Chapter 9

1280 Kata
Sore ini aku memilih untuk nongkrong di salah satu kafe milik sahabatku. Sudah selama tiga hari aku memilih untuk tidak pulang ke rumah. Selama tiga hari pula aku terus menerima pesan dari Mas Gavin yang sama sekali tidak aku pedulikan. Aku memilih untuk fokus pada pekerjaanku, memikirkan untuk menulis cerita baru mungkin tidak buruk. Aku juga mulai belajar berbisnis. Sebenarnya sudah sejak lama orang tuaku meminta agar aku bergelut di dunia bisnis. Hanya saja aku tidak tertarik. Dulu, aku itu anak yang cukup berprestasi baik di bidang akademik maupun non akademik. Makanya sampai sekarang pun orang tuaku menaruh harapan yang tinggi kepadaku. Seharusnya dengan berbagai prestasi itu aku bisa saja mendapat pekerjaan tetap, bekerja di dalam kantor. Namun, sifat keras kepala ayahku sepertinya menurun kepadaku. Alih-alih bekerja di kantor, aku lebih memilih untuk mengembangkan hobi menulisku. Sebenarnya tidak ada yang salah dan tidak ada hal yang bisa membuatku malu akan profesiku saat ini. Namun, karena statusku sebagai keluarga terpandang, maka mau tak mau keluargaku cukup menentang keputusanku dan memandang sebelah mata profesiku sebagai penulis. Apalagi jika aku hanya menulis novel remaja. Mungkin mereka akan lebih meremehkan pekerjaanku dan bilang aku bucin. Pemikiran kolot yang membuatku kesal. Padahal memang fakta sih kalau aku bucin. Ayahku lebih suka aku mendalami ilmu ekonomi yang kelak ilmu itu akan membantuku dalam mengelola perusahaan. Sementara ibuku menuruti apa kata ayahku, sebenarnya ibuku lebih memilih agar aku tidak menjadi wanita karier. Katanya menjadi wanita rumahan saja yang menurut dengan suami. Tidak salah sebenarnya, hanya saja mungkin agak kurang cocok dengan prinsipku. “Maaf Mbak, mau pesan apa?” Aku tersenyum ketika mendengar suara perempuan yang berhasil mengganggu lamunanku, “Sa, jangan malas-malasan kerja, entar gue ngadu ke boss loh.” Risa menarik kursi dan duduk di sebelahku, “Boss-nya kan gue. Suka-suka gue dong.” “Vanya, Kiren, sama Alesha datang kan?” Risa menganggukkan kepalanya, “Harusnya sih datang. Lu mau matcha latte kan?” Aku menganggukkan kepalaku, “Yes, please.” Risa pun memanggil salah satu karyawannya untuk segera membawakan pesananku. Risa itu salah satu sahabat yang paling dekat denganku sejak sekolah menengah atas. Jujur saja, aku memang tidak punya banyak teman. Selain karena aku tipe orang yang tidak terlalu suka bergaul, aku juga tipe yang sangat memilih circle pertemanan. Aku tidak terlalu mementingkan kuantitas. Teman yang bertahan denganku dari SMA sampai sekarang itu hanya Risa, Vanya, Kiren, dan Alesha. Kami mempunyai karakter dan kesukaan yang berbeda-beda. Mungkin karena perbedaan itulah kami menjadi sangat dekat. Risa itu tipe orang yang paling santai dan paling netral di antara kami berempat. Risa memang sejak SMA suka sekali dengan dunia baking dan kuliner, jadi tidak heran kalau sekarang dia memiliki beberapa cabang kafe dan rumah makan. Kalau Vanya, dia itu yang paling bisa diandalkan dan serba bisa. Sekarang dia lagi stress dengan kuliah kedokteran yang sangat menguras tenaga dan pikiran. Tetapi aku salut dengan Vanya, perjuangan dia untuk kuliah kedokteran itu perlu diacungi jempol. Kalau Kiren, kami sempat hampir kehilangan contact dengan dia karena selesai SMA dia pindah ke Medan, tetapi enam bulan yang lalu dia kembali setelah menamatkan kuliahnya, dia sekarang bergelut dalam dunia fashion. Kiren itu yang paling sabar dan yang paling nurut. Terakhir itu Alesha. Alesha itu yang paling friendly, easy going, dan sumber informasi. Pekerjaan Alesha sekarang menjadi seorang interior designer. Aku ingat sekali betapa cerewetnya Alesha saat mengomentari beberapa ruangan yang menurutnya asal jadi. “Tuh mereka datang.” Ujar Risa. “Kangen!” Kiren yang baru saja datang langsung memeluk aku dan Risa. “Muka lu kenapa Zel? Kusut banget.” Vanya yang baru datang pun langsung menyadari perubahan raut wajahku. “Biasa lah, paling masalah cinta bertepuk sebelah tangan.” Jawab Risa. “Mas Gavin sudah punya pacar.” “Serius?” Tanya Alesha dengan volume suara yang cukup kencang. Aku hanya menganggukkan kepalaku dengan lemah. “Siapa?” Tanya Vanya. Aku melirik Vanya, “Siapa apanya?” “Siapa yang berhasil buat perhatian Kak Gavin ke lu berubah?” “Kalian tahu siapa orangnya.” “Setahu gue Kak Gavin jarang dekat dengan cewek.” Ujar Risa. “Gue juga awalnya mikirnya gitu. Kalian pasti kenal, model cantik keturunan Jepang, Rena.” “Rena? Seriusan?” Lagi-lagi Alesha hanya mengulang keterkejutannya. “Iya. Kenapa reaksi lu berlebihan gitu sih Le?” “Gue kenal Rena, Zel. Sepengetahuan gue dia itu bukan cewek baik-baik.” Aku akui kalau masalah lingkup pertemanan dan koneksi, Alesha memang yang paling handal dan bisa diandalkan. “Jangan sembarangan ngomong Le, enggak mungkin Mas Gavin yang terkenal selektif itu enggak tahu kalau misalnya dia bukan cewek baik-baik.” “Gue sering lihat dia ke club, Zel. Gue juga kenal beberapa teman yang sempat jalan sama dia. Trust me.” “Rena itu mantan Hadi.” Ucap Vanya yang membuat aku dan teman-temanku sedikit terkejut. “Hadi? Tunangan lu?” Vanya menganggukkan kepalanya, “Dia itu penyebab hampir putusnya gue sama Hadi. Lu ingat kan tahun lalu waktu gue benar-benar hampir lost contact sama kalian dan mengurung diri?” Aku, Risa, Kiren, dan Alesha kompak menganggukkan kepala. Sebenarnya kami sudah sepakat untuk tidak mengungkit ataupun menanyakan perihal kejadian waktu itu kepada Vanya. “Van, kalau enggak mau cerita, enggak apa-apa.” “Tolong jaga Kak Gavin Zel, Rena itu bukan cewek baik-baik. Dia itu suka main sama banyak cowok, she’s such a good player. Dia pintar pura-pura jadi victim.” Aku menghela napas panjang, “Hubungan gue dan Mas Gavin lagi enggak baik. Capek hati, terserah dia aja lah.” “Sabar ya Zel, lu terlalu banyak berjuang. Cinta boleh, bego jangan.” Ucap Kiren dan teman-teman yang lain pun langsung mengiyakan ucapan Kiren. “Gue bucin banget kali ya.” “Bucin itu wajar kok, gue juga bucin sama pacar gue.” Timpa Alesha. Iya sih, teman aku enggak ada yang enggak bucin. Vanya dan Hadi itu salah satu couple goals sejak SMA yang hubungannya masih awet sampai sekarang walaupun perjuangan terberat mereka itu long distance relationship soalnya Hadi melanjutkan program magister pertambangan di Bandung. Vanya itu tipe yang kalau sudah cinta sama sesuatu, termasuk orang dia bakal all out. Sedangkan Alesha itu tipe yang kalau pacaran itu manjanya minta ampun, tetapi kalau kata Farel—pacarnya, dia itu ngangenin. Alesha itu yang paling pro kalau soal pacaran. Kalau Kiren, enggak usah ditanya lagi, bahkan setiap enam jam sekali dia dan pacarnya pasti video call. Nah, kalau Risa itu yang paling kalem, banyak yang suka sama dia, tetapi dia belum mau kembali memulai hubungan. Waktu dia punya pacar, dia itu yang paling sweet. Di antara kami berlima yang memang paling apes kalau soal jodoh itu ya aku. “Zel, gue punya kenalan. Seingat gue seminggu yang lalu dia sempat jalan sama Rena kalau enggak salah dia ada posting foto berdua di status WA.” Ucap Alesha yang sepertinya mengingat sesuatu tentang Rena. “Siapa?” “Fernando.” “Fernando? Sutradara film horor?” Alesha menganggukkan kepalanya, “Iya.” “Gue serahin kasus ini ke lu deh Le.” Alesha mengacungkan jempolnya, “Lambe turah enggak ada apa-apanya dibanding gue.” Aku tertawa menanggapi ucapan Alesha, lalu mataku pun tertuju pada Vanya yang mukanya tidak terlihat glowing seperti biasa, “Van, lu kenapa?” “Stress gue.” “Kuliah?” Vanya menganggukkan kepalanya, “Di saat kalian sudah kerja semua, gue masih stuck dengan kuliah.” “Suksesnya setiap orang itu beda-beda Van, profesi lu itu mulia dan enggak semua orang mampu.” Ujarku. “Thanks.” “Guys, jangan murung dong, don’t worry, be happy, okay?” Ucap Kiren. “Sok Inggris lu.” Timpal Risa. 
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN