Chapter 4

845 Kata
"Hujan hari ini deres banget persis dengan hati gue yang menangis pilu." "Lebay lu, jangan sok galau, gak cocok." Selaras dengan isi hatiku, aku pun memutuskan untuk mendengarkan lagu-lagu mellow yang kian menambah suasana galau. "Zel. Capek gue dengerin lagu galau." Ucap Ricky sembari menatap tajam aku yang sedang larut dalam lagu-lagu sedih yang aku putar. "Gue lagi buat cerita sedih, Bambang. Ya harus denger lagu sedih biar bisa bangkitin emosi." "Bacot. Bilang aja lu lagi galau, Maemunah. Lu mau bergalau ria gara-gara masakan lu gak dimakan Gavin." "Heh! Nama lima huruf itu udah jadi kata-kata lucknut ya. Tolong jangan disebut dulu." "Serah lu." Aku masih di apartemen milik Ricky. Niatnya sih mau sampai malam disini. Abis apartemen dia lengkap sih, snack banyak, wifi kencang, ditambah ada teman ngobrol kan jadi bikin betah. "Lu kapan pulang?" Aku menghentikan aktivitas memakan snack keripik singkong yang sudah menjadi snack kesukaanku, "Ngusir?" "Gak. Adek gue mau dateng." Aku menoleh ke arah Ricky, "Bagus dong. Bisa temenin gue." Iya. Aku juga sudah lumayan dekat dengan adik Ricky, Thera. "Masalahnya nyokap sama bokap gue juga datang." Aku membelalakan mataku, "Seriusan?" Ricky menganggukan kepalanya, "Iya." "Bokap lu yang jadi juri ajang masak itu kan?" "Kagak." "Pakek nanya lagi lu." Lanjut Ricky. Aku terkekeh pelan, "Eh iya, maap otak gue error kalau menjelang malam." "Alasan lu. Emang dasarnya udah ogeb." "Terus kenapa? Kan nyokap lu bilang sendiri anggap aja kayak orang tua sendiri." Ujarku tak tahu malu. "Masalahnya..." "Apaan sih masalah masalah mulu? Hidup lu gak pernah bebas masalah ya?" Ricky menghela napasnya, "Dengerin gue dulu, cebong." Aku memicingkan mataku tak senang dipanggil cebong, "Apa?" "Masalahnya bokap, nyokap, Thera kesini ngajak Gavin. Mamas tercinta lu." "Serius?" "Iya." Ricky menjawab dengan mantap. "Oh." "Oh doang?" "Iyalah. Gapapa, nanti lu buat dia cemburu ya Ky." "Emang dia bakal cemburu?" "Kayaknya enggak sih. Lu kan tidak sebanding sama dia." Ricky melemparkan bantal sofa ke mukaku, "Bacot lu." *** "Selamat malam, Om, Tante." Ucapku sembari memberi salim ketika mereka sudah tiba di apartemennya Ricky. Aku pun tersenyum canggung ketika melihat Gavin menatapku dalam kurun waktu cukup lama. "Hai Ther!" "Hai juga, kak!" "Malam juga Zelia." Tante Rita membalas sapaanku dan disambut dengan senyum hangat Om Harry. "Zelia sudah mau pulang?" Ujar Tante Rita sembari menata beberapa belanjaan ke dalam kulkas milik Ricky. "Emm--Iya Tan." Ujarku tak enak mendengar pengusiran yang cukup halus. Ya, aku menafsirkannya seperti itu. "Loh? Disini dulu aja, Zel. Kapan lagi bisa ngerasain masakan juri." Balas Tante Rita. "Eh? Boleh Tan?" "Boleh dong. Ntar Gavin, Papa, sama Ricky masak. Kita cewek tinggal duduk manis aja." Ujar Thera yang mendapat jempol dari Tante Rita. Aku pun hanya membalas dengan senyuman canggung. Karena lagi-lagi nyaliku ciut tatkala mataku pas-pasan dengan mata tajam Mas Gavin. "Kak." Thera memanggilku yang langsung kubalas dengan menoleh. "Ya?" "Mas Ricky udah nembak belum?" Aku sedikit terkesiap mendengar penuturan Thera, "Mati dong kalau ditembak, Ther." "Aku serius, Mbak." "Enggak lah, aku sama abangmu itu sohib Ther." Membayangkannya saja bisa membuatku geli. "Yaa, abang kena friendzone nih." Teriak Thera cukup kencang sehingga dibalas Ricky dengan tatapan tajam. "Gak usah ngomong macem-macem ya, Ther. Ntar album BTS lu gue buang." Ancam Ricky. Aku pun hanya tertawa melihat interaksi kakak-beradik ini. "Gavin, Zelia juga teman kamu kan?" Tanya Om Harry yang sepertinya sangat menyukai Mas Gavin. Bisa dibilang Mas Gavin itu kayak anak emasnya Om Harry. Mas Gavin itu muridnya Om Harry waktu Mas Gavin kuliah. "Iya, Pak." Seperti biasa. Mas Gavin selalu memberi batas, bahkan ke Om Harry saja dia panggil Pak bukan Om. Padahal mereka sudah lama dekat. "Menurut kamu Zelia orangnya gimana?" Samar-samar aku bisa mendengar percakapan mereka. "Baik." Ya. Seperti yang diharapkan dari Mas Gavin. Jawaban yang singkat, jelas, padat. Bahkan terlalu singkat. "Tuh Ky, kata Gavin baik. Buruan jadiin pacar. Kalau bisa buruan lamar, biar bisa jadi mantu." Bukannya tersipu mendengar penuturan Om Harry, aku justru sangat penasaran dengan raut wajah Mas Gavin. Lamat kuperhatikan, dan ternyata zonk. Raut wajah Mas Gavin tidak berubah sama sekali. Masih datar dan tampak tenang. Ricky yang melihat perubahan dari wajahku pun hanya bisa menghela napas dan memberikan dukungan lewat sorotan mata. Mas Gavin, Ricky, dan Om Harry nampak pandai menggunakan setiap alat dan memanfaatkan setiap bahan untuk disulap menjadi makanan yang menggiurkan. Ricky itu emang pinter masak. Dasaran dia aja gak mau jadi chef. Alhasil, dia lebih milih menekuni dunia cetak dan buku. "Masak yang enak ya, Mas Ricky! Jia you! Fighting! Semangat! Ganbatte!" Ujarku sengaja mengeluarkan jurus cheerleaderku. Sebenarnya cuman teriak-teriak gak jelas ke arah Ricky sih. Sejujurnya agak gak rela manggil Ricky dengan sebutan Mas. Tapi apa boleh buat? Demi meruntuhkan wajah datarnya Mas Gavin aku rela melakukan apa saja. "Gue tebas lu sekali lagi gitu." Ujar Ricky yang disambut dengan tatapan sebal Tante Rita. "Ky, gak boleh kasar gitu ngomongnya sama cewek." Ricky hanya mendengus kesal sementara aku yang terus memperhatikan wajah Mas Gavin, menangkap raut wajah sedikit tidak senang Mas Gavin ketika aku dengan sengaja menyemangati Ricky. Entahlah, mungkin mataku picek atau aku sedang berhalusinasi. Tapi, aku benar-benar melihat perubahan raut wajah Mas Gavin walaupun cuman beberapa detik.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN