Kania mengucek matanya untuk memperjelas penglihatan. Karena terlalu lama menangis, dia malah tertidur.
Helaan napas kasar kembali keluar dari mulutnya. Dia masih berharap apa yang telah menimpanya adalah mimpi. Tapi ini apa? saat dia terbangun lagi, semua masih sama. Tidak berubah, dia masih ada dikamar yang sama dan tubuh yang sama.
"dosa naon abi teh nepi bisa ka kieu (dosa apa aku bisa sampai begini)"
Kania bangun dan duduk bersandar di kepala tempat tidur. Diliriknya jam yang ada di nakas. Sudah pukul tujuh malam. Sejujurnya, dia juga tidak tahu sejak jam berapa dia tidur. Boro-boro mikir jam, mikir kenapa bisa begini aja sudah puyeng!.
Menyibak selimut, Kania turun dari atas tempat tidur. Dengan langkah lesu dia pergi menuju kamar mandi. Dia perlu mandi agar tubuhnya lebih segar dan setiap dia melihat wajahnya di cermin, dia hanya bisa menunduk lesu.
Selesai mandi, dia langsung membuka pintu lemari yang begitu tinggi dan berjejer begitu rapih, khas orang kaya seperti yang selalu dia lihat di medsos.
"satu baju bisa beli sapi inimah" ucap Kania saat melihat susunan gaun di balik salah satu pintu.
Mendapatkan piyama, Kania langsung memakainya. Rasanya benar-benar sulit dipercaya jika hal seperti ini terjadi kepadanya.
Setelah selesai memakai baju, Kania kembali ke atas kasur. Dia bingung harus apa lagi. Duduk diam bersandar ke kepala ranjang, Kania berpikir tentang bagaimana agar semua kembali normal. Apa iya dia harus ke dukun? atau ke anak indigo? atau mungkin dia harus di ruqiyah?.
"arghhhh! nyebelin!" teriak Kania yang tidak berhasil menemukan solusi.
Kembali dilirik jam di nakas, sudah pukul delapan malam. Perutnya sudah mulai terasa perih karena lapar.
"buset dah, gak ada yang niat buat ngajak makan apa? itu laki juga gak ada niat buat bujuk istrinya? aneh banget" gerutu Kania.
Pasalnya, jika sudah memasuki waktu makan, bukankah seharusnya dia juga dipanggil untuk makan bersama atau si Radhit yang notabennya suami dari sosok yang dia tempati tubuhnya datang dan membujuk istrinya?
"aneh banget ini orang-orang. Jadi curiga gue kalau si Kaylia bukan nyonya. Tapi kacung"
Pintu kamar di ketuk, pandangan Kania langsung tertuju kesana. "baru di omongin. Panjang umur dia"
"masuk" teriak Kania karena pintu tidak juga terbuka.
"permisi nyonya" Sumi datang sambil membawa nampan yang Kania tahu berisi makan.
"karena nyonya tidak kunjung keluar kamar, jadi saya bawa makan malam."
Kania mengangguk "bawa kesini. Saya tuh kelaparan asal bibi tahu" Kania menepuk kasur dihadapannya.
Sumi patuh, sambil membawa nampan berisi makan malam, dia melangkah menuju sang nyonya besar.
"tolong tutup pintunya tapi kamu bibi tetap disini" suruh Kania sambil menerima nampan.
"duduk sini" Kania menyruh Sumi duduk didekatnya setelah wanita tersebut menutup pintu.
"ada apa nyonya?" tanya Sumi pada Kania yang sudah mulai makan.
"ceritain tentang saya" suruh Kania sambil mengunyah makanannya.
Sumi diam, keningnya mengkerut karena bingung dengan pertanyaan sang nyonya. "maksudnya?"
Kania meraih gelas, meneguk isinya hingga setengah. Dia sudah tidak napsu lagi makan. Padahal dia baru memulainya.
"ini, tolong ke pinggirin dulu" Kania menyodorkan nampan.
"sudah selesai nyonya? tapi anda baru makan sedikit"
"udah gak lapar lagi"
Sumi hanya mengangguk lalu meletakkan nampan di nakas.
"jadi, ceritain tentang saya" suruh Kania lagi.
"maksud nyonya bagaimana? saya kurang ngerti"
Kania menghela napas "bibi tahu kalau saya sudah jatuh?"
Sumi mengangguk
"saya lupa. Lupa semuanya. Saya lupa ini dimana, saya siapa, siapa suami saya. Pokoknya lupa semua" bohong Kania dia bukan lupa. Cuma memang gak tahu!
Mata Sumi membulat "ya ampun. Kalau begitu nyonya harus ke dokter!" panik Sumi.
"tidak perlu! saya gak sakit" tolak Kania tegas.
"tapi nyonya-"
"gak apa-apa. Nanti juga inget sendiri. Sebelum saya inget, bibi ceritain dulu tentang saya. tapi ingat, kondisi saya cuma bibi yang tahu, yang lain jangan sampe tahu!"
"Tuan Radhit?"
"itu urusan saya. Tapi, ngomong-ngomong tentang Radhit, laki-laki itu kemana?"
"ada di ruang kerja, setelah makan, tuan Radhit langsung kesana"
Kania berdecak "dia makan sendirian? gak ngajak saya?"
Sumi mengangguk, nyonya besarnya kali ini benar-benar cerewet, jauh berbeda dengan sebelumnya. "biasanya memang seperti itu nyonya"
"apa?!" Kania cukup terkejut. Suami macam apa si kudit itu?!
"nyonya dan tuan selalu sibuk dengan urusan masing-masing. Tidak pernah sekalipun saya melihat anda dan tuan duduk santai di depan televisi sambil mengobrol. Anda dan tuan hanya akan bicara saat ada yang penting saja"
Kania cukup terkejut dengan penjelasan Sumi. Pantas saja itu laki-laki gak manggil istrinya makan bareng atau di bujuk biar istrinya ke luar kamar.
"kalau kamar, dia tidur dimana? dikamar mana?"
Sumi tertawa pelan "kalau itu, ya bareng-bareng sama nyonya"
Kania hanya menampilkan raut wajah tidak percaya, dasar pasutri aneh, hubungan gak deket tapi urusan ranjang lanjut terus. Dasar!
"malam ini suruh Radhit tidur di kamar lain. Eh, bukan cuma malam ini, tapi malam berikutnya, saya gak mau sekamar sama dia" tegas Kania, enak saja dia yang ting-ting sekamar sama suami orang, ogah! meskipun tubuh yang dia tempati udah di unboxing, tetap saja jiwanya masih suci. Asyek!
"tapi-"
"jangan pake tapi, bilang aja begitu sama Radhit"
"nyonya hamil?!"
"hah?!" wajah Kania benar-benar terkejut.
"saya pernah nonton sinetron, katanya kalau orang hamil ada juga yang gak mau deket suaminya"
"gak! jangan ngaco ya bi!"
"loh kok ngaco? wajar nyonya, kan ada suami"
"udah deh, bilang aja begitu sama Radhit. Dia pindah kamar"
Sumi mengangguk patuh. "ada lagi yang perlu saya ceritakan?" tanya Sumi.
Kania menggeleng "cukup dulu. Nanti saya tanya lagi, ingat ya bi, jangan bilang-bilang"
"baik nyonya" Sumi mengacungkan jempolnya.
"bagus"
"kalau begitu saya permisi"
Kania mengangguk, Sumi keluar kamar sambil membawa nampan. Teringat dengan Radhit dari atas tempat tidur, Kania segera turun, dikuncinya pintu kamar itu, mencegah Radhit masuk.
Tapi ucapan Sumi kembali teringat "waduh? gimana kalau gue beneran hamil? masa iya harus gue cek?"
***
Kania bangun cukup pagi, semalam dia tidak bisa tidur nyenyak. Dia benar-benar begitu asing dan tidak nyaman dengan suasana yang ada. Ini bukan tempatnya, bukan rumahnya.
"hari ini gue harus tes, siapa tahu gue beneran hamil, eh bukan gue tapi Kaylia" ucap Kania sambil menatap cermin setelah membasuh wajahnya.
Memberanikan diri, dia keluar kamar. Wajahnya menatap kagum setiap sudut rumah. Ini pertama kali dia keluar kamar sejak sadar kemarin. "buset, gue bisa nyasar" ucap Kania. Dengan ragu dia menuruni tangga. Matanya berpapasan dengan asisten rumah tangga yang belum dia tahu namanya, tapi anehnya, seperti melihat hantu, asisten tersebut langsung menunduk dalam.
"pagi nyonya" sapa Sumi
"pagi Bi"
"sarapan sudah siap"
Kania mengangguk, kembali melangkah. Tapi baru dua langkah, dia berhenti dan menatap Sumi. "ruang makan dimana?"
"dibalik tembok ini nyonya, hanya tinggal jalan lurus" ucap Sumi.
Kania mengangguk, lanjut melangkah. Rumah ini benar-benar besar dan mewah. Rumah lurah di kampungnya yang sering korupsi juga kalah jauh.
Radhit sudah duduk di meja, dia sudah rapih dan tengah membaca sesuatu di tab miliknya. Kania duduk di kursi sebelah kanan Radhit, laki-laki itu bahkan sama sekali tidak mengalihkan pandangannya dari tab. Seolah-olah Kania tidak ada.
"mas" panggil Kania.
Radhit masih diam. Mmebuat Kania berdecak.
"mas!" panggil Kania lebih keras.
Radhit sontak menatapnya, sebelah alisnya terangkat, menatap Kania bingung.
"minta uang" ucap Kania langsung.
Radhit diam, tidak merespon, membuat Kania benar-benar kesal. Radhit beneran b***t ya?
"aku minta uang" ulang Kania.
"kamu belum semiskin itu untuk minta uang kepada saya" jawab Radhit membuat Kania membulatkan mulutnya. Bener nih ada suami model begini? gila! Kania jadiin dorokdok juga deh!
"aku lupa pin atm ku, aku lupa semua" bohong Kania, dia bukan lupa, tapi gak tahu! semalam dia menemukan dompet milik Kaylia. Tidak ada uang cash, hanya ada dolar dan kartu-kartu. Beda ya kalau orang kaya. Gak kaya dompet dia, gope monyet juga masih ada menghuni dompetnya.
"aku serius. Aku lupa semuanya" ucap Kania lagi karena tidak ada tanda-tanda jika Radhit akan menyahuti ucapannya. Kalau bukan buat beli tespek, ogah juga dia minta duit.
"mas!"
Radhit tetap diam, kembali fokus dengan tabnya.
"woy! mas!"
"mas!"
"berisik!" tegas Radhit menatap tajam Kania.
Buset dah, ganteng sih, tapi kok serem! ucap Kania dalam hati. Serem juga ini si kudit!
Radhit langsung bangun, meraih tab dan jas miliknya lalu melangkah pergi meninggalkan Kania.
"serem banget bang, adek sampe takut" canda Kania saat Radhit sudah tidak terlihat lagi oleh matanya lalu dia mulai menyendok nasi, dia perlu sarapan.
Selesai sarapan, dia langsung mencari sosok Sumi. Kalau Kudit tidak memberinya uang, biar dia ngutang dulu kepada Bi Sumi. Kapan lagi majikan pinjem duit sama asisten rumah tangganya sendiri.
"bi, pinjem uang dong"
Sumi langsung terkejut mendengarnya, dia tidak salah dengar?
"bi" panggil Kania karena Sumi hanya diam.
"apa nyonya?"
"pinjem uang" ulang Kania.
"berapa? kalau banyak-banyak. Bibi gak punya"
"lima puluh ribu"
Sumi kembali terkejut, nyonya besar pinjam uang lima puluh ribu? uang segitu jelas sudah seperti receh bagi nyonya besarnya itu.
"saya lupa pin ATM dan yang lainnya. Jadi pinjem uang bi, Radhit gak kasih saya uang"
"sebentar, bibi ambil dulu"
Kania mengangguk dengan senyum lebar. Lima puluh ribu cukup untuk dia beli tespek.
Tidak lama Sumi datang membawa uang lima puluh ribu. Kania langsung mengambilnya dan pergi. Dia sempat terkejut saat sudah ada diluar rumah. Ternyata rumah yang dia tempati ada di komplek perumahan yang sangat elit. Kania yakin, tidak akan ada penjual keliling yang lewat.
Menolak tawaran sang sopir, Kania memilih jalan kaki mencari apotek.
***
"ya ampun, tahu sejauh ini gue minta supir nganterin deh" Kania mendumel karena setelah hampir satu jam berjalan kaki dia baru bisa menemukan apotek. Segera dia membeli tespek dan mencobanya di kamar mandi apotek. Tersenyum lebar, Kania senang karena hasil tespek sesuai dengan keinginannya. Negatif. Tubuh yang dia tempati tidak sedang hamil.
Masih memiliki sisa uang, Kania memilih untuk mencari minum atau es terlebih dahulu. Lumayan, buat tenaga.
Sampai akhirnya dia menemukan penjual es dawet. Sambil meminum es, Kania memperhatikan jalanan. Ada beberapa angkot yang melaju ke arah kanan. Arah dia pulang. "naik angkot sampe depan perumahan boleh juga" gumam Kania.
Setelah es miliknya habis lalu membayar, Kania langsung menyebrang jalan, menghentikan angkot dan naik.
Didalam angkot, ada anak kecil yang seperti mengajaknya bermain. Kania tersenyum, meladeni ajakan bermain itu hingga tidak memperhatikan jalan. Setelah anak kecil itu turun, Kania kembali menatap jalanan, tidak kunjung menemukan gerbang perumahan, Kania tidak sadar mulai tertidur. Salahnya juga tidak memperhatikan nama perumahan itu.
"neng. Mau kemana?"
Kania mngerjap. Dia langsung membulatkan matanya. Diangkot hanya tinggal dirinya saja.
"abang mau puter balik. Neng turun dimana?"
"saya lupa pak" jujur Kania.
"haduh, abang lagi buru-buru nih. Mau anter istri lahiran. Neng turun disini ya. Gak usah bayar deh."
Dengan ragu Kania mengangguk. Mobil angkot berhenti dan Kania turun.
Dia menatap sekitar, dia tidak tahu tengah berada dimana. Dia tidak ingat alamat rumah, tidak tahu harus ambil jalan mana. Tidak hafal nomor telepon rumah. Semuanya serba tidak tahu. Dia juga tidak membawa ponsel karena ponsel di kode dan hanya Kaylia yang tahu kodenya.
Merasakan ada air yang jatuh, Kania langsung menatap langit. Hujan sudah mulai turun. Segera dia berlari menuju tempat teduh, didepan sebuah ruko. Bersama orang-orang yang senasib dengannya.
"gue nyasar ke pinggiran Jakarta apa ya? mampus dah. Gak tahu jalan pulang" gerutu Kania pelan.
Hujan tidak kunjung reda, bahkan lebih besar dibarengi dengan angin dan petir. Kakinya sudah benar-benar pegal karena berdiri cukup lama -sangat lama.
Hingga langit semakin gelap, Kania terjebak hujan hingga malam. Rasanya ingin menangis aarena tidak tahu harus kemana.
"mba. Disini terus. Gak pulang?"
Kania menatap perempuan muda yang berbicara kepadanya.
"saya gak tahu jalan pulang" jujur Kania.
"ya ampun mba. Mau ke kosan saya? dibelakang ruko" ajak perempuan itu.
Katakanlah Kania gila karena dengan mudah menerima ajakan perempuan itu. Tapi bagaimana lagi? tetap diam dan berdiri di depan ruko seperti ini juga tidak menjamin Kania aman.
"kalau gak keberatan. Saya ikut numpang malam ini, besok saya pergi" ucap Kania lirih.
"iya. Ayo mba." ajak wanita itu.
Kania mengangguk lalu melangkah bersama perempuan itu. Beruntung payung yang dibawa si perempuan cukup untuk mereka berdua. Memasrahkan diri, Kania berharap malam ini dia tidak bertemu dengan orang yang salah, orang yang benar-benar mau menolongnya dan bukan malah mencelakainya. Apalagi orang itu begitu dengan mudahnya menawarkan tumpangan. Semoga saja. Semoga tidak ada hal buruk yang terjadi.
***