Chapter 2

1328 Kata
"Mas?" Aku sedikit tersentak ketika melihat Mas Gavin datang membawa secangkir cokelat panas yang dulu rutin ia buatkan ketika aku akan begadang untuk menulis sebuah cerita. Mas Gavin yang tiba-tiba datang dari balik pintu kamar tamu sontak membuat degup jantungku berdetak lebih kencang. Penampilan berantakan Mas Gavin berhasil menyita perhatianku, wajar lah ya cowok yang baru pulang kerja itu menurutku kadar gantengnya maksimal. "Jangan tidur malam-malam. Kamu juga butuh istirahat." Aku memang cukup sering menginap di rumah Mas Gavin ketika orang tuaku tidak berada di rumah. Alasanku sih, aku takut sendirian, padahal itu cuma alibi doang. Rumah Mas Gavin itu sudah aku anggap sebagai rumah keduaku, jadinya kamar tamu pun sudah aku sulap menjadi kamar pribadiku.Tentu saja orang tuaku dan orang tua Mas Gavin sudah tahu mengenai hal ini dan mereka telah menyetujuinya bahkan mendukung aku untuk terus mendekati Mas Gavin. Asik lah kalau sudah dapat restu calon mertua. "Siap, Chef!" "Udah makan?" Aku melirik jarum pendek pada jam yang ternyata telah menunjuk angka cukup larut. Saat ini jarum pendek sudah menunjuk pukul sebelas malam. Terakhir aku makan sih, sekitar jam 9 pagi tadi. Aku menggelengkan kepalaku, "Belum." "Masakin dong." Ucapku dengan nada memelas. Aku tahu, bagi seorang chef kayak Mas Gavin kalau disuruh masak lagi di rumah mungkin akan sangat menyebalkan. Tapi entah kenapa, aku gak pernah bosan mencicipi rasa makanan yang dibuat oleh Mas Gavin. Rasanya beda jika dibuat langsung dari tangan ajaib Mas Gavin. "Capek." Nada suara Mas Gavin sedikit melemah mungkin karena memang dapur hari ini lebih sibuk dari biasanya karena hari Sabtu. "Yaudah. Aku masak indomie aja. Mas mau?" Tawarku. "Gak. Udah berapa kali kamu makan mie instan dalam seminggu? Tunggu sebentar, nanti saya masakin." Tanpa aku sadari kedua sudut bibirku sedikit naik, ternyata mudah sekali ya membuatku tersenyum. Walaupun Mas Gavin bermulut pedas dan kata-katanya nyelekit, tapi Mas Gavin itu benar-benar perhatian. Mungkin itu menjadi faktor penting yang berhasil membuatku bertahan walau cinta bertepuk sebelah tangan. "Mau makan apa?" Tanya Mas Gavin yang sudah berganti pakaian. Kini, Mas Gavin mengenakan kaos hitam polos dan celana pendek selutut yang membuat penampilan Mas Gavin terkesan lebih santai "Yang mudah aja deh, nasi goreng?" Usulku. Mas Gavin nampak menimang-nimang saran yang aku ajukan, "Yaudah, kamu tunggu sepuluh menit." Lagi-lagi aku tersenyum menanggapi ucapan Mas Gavin. "Mau dibantu gak Mas?" Tanyaku iseng menghampiri dapur. Mas Gavin langsung menggelengkan kepalanya, "Gak. Kamu bikin kacau aja ntar." Aku langsung tertawa renyah menanggapi fakta yang Mas Gavin ucapkan. "Besok restoran buka jam berapa Mas?" "Kayak biasa. Kenapa?" "Gapapa. Tutupnya juga kayak jam biasa?" Mas Gavin lagi-lagi hanya menganggukan kepalanya. Tangannya dengan lincah memotong beberapa sayur yang akan dimasukkan ke dalam hidangan nasi gorengnya. Posisiku sekarang adalah duduk di depan meja yang memang terhubung langsung dengan dapur. Jadi, aku bisa sepuasnya memandangi wajah Mas Gavin. Jujur saja, sekarang aku sedang tersenyum kecut. Bukan karena menahan rasa lapar, tapi karena Mas Gavin melupakan sesuatu yang menurutku cukup fatal untuk dilupakan. "Mas..." "Bentar lagi selesai." Ujar Mas Gavin tanpa menatapku. "Bukan nasi goreng." "Jadi?" "Restoran beneran tutup jam 10?" Mas Gavin kini mengalihkan fokusnya yang semula sedang menata piring menjadi melirikku sekilas. "Hmm, mungkin bisa lebih lama bisa lebih cepat. Tergantung. Kenapa?" Aku tersenyum, "Lebih cepat ya Mas." Mas Gavin yang sudah selesai dengan nasi goreng buatannya segera menyuruhku untuk mengambil sepiring nasi goreng untuk disantap di ruang tamu. "Kenapa lebih cepat?" Tanya Mas Gavin. Oh. Aku pikir Mas Gavin tidak mendengar penuturanku tadi. "Gapapa. Pokoknya harus pulang cepat." Jawabku sembari mengunyah nasi goreng buatan Mas Gavin. Memang masakan Mas Gavin tidak pernah mengecewakan. Nasi goreng aja enaknya mantap betul. "Tante Wina kemana Mas?" "Ada kerjaan." "Kemana? Berapa lama?" "Bukan urusan kamu." Aku hanya tersenyum layaknya orang bodoh kala mendengar penuturan Mas Gavin. Aku sering bertanya-tanya kepada diriku sendiri, mengapa aku bisa mencintai seseorang hingga sebodoh ini. ??? Aku sudah berulang kali mewanti-wanti Mas Gavin agar tidak pulang larut malam. Aku juga tidak tahu apakah Mas Gavin mengingat hari ulang tahunnya atau tidak. Mas Gavin itu terlalu cuek, sampai tidak terlalu memerhatikan hal-hal yang ia anggap tidak terlalu penting, salah satunya hari ulang tahun. “Lu nyuruh gue kesini untuk apa?” Suara rendah khas Ricky berhasil menerbitkan senyuman dari kedua ujung bibirku. “Temani gue belanja dong." Jawabku. “Ngapain? Lu mau coba masak?” Tanya Ricky sembari memicingkan matanya yang sipit itu. “Iya.” “Dalam rangka?” “Ulang tahun kesayangan gue.” “Masih enggak jera juga ya lu?” Aku memukul pelan lengan Ricky, “Pantang mundur sebelum janur kuning melengkung.” Ricky Mahesa Putra. Pria yang sedikit nyentrik dan entah bagaimana menjadi salah satu sahabat yang paling dekat denganku. Dia itu editor yang bekerja di salah satu penerbit yang bekerja sama denganku. “Enggak, repotin gue aja lu.” “Ayolah, kasihan Mamas kesayangan gue nanti kecewa kalau enggak gue masakin.” “Mamas batu sih iya.” “Enak aja, bukan batu ya. Mamas tersayang itu sesosok manusia tampan yang tercipta hanya untuk eneng cantik di depan lu.” “Depan gue? Siapa? Mbok Ani?” “Kok lu makin ngeselin ya, Ky? Pokoknya kalau lu sekali lagi nistain cowok gue, siap-siap gue kirim ke dunia lain.” Ricky itu usianya di atas aku dua tahun, tapi dia menolak untuk dianggap tua, dia bilang enggak suka dipanggil dengan embel-embel mas atau kakak, apalagi abang dan mamang. “Mamas kesayangan lu itu mana mau sama cewek bar-bar kayak lu.” “Bodo amat. Love is blind, isn’t it?” Ricky menatapku dengan tatapan kasihan campur miris, “Mau belanja apa lu? Keburu siang.” “Tumben baik. Rencananya gue mau masak perkedel, sayur asem, terus pepes ikan.” “Ribet amat masakan lu, yakin bisa?” “Kan ada Mbah Youtube dan Mbah Google. Semua dijamin aman terkendali.” “Awas aja lu gangguin gue dengan nanya-nanya resep.” Oh ya, aku lupa kalau Ricky itu sebenarnya jago banget masak. Mungkin dia bakal jadi chef yang cukup terkenal kalau enggak berkecimpung dalam media cetak. “Lah, itu kan gunanya lu sebagai sahabat gue. Iya enggak?” “Ogah. Gue sibuk.” “Nanti kalau enggak enak bagaimana?” “Paling makanan lu dilepeh.” “Memang lu pikir gue lagi ikutan kompetisi Master Chef?” Jawabku sembari menoyor pelan kepala Ricky, hubungan persahabatan kami memang sudah seakrab itu. “Jadinya mau belanja enggak? Kalau mau belanja, jangan banyak ribet, nanti kesiangan.” “Iya, iya. Bawel amat.” Akhirnya aku dan Ricky memutuskan untuk belanja di salah satu pasar tradisional dekat apartemen Ricky. Salah satu persamaan aku dan Ricky itu sama-sama suka belanja di pasar tradisional. Interaksi antara penjual dan pembeli yang enggak bisa aku dapatkan dengan belanja di pasar swalayan itu benar-benar memberikan kesan dan sensasi tersendiri. Apalagi kalau berhasil dapat potongan. Rasanya puas dan bangga banget. Seusai membeli seluruh bahan yang diperlukan, aku pun mulai mencoba mengolah dan memasak sesuai dengan tutorial yang aku dapatkan dari salah satu youtuber yang memang kanalnya berisi tips-tips dalam memasak, tentu saja selain itu aku meminta bantuan Ricky. “Mana sih Mas Gavin, lama banget.” Ujar ku dengan lesu. Pasalnya jarum pendek telah menunjuk angka sepuluh. Biasanya Mas Gavin memang sudah pulang pukul delapan atau paling telat juga pukul sembilan. Masakan yang sudah aku siapkan pun sudah terlanjur dingin. Aku pun memutuskan untuk mengirim pesan singkat kepada Mas Gavin. Aku mendesis pelan ketika mendapati bahwa chat tadi siang saja masih tidak digubris. “Mas, kamu tuh ya, benar-benar ngeselin banget. Setidaknya kasih kabar kalau enggak bisa pulang. Aku tuh sudah capek masak.” Gumam ku dengan penuh emosi. Bayangin aja ini sudah memasuki jam sebelas malam, mata aku sudah menunjukan indikasi untuk segera berbaring di tempat tidur. Tak lama kemudian, aku pun memutuskan untuk tidur. Mungkin dengan tidur, setidaknya aku akan melupakan rasa sakit hati hari ini. Makanan yang sudah aku masak dengan susah payah itu pun akhirnya aku simpan, sepertinya aku akan memaksa Ricky untuk menghabiskan makananku besok. Soalnya kalau dibuang kan, sayang banget, mubazir.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN