Chapter 3

824 Kata
Langit-langit nampak menghitam, mendung, sepertinya akan turun hujan yang cukup lebat pagi ini. Selaras dengan isi hatiku, suara rintik-rintik hujan pun mulai terdengar ketika aku memutuskan untuk keluar kamar setelah mendengar suara pintu terbuka yang menandakan Mas Gavin baru saja pulang. Tolong camkan itu, baru saja pulang di pagi hari. “Kenapa enggak pulang kemarin?” Tanyaku diiringi dengan nada suara paling datar yang pernah aku ucapkan. Bukannya menjawab pertanyaan yang baru saja aku lontarkan, Mas Gavin malah bertanya balik padaku, “Makanan di meja makan untuk apa? Kamu ngapain beli makanan sebanyak itu?” Aku tersenyum kecut ketika mendengar pertanyaan yang diucapkan Mas Gavin, “Untuk Meong.” “Meong?” “Iya. Kucingnya Ricky kemarin ulang tahun.” “Saya lagi enggak bercanda, Zel.” “Saya juga enggak bercanda Mas. Mas mikir sendiri lah untuk apa. Mas punya otak yang cerdas kan.” “Kalau ditanya etikanya itu dijawab. Kalau dengan mikir saya bisa jawab, maka saya tidak akan bertanya.” Enggak salah nih Mas Gavin menyinggung perihal etika? “Aku juga nanya tadi di awal, kamu juga belum jawab. Pertanyaan aku cukup jelas, kenapa enggak pulang. Memang sesulit itu ya menjawab pertanyaan aku?” “Saya diajak anak-anak makan malam di apartemen Rena, katanya mau rayain ulang tahun saya. Saya cukup terkejut dengan masakan Rena, ternyata enggak buruk.” Anak-anak yang dimaksud oleh Mas Gavin adalah karyawan restorannya. Ketika Mas Gavin menyebut nama Rena, aku sudah punya feeling tidak baik. “Mas enggak mikirin aku yang nungguin kamu sendirian di sini? Lagian aku chat enggak dibalas, aku telepon juga gak diangkat. Kamu jahat banget, Mas.” “Handphone saya habis baterai, Zel. Memang kamu nungguin saya untuk apa? Biasanya juga enggak apa-apa tidur sendirian.” “Kamu lihat kan makanan yang kata kamu aku beli itu. Itu aku masak sendiri khusus untuk kamu. Kamu tuh enggak peka atau pura-pura bodoh sih Mas?" Aku berusaha menahan rasa sesak yang aku rasakan. Aku tidak mau menangis di depan Mas Gavin. “Semua makanan itu? Kamu masak sendiri? Beneran?” Semua makanan yang aku masak memang semuanya makanan kesukaan Mas Gavin. Aku juga jarang banget masak, makanya Mas Gavin memberikan tanggapan seperti itu. Akan tetapi, tetap saja hatiku rasanya patah dua kali. Pertama, ketika Mas Gavin enggak pulang. Kedua, ternyata Mas Gavin lebih memilih menyantap masakan wanita lain. “Terserah kamu.” Aku pun kembali ke kamarku—lebih tepatnya kamar tamu Mas Gavin. Setelah mandi dan berganti pakaian, aku pun langsung membungkus seluruh masakan aku yang kemarin. “Kamu mau kemana?” Tanya Mas Gavin yang ternyata sedang duduk di ruang tamu. Aku memilih untuk mengabaikan pertanyaan Mas Gavin. Sudah cukup untuk hari ini, aku benar-benar sakit hati. “Zelia, saya nanya kamu mau kemana.” Aku masih tidak berniat menjawab pertanyaan Mas Gavin. “Zelia, sesusah itukah menjawab pertanyaan saya?” “Aku putar balik deh Mas. Apakah sesusah itu meluangkan waktu untuk membalas pesan yang aku kirim?” “Kan saya sudah bilang habis baterai, Zel.” “Kamu enggak ada usaha untuk minjam handphone, sekadar kasih tahu aku aja gitu. Atau paling enggak kamu tolak Rena karena sudah ada janji sama aku. Susah banget ya?” "Saya bingung kenapa kamu jadi semarah ini." "Aku enggak marah, aku kecewa. Terserah kamu mau ngapain." Mas Gavin terdiam melihat bahuku yang sudah naik-turun tidak beraturan. “Kenapa kamu bawa itu?” Mas Gavin tidak menanggapi ucapanku malah menunjuk kantong kresek yang berisi masakanku semalam. “Mau aku kasih ke Ricky.” “Kata kamu itu untuk ulang tahun saya?” “Lupakan aja, ulang tahun kamu enggak sepenting itu bagi aku. Toh aku juga enggak begitu penting kan sampai kamu enggak inget kalau punya janji sama aku.” Setelah mengucapkan kalimat tersebut aku pun memilih untuk segera pergi ke apartemen Ricky dibandingkan harus menahan perasaan kecewa, kesal, dan sedih jika aku berlama-lama di rumah bersama Mas Gavin. ??? “Ngapain lagi ke sini?” Saking dekatnya aku dengan Ricky, aku pun sudah hapal di luar kepala password apartemennya Ricky. “Bawain makanan biar lu makan. Baik kan gue?” “Makanan sisa kemarin?” Aku memukul pelan lengan Ricky, “Enak aja. Makanan yang dimasak kemarin lebih tepatnya bukan makanan sisa kemarin. Belum disentuh kok makanannya.” “Kenapa? Mamas tersayang lu itu enggak makan?” “Boro-boro makan, pulang juga enggak. Ngeselin banget gak sih?” “Enggak pulang? Bukannya lu sudah ngomong sebelumnya?” Aku menghela napas panjang, “Sudah. Dia kayaknya memang enggak pernah anggep gue penting sih, buktinya dia lebih milih Rena.” “Rena? Model yang lagi naik daun itu?” Aku menganggukan kepalaku, “Iya. Nyebelin banget waktu tahu kenalan dia semuanya cantik-cantik. Apalah gue yang hanya remahan rempeyek.” Ricky pun membenarkan letak kaca matanya yang sedikit miring, “Lu buruan siapin makanannya, sudah akrab kan dengan dapur gue? Gue lapar jadi buruan.” “Siap Boss!” Ujarku sembari tersenyum ketika mendengar ucapan Ricky.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN