Aliana sekenanya tanpa merasa bersalah. Ya, memang Aliana tidak bersalah. Ngapain merasa bersalah. Kan Rida yang mulai. "Hahaha ... ya maaf. Habisnya kan aku penasaran banget, Al. Tumben-tumbenan Kak Adzam mau ngobrol sama cewek, apalagi cuman berdua." "Wah, kok kamu tahu sih, Rid? Jangan-jangan, kamu naksir ya sama Kak Adzam?" Kini, giliran Aliana yang penasaran. "Hehehe ... iya, dari dulu aku emang kagum sama Kak Adzam. Makanya aku selalu up date berita tentang dia. Berhubung Kak Adzam sukanya sama sahabat terbaikku, aku bisa ikhlas, tapi kalo Kak Adzam sukanya sama cewek lain, aku gak terima!" "Eh, kamu gak boleh gitu. Jodoh sudah ada yang ngatur, loh," tegur Aliana. Seketika, Rida beristighfar. "Astaghfirullah, iya, Al. Maaf, aku khilaf." Aliana berkacak pinggang. "Ckck, dasar!" Mereka tertawa bersama dan setelahnya mulai serius membahas materi kedokteran yang membingungkan. Sudah 2 jam, Aliana memberi pemahaman pada Rida. "Rid, udah paham?" tanya Aliana. "Udah, Al. Paham banget. Kenapa gak dari kemaren-kemaren ya, aku minta ajarin kamu? Kalau paham gini 'kan, aku pasti bisa jawab semua soal tadi." Rida tampak sedikit menyesal. "Udah, gak usah di sesali. Yang penting sekarang 'kan udah paham. Belajar dari kesalahan itu lebih baik daripada meratapi keadaan." Aliana memang bijak. Ia tidak pernah menghakimi kesalahan orang lain, justru ia akan merangkul orang yang salah, agar senantiasa berada di jalan yang benar. "Emmm ... iya, Al. Apa yang kamu bilang memang benar," ucap Rida sedih. "Udah, ah. Aku laper. Traktir makan seperti janjimu tadi." Aliana menagih janji Rida. Rida memutar bola matanya malas. "Dasar! Soal makan aja cepat!" tukas Rida Aliana nyengir. "Harus lah!" "Mau makan apa?" tawar Rida. "Batagor Mang Ujang gimana?" tanya balik Aliana. Rida tampak berpikir. Mereka saling melempar pandangan. Sepertinya pemikiran mereka begitu kompak. "Cusss," ujar Rida dan Aliana kompak
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN