Bab 1: Pintu yang Tak Pernah Dibuka
Naira berdiri di depan rumah tua itu, merasa seolah-olah udara di sekitar semakin berat. Matahari hampir tenggelam, meninggalkan langit dengan warna jingga yang memudar, menciptakan bayangan panjang di sepanjang dinding rumah. Rumah itu, dengan atap yang sudah mulai rapuh dan tembok yang mulai berlumut, tampak begitu sunyi—seperti sebuah patung tak bergerak, menunggu waktu untuk hancur.
Ia menghela napas, menatap pintu depan yang terbuat dari kayu keras yang sudah pudar warnanya. Tidak ada yang istimewa dengan rumah ini, kecuali satu hal: sebuah pintu yang selalu terkunci dan dianggap tabu oleh keluarganya. Ayahnya sering kali berbicara tentang rumah ini dengan nada berhati-hati, bahkan ketika Naira masih kecil.
"Ada sesuatu di sana, Na," kata ayahnya pada suatu malam, suaranya terdengar serak. "Suatu hal yang lebih baik tidak pernah diketahui. Jangan pernah membuka pintu itu."
Saat itu, Naira tidak memahami apa maksudnya. Pintu itu, dengan ukiran-ukiran aneh di bingkainya, hanya tampak seperti pintu biasa yang tak memiliki arti. Namun, kata-kata ayahnya menempel dalam ingatannya hingga kini. Bahkan neneknya, yang tinggal bersamanya di rumah itu sebelum meninggal, tidak pernah berbicara banyak tentang pintu itu. Ia selalu mengalihkan perhatian saat Naira bertanya.
Kini, setelah neneknya meninggal dan Naira menemukan kunci kecil dalam kotak peninggalan nenek, rasa penasaran yang selama ini terpendam tumbuh kembali. Kunci itu terasa sangat penting—seolah ada yang menunggunya untuk membukanya. "Jangan buka pintu itu," kata catatan yang ia temukan bersama kunci, dengan tulisan tangan yang sudah pudar. Namun, kunci itu terus mengganggu pikirannya.
Naira memutuskan untuk tidak mengikuti larangan itu. Ia berjalan perlahan menuju lorong panjang rumah, menelusuri udara dingin yang berhembus dari setiap celah. Langkahnya terhenti di depan pintu yang selalu terkunci itu.
"Ini waktunya," gumamnya pada diri sendiri.
Dia memegang kunci itu dengan tangan gemetar, memasukkan kunci ke dalam lubang kunci yang sudah berdebu. Dering halus terdengar ketika kunci berputar, dan pintu kayu itu akhirnya terayun perlahan. Naira menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan diri, lalu mendorong pintu itu dengan hati-hati.
Ruangan di balik pintu itu gelap. Naira menggenggam lampu senter yang ada di tasnya dan menyalakannya. Cahaya kecil itu menerangi ruang yang tampak seperti ruang penyimpanan, penuh dengan benda-benda yang tersembunyi oleh waktu. Rak-rak kayu tua dipenuhi dengan buku-buku yang sudah menguning, beberapa foto lama dalam bingkai berdebu, dan beberapa kotak kecil yang terletak tak beraturan.
Naira melangkah masuk, merasakan hawa dingin yang semakin terasa. Suara deritan lantai kayu di bawah kakinya seolah menambah ketegangan. Ia mendekati meja kecil di sudut ruangan dan membuka salah satu kotak. Di dalamnya ada selembar surat, yang ketika dibuka, membuat hatinya berdebar.
"Untuk siapapun yang menemukan ini," kata surat itu, ditulis dengan tangan yang sangat terburu-buru. "Jika kamu tahu apa yang ada di sini, kamu harus pergi. Segalanya akan berubah. Jangan pernah membuka pintu di ujung lorong, atau kamu akan menjadi bagian dari cerita ini."
Naira merasa darahnya berdesir. Surat itu mengingatkannya pada kata-kata ayahnya, yang selalu memperingatkan untuk tidak membuka pintu ini. Lalu, sebuah suara tiba-tiba terdengar, seperti suara bisikan yang sangat pelan, datang dari sudut ruangan.
"Jangan... jangan..."
Naira menoleh, tubuhnya kaku. Tak ada siapa-siapa di sana, hanya kegelapan yang mengelilinginya. Jantungnya berdebar kencang, dan ia mulai merasa ada sesuatu yang tidak beres.
Namun, rasa penasaran mengalahkan ketakutannya. Ia terus menyelidiki setiap benda di ruangan itu, hingga matanya menangkap sebuah buku kecil yang tampaknya lebih baru dibandingkan yang lainnya. Ia mengambil buku itu dengan hati-hati dan membuka halaman pertama.
Tertulis di sana dengan tulisan yang sangat rapi: "Semua ini adalah bagian dari warisan. Jangan biarkan kunci itu jatuh ke tangan yang salah."
Naira merasa gelisah. Apa maksud dari semua ini? Apa yang sedang disembunyikan oleh keluarganya? Mengapa pintu ini begitu penting, dan siapa yang menulis pesan ini?
Ketika ia terus membaca, ia tidak menyadari ada bayangan yang bergerak di sudut ruangan, mengamatinya dalam diam.
Naira terus memegang buku itu, matanya bergerak cepat membaca setiap kata di halaman-halaman berikutnya. Namun, kata-kata di dalamnya semakin membingungkan, seperti potongan puzzle yang tak terhubung. Beberapa halaman tampak telah dipotong, sementara halaman lainnya berisi tulisan tangan yang agak sulit dibaca karena tinta yang mulai memudar.
"Jika kamu telah membuka pintu ini, berarti kamu sudah terjebak dalam kisah ini. Tidak ada jalan kembali. Segalanya akan mengubahmu..." Naira berhenti membaca, merasakan keringat dingin yang mulai merayap di dahinya. Suara bisikan itu kembali terdengar, kali ini lebih jelas, "Jangan lanjutkan, Naira... Pergilah sebelum semuanya terlambat..."
Namun, bukannya mundur, Naira justru merasa dorongan untuk melangkah lebih jauh. Ia menutup buku itu dengan tangan gemetar, dan matanya kembali mengarah pada ruangan gelap di sekitarnya. Satu-satunya cahaya yang ada datang dari lampu senter yang ia pegang, tetapi cahaya itu semakin terasa lemah, seolah ada yang menahan kekuatannya.
Naira mencoba untuk menenangkan diri, berusaha mengabaikan suara-suara aneh yang mulai memenuhi ruangannya. Ketika ia menoleh ke belakang, ia melihat bayangan samar bergerak di dinding, seperti seseorang yang tengah berdiri di sana—menunggu.
Matanya terbelalak. "Siapa itu?" gumamnya, suaranya hampir tak terdengar. Ia merasakan tangan yang memegang senter mulai berkeringat. Tapi, saat ia menoleh lebih dekat, bayangan itu menghilang.
Panik mulai menyelimutinya, dan ia bergegas melangkah keluar dari ruangan itu. Namun, saat ia berbalik, matanya menangkap sesuatu yang aneh—sebuah foto tua tergeletak di atas meja, terbalik, seperti sengaja dibiarkan untuk diperhatikan. Naira mendekati meja itu dan mengambil foto tersebut dengan tangan yang masih gemetar. Ketika ia membalik foto itu, ia merasa darahnya berhenti mengalir.
Di dalam foto itu, ada dua orang yang tampak sangat familiar. Salah satunya adalah neneknya, yang masih muda, tersenyum lebar dengan mata yang tampak penuh rahasia. Tetapi orang yang berdiri di sampingnya adalah seseorang yang tidak pernah ia kenal. Seorang pria muda, dengan mata yang tampak tajam dan penuh misteri. Di bawah foto itu tertulis sebuah kalimat yang membuat jantung Naira berdegup kencang:
"Dia adalah kunci. Jangan biarkan dia kembali."
Jantungnya berdetak semakin cepat. Siapa pria ini? Mengapa neneknya berpose bersamanya, seolah mengenalnya dengan sangat baik? Apakah pria ini ada hubungannya dengan rahasia yang selama ini disembunyikan?
Tiba-tiba, Naira mendengar suara langkah kaki yang datang dari arah pintu yang ia buka tadi. Kaki-kaki itu bergerak cepat, hampir berlari, seperti sesuatu yang mengejarnya. Ketakutan meliputi dirinya, dan tanpa berpikir panjang, ia berlari menuju pintu keluar ruangan itu, kembali ke lorong rumah.
Tetapi, saat ia melangkah ke luar, sesuatu yang aneh terjadi. Pintu yang baru saja ia buka tidak terlihat lagi. Pintu itu, yang sebelumnya mengarah pada ruangan gelap itu, kini tertutup rapat dan tampak seperti tidak pernah ada.
"Ini gila," bisik Naira, berusaha menenangkan diri. Ia berdiri di tengah lorong yang panjang, matanya melirik setiap sudut rumah yang tampak gelap dan tak menyenangkan. Langkahnya terhenti di depan pintu yang tertutup rapat itu. Ia menarik napas dalam-dalam dan mencoba memutar kenangan terakhirnya. Ia ingat, pintu itu... pintu itu terbuka, dan ia baru saja meninggalkannya. Tapi, sekarang seolah semuanya telah berubah.
Hati Naira mulai berdebar semakin kencang, dan saat itu juga, pintu yang tertutup rapat itu tiba-tiba terbuka perlahan. Kegelisahan yang tak tertahankan muncul begitu pintu itu kembali terbuka dengan sendirinya, seakan ada kekuatan lain yang mengendalikannya.
Naira merasakan tubuhnya kaku. Untuk sejenak, ia berpikir untuk mundur dan meninggalkan rumah ini, tetapi sesuatu yang lebih besar mendorongnya untuk melangkah maju. Ia mengambil langkah pertama menuju pintu yang terbuka, tanpa menyadari bahwa ia telah terjebak dalam permainan yang jauh lebih besar dari yang pernah ia bayangkan.
Saat ia melangkah masuk kembali, dunia seakan berubah. Ruangan yang tadinya kosong kini dipenuhi dengan bayangan gelap yang bergerak perlahan, menari-nari di dinding yang penuh retakan. Suara bisikan itu kembali, kali ini lebih keras dan lebih jelas, seperti sebuah peringatan yang datang dari kedalaman masa lalu.
"Terlalu terlambat," kata suara itu, penuh dengan ancaman. "Kamu tidak bisa keluar. Kamu sudah menjadi bagian dari kami."
Naira menoleh ke belakang, tetapi pintu itu sudah tertutup rapat. Ia tak bisa melarikan diri. Dan di saat yang sama, ia tahu—sesuatu yang sangat gelap dan berbahaya sedang menunggunya di dalam rumah ini, menunggu untuk dibuka.