Part 1

1526 Kata
Empat tahun kemudian ... Sebagian besar para tamu yang berpakaian serba hitam satu persatu sudah mulai meninggalkan pemakaman. Arsen masih berdiri di sana, menatap nisan bertuliskan Natasya Mahendra di balik kacamata hitam yang menyembunyikan maniknya yang berkaca. Kedua adik perempuannya bersimpuh di tanah dan saling berangkulan berbagi duka di samping nisan. Tak memedulikan tanah basah yang mengotori tubuh dan pakaian mereka. Arsen menghela napas dan menguatkan hati untuk dirinya sendiri dan kedua adik perempuannya. Mengusir kecewa yang masih saja melekat di hati dengan kematian sang mama. Dengan keegoisan wanita paruh baya itu, mamanya akhirnya memilih bergabung dengan papanya di keabadian. Meninggalkan dirinya dan kedua adiknya sendirian. Dengan segala tanggung jawab yang sudah tak perlu ia pusingkan lagi. Kedua adik perempuannya sudah menikah. Janjinya sudah terpenuhi untuk memberikan adik perempuannya kehidupan yang layak. Dan seolah kepergian mamanya juga membawa beban itu terangkat dari pundaknya. Meskipun kemudian rasa kehilangan menggantikan beban tersebut. Bagaimana pun, mamanya tetaplah mamanya. Ia pernah menggantungkan hidupnya pada tubuh rapuh yang sekarang terbujur kaku di bawah tumpukan tanah basah. Arsen membungkuk dan memeluk kedua adik perempuannya dari belakang. Mencium ujung kepala Karen dan Alea secara bergantian sebelum membawa mereka bangkit berdiri. “Kita harus kembali,” gumamnya membujuk. Masih dalam isak tangis, wajah Karen dan Alea menempel di d**a Arsen. “Kenapa dia melakukannya?” tangis Alea. “Kenapa dia meninggalkan kita, Arsen?” “Dia melakukan usaha terbaiknya untuk tetap di sisi kita selama mungkin, Alea,” bisik Arsen menenangkan adik bungsunya itu. “Sekarang waktunya kita membebaskannya.” Arza, adik angkatnya yang berdiri di samping kanan ikut membantu Alea berdiri. Alealah adik bungsu paling rapuh dan paling berduka dengan kepergian mama mereka.  Yang tentunya membutuhkan dukungan dan sandaran lebih banyak dari Karen. Arsen mengantar kedua adiknya ke mobil yang menunggu di gerbang pemakaman. Kedua suami adik-adiknya sudah menunggu di mobil masing-masing. Setelah sempat menenangkan Alea yang meracau, ia berhasil membuat Alea masuk ke mobil. Menatap tertegun bagian belakang mobil Alea dan Karen yang melaju meninggalkannya sendirian.   ***   Fherlyn menurunkan kacamata hitam yang menutupi mata. Menurunkan kerudung hitam yang menyembunyikan wajahnya ketika bersimpuh di gundukan tanah yang masih basah itu. Tangannya terangkat menyentuh nisan dengan hembusan napas berat melewati hidung. Ada sesuatu yang hilang dari dalam hatinya yang tak bisa ia abaikan. Meskipun hanya satu kali bertemu dengan Natasya Mahendra, sosok keibuan yang pernah mengelus rambutnya dengan sentuhan lembut begitu sulit Fherlyn lupakan. Saat itu ia dan Arsen tengah makan siang bersama direstoran dan kebetulan bertemu dengan mama Arsen yang baru saja berkumpul dengan teman-teman sosialitanya. Wanita cantik itu mengenakan dress berpotongan sederhana bermotif bunga mawar merah yang menyempurnakan penampilannya. Rambutnya tergerai indah sepanjang punggung dan riasan natural yang terpoles di wajahnya membuat wanita itu tampak sepuluh tahun lebih muda dari umur sebenarnya. Fherlyn bahkan tak bisa melupakan penampilan mama Arsen. Ditambah kelembutan dan kehangatan yang dipancarkan sinar matanya semakin membuat Fherlyn merindukan sosok tersebut. “Kau sangat cantik, kupikir Arsen akan membawa kita makan malam bersama di rumah kami,” tawar mama Arsen saat itu setelah ia memperkenalkan diri dengan sopan. “Kita lihat nanti,” jawab Arsen saat itu. Seolah Arsen merasa tak enak hati menolak ajakan Natasya sekaligus enggan membawa Fherlyn menemui keluarga pria itu. Hubungan mereka tak sedekat itu untuk memperkenalkan diri pada keluarga Arsen. Fherlyn memahami itu. Mereka hanyalah bos dan sekretaris yang bekerja dengan profesional meski terkadang bersenang-senang saat di ujung hari. “Bolehkah aku memelukmu?” Permintaan Natasya saat itu membuat dahi Fherlyn berkerut heran. Wanita paruh baya itu langsung memeluk Fherlyn sebelum Fherlyn sempat menjawab. Mengelus rambutnya dan mengetatkan pelukan di tubuh Fherlyn. Lalu, berbisik di telinga Fherlyn. “Aku tahu Arsen bukan pria lembut dan penuh perhatian, tapi dia pria yang bertanggung jawab. Jaga dia untukku.”  Fherlyn menitikkan air mata. Itu adalah pelukan dan pesan terakhir Natasya padanya. Amanat terakhir yang tak mampu ia penuhi. Ya, Arsen memang pria yang bertanggung jawab, tapi saat itu yang Fherlyn butuhkan dari Arsen bukan hanya sebuah tanggung jawab.  Fherlyn meminta lebih. Terlalu serakah dan keliru memahami arti dirinya di hati Arsen. “Maaf.” Kata itu keluar dan mengiris tenggorokannya. Tangan Fherlyn terangkat menyeka tangisan di pipinya. Kemudian suara sepatu yang menyentuh kerikil dari arah belakang, sontak membuat tubuh Fherlyn mematung. Ia sudah memastikan semua orang pergi meninggalkan pemakaman ketika berjalan mendekati makam ini untuk melihat lebih dekat. Mobil Arsen pun juga sudah melaju pergi ketika ia keluar dari mobilnya yang terparkir tersembunyi di antara pepohonan yang ada di sekitar tanah pemakaman ini. Perlahan, Fherlyn memutar kepala dan terkejut menemukan pria itu, berdiri tak jauh dari tempatnya dengan kedua tangan dimasukkan di kantong celana gelap. Meskipun kacamata hitam menutupi mata hitamnya, Fherlyn bisa merasakan tatapan dingin pria itu yang menusuk. “Ar ... sen?” Fherlyn menjerit dengan suara rendah dan tertahannya. “Kupikir aku salah mengenalimu.” Suara bernada datar dan dengkusan sinis yang sudah akrab di telinga Fherlyn, tiba-tiba saja terasa mengguyur hatinya yang dipenuhi kerinduan. Fherlyn segera menyadarkan diri. Menguatkan hati dari dampak buruk yang muncul dan menyiksa hatinya jika Fherlyn membiarkan Arsen memengaruhi dirinya untuk kedua kalinya. Fherlyn berdiri dari simpuhnya dan memendam kerinduan di hatinya dalam-dalam. Memperingatkan dirinya sendiri dengan keras. Apa pun itu yang pernah ada di antara mereka, semua sudah berakhir empat tahun yang lalu. Dan tidak ada sesuatu pun di antara mereka saat ini dan seterusnya. “Jadi, sejak kapan kau kembali?” Arsen melangkah semakin dekat. Fherlyn berdehem sekali, membasahi tenggorokannya yang kering. Lalu menjawab dengan ketenangan yang dipaksakan. “Beberapa hari yang lalu.” Arsen mengangguk-angguk pelan. Terlihat tak terlalu peduli dengan jawaban Fherlyn. Dan Fherlyn tahu pertanyaan pria itu hanyalah sekedar basa-basi. “Aku turut berduka,” ucap Fherlyn kemudian dengan tulus dan bersungguh-sungguh. “Tak perlu.” Arsen menggeleng. “Aku baik-baik saja. Ini bukan pertama kalinya seseorang meninggalkanku. Lagi pula, empat tahun melihatnya berbaring di rumah sakit sedikit banyak sudah melatih diriku untuk kehilangan ...” Arsen diam sejenak. Lalu melanjutkan, “... dia.” Wajah gugup Fherlyn mendadak berubah pias. Arsen seolah sengaja memutus kalimat tersebut untuk melemparkan sindiran padanya. Arsen yang menyadari perubahan wajah Fherlyn, menyeringai dalam hati. “Kenapa kau datang kemari, Fherlyn? Kupikir kita hanya dua orang asing yang tak saling kenal. Yang tak seharusnya berbagi suka ataupun duka antara satu dengan yang lainnya.” “Aku ... aku melihat beritanya di ....” “Jangan membuatku salah paham, Fherlyn,” potong Arsen. “Keberadaannmu di sini membuatku merasa kau memedulikanku. Dan saat kau mulai peduli pada seseorang, tanpa sadar kau akan menyerahkan seluruh milikmu pada orang tersebut. Jika aku tak salah ingat, terakhir kalinya hal itu terjadi kau tak sanggup menghadapi kecerobohanmu itu sendirian.” Fherlyn mengerjap, menguasai hatinya yang mulai terombang-ambing. Masa lalunya seakan kembali terpampang di hadapannya dengan sangat jelas. Tentangnya. Tentang Arsen. Dan tentang mereka berdua yang terjebak dalam permainan mereka sendiri lalu kesulitan mengontrol diri mereka sendiri. Kemudian satu-satunya jalan untuk memperbaiki kelumit itu adalah dengan melarikan diri. “Menyingkirkan masalah, kemudian melarikan diri dan bersikap pengecut mungkin akan berhasil menutupi kecerobohanmu. Tapi, bukan berarti setelah itu kau bisa muncul dan bersikap seperti tak terjadi apa-apa di hadapanku.” Bibir Arsen menipis dan tatapannya semakin menajam ketika mendesiskan kalimat tersebut. “Aku bukan pengecut,” desis Fherlyn tak terima. Meski hatinya berusaha keras untuk tak menampakkan kemarahannya sedikit pun pada Arsen. “Kau bisa menyebutnya apa pun seperti yang kauinginkan.” Fherlyn menggigit bibir bagian dalam menahan kemarahan yang tak bisa ia sembunyikan lagi. Jika tidak memahami bahwa apa yang dilakukannya empat tahun lalu memanglah sebuah kepengecutan, ia bisa pastikan tubuhnya melompat ke arah Arsen, menghujani pria itu dengan segala macam sumpah serapah dan pukulan agar Arsen mencabut kata-kata tersebut. Tetapi, ia bukan lagi gadis manja yang sensitif dan sedikit-sedikit tersinggung dengan ucapan Arsen. Sekarang, ia adalah seorang wanita yang kuat dan mandiri. Tak perlu meminta tolong orang lain untuk membantunya menyelesaikan masalah yang ia buat atau menggerung marah hanya karena harga dirinya yang tergores “Aku berjanji ini adalah pertemuan terakhir kita.” Fherlyn menarik napas sekali untuk kalimat selanjutnya. “Dan ini akan menjadi kecerobohan terakhirku yang melibatkan dirimu.” Arsen mengedikkan bahu sebagai isyarat menyetujui kata-kata Fherlyn. “Baguslah,” balas Arsen ringan dan tanpa beban sedikit pun. Hati Fherlyn tetap terluka meski sudah memperkirakan kemungkinan kata-kata Arsen akan menyakiti hatinya. Pria itu tak berubah sedikit pun. Kasar dan tak punya perasaan. Fherlyn berjalan pergi. Arsen menatap punggung Fherlyn yang menjauh hingga menghilang di gerbang pemakaman. Selama empat tahun ini, wanita itu menyembunyikan diri dengan sangat baik. Kecuali mobil merah terang yang terparkir di antara pepohonan sekitar pemakaman, yang mau tak mau mengusik rasa penasarannya. Memangnya siapa yang datang ke acara pemakaman dengan mobil mencolok seperti itu? Tadinya Arsen mengira itu adalah mobil orang lain yang tengah mengunjungi makam keluarga yang secara kebetulan bersamaan dengan acara pemakaman mamanya. Tetapi, mendengar laporan salah satu pengawalnya yang mengatakan bahwa mobil itu sudah ada di sana saat pemakaman mamanya berlangsung, dan si pemilik mobil keluar setelah mobilnya melaju pergi. Tentu saja mengundang rasa curiga Arsen. Arsen pun memutar kembali setirnya dan tak kalah terkejutnya menemukan sosok familiar sekaligus asing yang tengah bersimpuh di dekat nisan mamanya adalah Fherlyn. Mantan ibu dari anak yang pernah ia miliki meski hanya untuk sesaat. “Ikuti dan awasi dia,” pesan Arsen pada salah satu pengawal yang tengah menunggunya di luar pemakaman. “Jangan sampai dia menyadari keberadaanmu.” Bukan karena tertarik dengan Fherlyn, tapi memangnya siapa yang tahu niat wanita itu kembali muncul di hadapannya? Fherlyn memang terlihat seperti wanita yang lemah, rapuh, ceroboh, dan manja. Namun, tanpa siapa pun tahu, Arsen tahu wanita itu memiliki hati yang licik, manipulatif, dan sangat lihai mempermainkan hatinya. Menggunakan kelemahan seorang wanita untuk menarik simpatinya. Menggunakan kerapuhan wanita itu untuk menjeratnya. Tentu saja Arsen tak ingin mengambil resiko wanita itu akan mengacaukan hidupnya untuk kedua kalinya, kan.   ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN