Chapter 8

882 Kata
Entah kenapa semenjak insiden aku ribut dengan Mas Gavin di apartemennya Ricky, Mas Gavin secara perlahan mulai bersikap lebih baik kepadaku. Seperti hari ini. Mas Gavin yang sedang mendapatkan waktu luang tiba-tiba mengajakku pergi jalan berdua. Tolong digaris bawahi, berdua! Aku sih senang-senang saja walaupun sebenarnya aku sudah mendeklarasikan diri untuk move on. Tapi kan kalau Mas Gavinnya berubah, maka pendeklarasian diri tadi bisa jadi hangus. Heheh. "Mas, mau ngapain nih?" Tanyaku yang sebenarnya masih bingung dengan perlakuan baik Mas Gavin akhir-akhir ini. Iyalah, dari semenjak kenal Mas Gavin aku gak pernah tuh diajak jalan berdua. "Temani saya pilih hadiah." Jawab Mas Gavin yang berhasil membuatku mengerutkan dahiku karena bingung. Hadiah?  Untuk siapa? Untuk apa? "Hadiah untuk siapa?" Tanyaku dengan nada curiga. "Saya mau beliin hadiah. Tapi saya tidak tahu bagaimana selera wanita itu, jadi saya mau kamu bantuin saya milih hadiah. Gapapa kan?" Jelas Mas Gavin yang aku tanggapi dengan anggukan kepala. Bentar deh.  Kayaknya Mas Gavin mau kasih aku kado. Tapi, seingatku tidak ada hari yang spesial dekat-dekat ini. Hari ulang tahunku? Masih satu bulan lagi kok. Gak mungkin kan Mas Gavin mau kasih kado secepat itu? "Ke toko ini Mas?" Ujarku yang sebenarnya agak terkejut saat mengetahui bahwa toko yang akan kami kunjungi adalah toko perhiasan. Mas Gavin tidak menjawab, hanya menganggukan kepalanya saja. "Kamu pilih kalung yang menurut kamu paling cantik. Nanti kalau sudah dapat, kasih tahu saya." Ujar Mas Gavin. Aku menatap bingung Mas Gavin. Benarkah hadiahnya untukku? Lalu kenapa? Dalam rangka apa? Aku memperhatikan keseluruhan tempat yang sekarang sedang aku pijak. Di sebelah kanan terdapat lemari kaca panjang yang berisikan cincin. Lalu, di tengah terdapat beberapa lemari kaca berisikan gelang, anting-anting, dan berbagai aksesoris wanita. Lalu mataku melirik ke bagian kiri toko. Aku tersenyum saat melihat beberapa kalung yang dipamerkan di toko ini. Sangat cantik. "Kamu sudah pilih?" Tanya Mas Gavin yang entah sejak kapan sudah berdiri di sampingku. Aku menganggukan kepalaku, "Iya, sudah. Tapi aku punya dua opsi, Mas." Kalung pertama yang aku pilih berwarna emas, cantik sekali. Rantai kalungnya sangat tipis, dan ditengah kalung itu ada bandul berbentuk hati. Lalu, kalung kedua yang aku pilih berwarna putih, sepertinya emas putih. Tidak kalah cantik dengan kalung pilihan pertama. Rantai kalungnya juga sangat halus sehingga tidak akan menyebabkan rasa gatal atau kurang nyaman saat memakainya. Di tengah kalung ada ukiran huruf G yang menjadi sorotan di kalung ini. "Saya pilih yang warna putih aja, Mbak." Ucap Mas Gavin. "Baiklah, mau cash atau menggunakan kartu Pak?" "Kartu saja." Jawab Mas Gavin sembari memberikan kartunya kepada wanita yang bertugas menjaga toko. *** Malam ini Mas Gavin pulang terlambat. Enggak seperti biasanya. Aku pun beberapa kali mengecek arloji yang masih melekat di pergelangan tangan kananku. Apabila dihitung, mungkin aku sudah menunggu Mas Gavin sekitar dua jam. Iya. Setelah insiden Mas Gavin membelikan aku hadiah, aku pun memutuskan untuk memberikan hadiah juga ke Mas Gavin. Ya, walaupun aku tahu ini tidak semahal kalung tadi. Tapi, yang lebih penting dari harga adalah niatnya kan? Cklek Aku mendengar suara pintu terbuka. Dengan senyuman sumringah aku langsung menyambut kedatangan Mas Gavin. "Sudah pulang Mas? Kok pulangnya telat?" Ya ampun, ngucapin kalimat ini sudah kayak aku istrinya Mas Gavin aja ya. Heheh. "Iya, tadi pergi jalan dulu." Jelas Mas Gavin yang aku balas dengan anggukan kepala. "Oh ya Mas, aku punya hadiah loh untuk kamu." Ucapku sembari memamerkan kotak hadiah yang aku hias secantik mungkin. "Kenapa? Gak ada yang ulang tahun kan?" Tanya Mas Gavin bingung dengan hadiah tiba-tiba ku. "Memang gak dalam rangka apa-apa sih Mas. Tapi aku mau aja." Ujarku sembari menyodorkan kotak kado yang dominan warna putih itu. Aku pun menunggu, menunggu apakah Mas Gavin juga akan memberikan kalung tadi padaku sekarang? Apakah Mas Gavin akan memakaikan kalung tadi ke leherku? Ah, Memikirkannya saja aku sudah hampir gila. "Makasih ya Zel. Untuk kadonya dan pilihan kalung tadi." Balas Mas Gavin dengan senyuman yang tak kalah lebar dari senyumku. Tunggu dulu. Maksud dari perkataan Mas Gavin tentang terima kasih atas pilihan kalung itu apa? Kenapa nih? "Kok makasih untuk pilihin kalung Mas?" "Iya. Karena kamu, Rena gak jadi marah sama saya." Ujar Mas Gavin. Rena?  Berkat aku? Kolerasinya kalung, aku, sama Rena apa? Kok aku gak mengerti ya? "Saya lupa kasih tahu kamu, Zel." "Kasih tahu apa? Lupa kenapa?" Tanyaku yang mulai tidak sabar. "Saya dan Rena sebenarnya sudah seminggu pacaran." Aku membelalakan mataku tidak percaya. Pacaran? Seminggu? "Maksudnya?" Ujarku dengan nada bergetar. Sepertinya air mataku akan turun sekarang. Enggak boleh, Zelia! Kamu enggak boleh nangis. "Selera kamu memang patut saya acungi jempol, Zel. Kata Rena dia suka." Jawab Mas Gavin dengan senyuman yang menghiasi wajahnya. "Mas anggap aku apa? Lelucon?" Tanyaku dengan nada yang sedikit tinggi. "Maksud kamu?" Tanya Mas Gavin balik. Ini Mas Gavin benar-benar tidak mengerti atau hanya pura-pura? "Sudah ratusan kali aku bilang aku suka sama kamu. Kamu anggap pernyataan aku selama ini apa? Hanya angin lewat?" "Zel, saya tahu kamu tidak serius dengan pernyataan kamu. Saya tahu perasaan kamu ke saya hanya rasa kagum, bukan rasa sayang." "Kenapa Mas berbicara seakan-akan Mas lebih mengerti aku daripada aku sendiri? Kalau yang aku rasakan cuman rasa kagum, rasa obsesi. Maka aku gak akan sesakit ini Mas." "Terima kasih Mas atas rasa sakitnya. Mas makin menyadarkan aku kalau cintaku ternyata bertepuk sebelah tangan. Tapi, bodohnya aku masih berharap lebih."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN